Terlalu dini jika menyimpulkan ekonomi bakal kembali pulih begitu pembatasan sosial berskala besar (PSBB) direlaksasi atau dilonggarkan. Sebab saat ini daya beli masyarakat memang sedang lesu, sedangkan konsumsi masyarakat merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menjelaskan ekonomi Indonesia tidak akan pulih dalam waktu instan jika daya beli masyarakat sendiri tak diperbaiki. Bahkan pelemahan konsumsi masyarakat sudah terlihat sebelum pandemi COVID-19 merebak di Indonesia.
"Nah padahal sebenarnya tren misalnya indikator ekonomi itu mengalami pelemahan seperti misal konsumsi, kemudian penjualan ritel itu kan mengalami pelemahan justru dari bulan Februari," kata dia saat dihubungi detikcom, Minggu (17/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi pada April 2020 sebesar 0,08%. Hal itu menunjukkan dua hal, pertama stabilitas harga terjaga, dan yang kedua dikarenakan daya beli rumah tangga melemah.
Bila berkaca pada data inflasi inti tersebut, Yusuf menilai hal itu menggambarkan bahwa permintaan barang dari masyarakat kecenderungannya rendah. Itu dipengaruhi oleh pelemahan daya beli masyarakat.
"Kita bisa mengartikan juga kenapa kecenderungannya rendah, karena pendapatan mereka juga turun sehingga itu yang berdampak terhadap daya beli mereka," jelasnya.
Demikian pula untuk data dari sisi supply atau penawaran Indeks Manufaktur Indonesia alias Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur pada April turun 27,5 dibanding periode Maret 45,3.
"Nah dirilis yang terakhir di bulan April itu PMI turun hingga 27. Itu artinya jauh di bawah level ekspansi yang 50 ke atas. Itu salah satu alasannya karena pengusaha melihat permintaan dari masyarakat itu sedang menurun, daya beli sedang turun," jelasnya.
Sementara upaya pemerintah dalam memulihkan daya beli masyarakat melalui bantuan sosial (bansos) dan sebagainya belum terbilang efektif.
"Di sisi lain juga usaha pemerintah untuk menjaga daya beli menurut saya juga belum terlalu optimal karena misalnya bansos, pertama dia masih terjadi misalnya penumpukan atau penyaluran yang double. Jadi dari sistem penyalurannya itu belum selesai," jelasnya.
Kemudian masyarakat 'rentan miskin' menurutnya juga belum terlalu tersentuh oleh bansos. Padahal mereka ikut terimbas ganasnya pandemi COVID-19.
"Nah ini yang masih tanda tanya, pemerintah menjaga daya beli kelas ini tuh kalau saya menyebutnya kelas rentan miskin, itu bagaimana caranya itu belum terlihat. Memang ada Kartu Pra Kerja, tetapi kartu itu kan cuma ditargetkan sekitar 5,6 juta penerima. Dan itu masih jauh dari kelas yang saya sebutkan kelas rentan miskin ini. Jadi ya memang belum terlihat jelas program untuk menjaga daya beli ini," tambahnya.
(toy/eds)