Apa yang terlintas dalam benak Anda bila melihat pohon Kamboja (Plumeria acuminate)? Tentu tak keliru bila menjawab pemakaman. Di banyak tempat pemakaman umum, baik untuk kaum muslim maupun nonmuslim, biasa selalu ada pohon Kamboja dengan bunga-bunganya yang berwarna putih, merah muda, atau kuning.
Namun di Jalan Sasak Panjang, Tajurhalang-Bogor pohon-pohon Kambojo justru tumbuh hampir di sekeliling kafe bernuansa Bali. Kafe dan resto Kamboja Green House, namanya. Keberadaan pohon-pohon Kamboja itu sama sekali tak membuat suasana menjadi spooky, mistis, atau horor.
![]() |
"Ini memang awalnya lahan nursery macam-macam tanaman, utamanya jenis perdu," kata pemilik Kamboja Green House Asep Saeppudin Mayah, 58 tahun, kepada detikcom, Selasa (28/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Kamboja di sana juga ada pohon Pule (Alstonia Scholaris) atau Baobab alias Kaki Gajah, Kenari, Tabebuya, Kikilia (Kigelia Africana), Palem Kurma, Pakis Haji dan lainnya. Batang pohon-pohon tersebut rata-rata sudah membentuk fosil karena usianya sudah 50 tahun ke atas. Untuk ukuran tinggi dan diameter tertentu, pohon-pohon fosil itu harganya rata-rata mencapai puluhan juta rupiah.
"Saya pernah jual Kamboja Fosil ke seorang developer seharga Rp 150 juta pada 2017," kata Asep, kelahiran Bandung, 22 Agustus 1965.
Untuk Kamboja dan Pule, dia mengaku biasa berburu ke sejumlah pemakaman tua di Kebumen dan Klaten (Jawa Tengah), Situbondo (Jawa Timur), hingga Bali dan NTT. Untuk Pakis Haji di ke Lebak hingga Ujung Kulon di Banten. Harga setiap pohon dengan tinggi 2-3 meter biasanya dihargai sekitar Rp 1 - 2,5 juta. Itu belum termasuk ongkos menggali dan sewa alat berat, serta pengiriman ke Jakarta yang totalnya bisa habis Rp 20 juta.
"Saya boleh klaim cuan yang didapat rata-rata 50-70% dari modal. Jadi investasi di tanaman ini sangat menguntungkan dan risikonya relatif kecil, apalagi untuk Kamboja yang perawatannya tidak perlu terlalu telaten," papar suami dari Mila Maria itu.
![]() |
Dia melakoni bisnis tersebut bermula dari Batam pada 2005/2006. Kala itu dia yang berkongsi dengan Muhammad Azis Welang dari Grup Berlian mengerjakan sejumlah proyek di Batam. Di sana muncul keluhan terkait berbagai tanaman di taman-taman yang dibangun ternyata pertumbuhannya sangat buruk.
Beberapa ahli landskap (pertamanan) yang didatangkan ternyata cuma pandai berteori tanpa solusi yang berarti. Akhirnya Asep mendatangkan para petani tanaman hias di kawasan Parung, Bogor. Mereka lalu menyarankan agar lapisan tanah untuk taman-taman di Batam itu dilapisi dengan tanah pupuk dari Lembang. "Saya beli ratusan kubik dan membawanya dengan kapal tongkang," ujar Asep.
Setelah proyek di Batam teratasi, pada 2009 sebagian petani kembali ke Parung. Asep pun membeli lahan seluas 2.500 meter untuk mereka jadikan nursery. Setahun kemudian di antara para petani ada yang mengusulkan agar Asep membuat perusahaan landskap untuk mengerjakan proyek-proyek taman di sejumlah perumahan yang tengah dibangun para developer besar.
"Jadilah pada 2010 saya full fokus ke tanaman, mengerjakan taman-taman di Sentul, Serpong, Bandara Soekarno-Hatta, Bekasi, dan Meikarta. Jenis pohonnya rata-rata dipilih yang fosil seperti Kamboja dan Pule atau Kaki Gajah," kata Asep.
(jat/fdl)