Masyarakat Indonesia pastinya sudah tak asing lagi dengan perusahaan taksi lokal, Blue Bird. Ternyata, taksi biru ini telah mengaspal di Indonesia sejak tahun 1972.
Siapa yang menyangka perusahaan yang identik dengan warna biru ini didirikan oleh seorang wanita bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Perempuan yang dikenal dengan Ibu Djoko itu merintis bisnis transportasi dengan modalnya berdagang telur dan batik.
Kini perusahaan dengan nama PT Blue Bird (Tbk) itu telah menjadi perusahaan terbuka. Blue Bird tidak hanya menyediakan taksi biasa, tetapi ada juga berbagai macam moda transportasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan lini bisnisnya telah berkembang ke layanan logistik. Program perusahaan juga ada yang ditujukan untuk menggandeng taksi lokal agar makin berkembang. Berdirinya Blue Bird tidak serta merta dari modal yang besar. Ibu Djoko melalui proses panjang dalam kehidupannya sampai akhirnya bisa membangun Blue Bird.
Sebelumnya, Bu Djoko terlebih dahulu berkiprah menjadi dosen, penjual batik keliling, dan pedagang telur. Hal ini pernah diungkapkan oleh Wakil Direktur Utama Blue Bird, Sigit Djokosoetono dalam catatan pemberitaan detikcom pada 12 Agustus 2022 lalu.
Lantas bagaimana kisah hidup Ibu Djoko hingga akhirnya memiliki perusahaan taksi lokal pertama di Indonesia? Bu Djoko atau Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono lahir di Malang 17 Oktober 1921 dengan keadaan keluarga yang berkecukupan. Namun, keadaan itu berubah saat Mutiara umur 5 tahun karena orang tuanya gulung tikar
Mengutip dari buku 'Sang Burung Biru' penulis Alberthiene Endah, Jumat (22/2/2024) kondisi keluarganya pun berbalik 180 derajat. Pada saat itu, Mutiara makan dengan lauk apa adanya, memakai pakaian seadanya, bahkan Mutiara kecil tidak pernah mendapatkan uang jajan.
Singkat cerita, karena jiwanya yang gigih, dia ingin terus bisa bersekolah. Pada tahun 1930-an, ia lulus dari Sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Dia juga berhasil menyelesaikan studinya di jenjang perkuliahan dengan menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum di Universitas Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Mutiara bertemu dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya. Djokosoetono juga pendiri sekaligus Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian yang menikahi Mutiara selagi masih kuliah. Sebab itu, Mutiara memiliki nama Djokosoetono dan dipanggil Ibu Djoko. Pernikahan dengan Djokosoetono dikaruniai tiga orang anak yakni Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro.
Meski begitu, kehidupannya tak langsung enak begitu saja. Setelat menikah, Mutiara mengalami kesulitan pada tahun 1950-an. Kala itu Indonesia mengalami krisis ekonomi hingga membuat orang berebut makanan.
Dengan gaji apa adanya, tetap berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya. Kemudian pada tahun 1960-an, muncul ide berjualan batik untuk menambah pendapatan rumah tangga. Bu Djoko pun berkeliling menjual batik dari rumah ke rumah. Alhasil, dagangannya itu dapat memperbaiki kondisi perekonomian keluarga.
Seolah tak kehabisan ide, dia berjualan telur. Saat itu telur merupakan bahan pokok makanan yang tergolong mahal. Belum banyak yang berbisnis komoditas itu dan hanya orang-orang menengah ke atas yang dapat membeli.
Namun, beberapa sektor bisnis juga membutuhkan telur. Hal tersebut menjadi peluang dan dimanfaatkan Bu Djoko. Sektor yang membutuhkan telur mulai dari rumah tangga, katering, pembuat kue, restoran, hingga hotel.
Sukses berdagang telur, ekonomi keluarga pun semakin baik. Nah, modal dari dagangan telur dan batik itu menjadi titik awal Bu Djoko membangun usaha taksi rumahan. Di Rumah No.107 Jl. Cokroaminoto, Bu Djoko dan keluarga membangun bisnis tersebut.
Pada 1965 Ibu Djoko beserta dua anaknya, Chandra Suharto dan Purnomo Prawiro, mulai mengoperasikan taksi tanpa argo dengan nama "Chandra Taxi".
Kemudian pada 1972, secara resmi 25 armada Blue Bird Holden Torana mengaspal di Jakarta. Blue Bird menjadi taksi lokal pertama yang menggunakan sistem tarif berdasarkan argometer.
Nama itu bukan sembarangan dinamakannya. Mengutip dari website resmi Blue Bird, Bu Djoko terinspirasi dari dongeng Eropa 'Bird of Happiness' atau Burung Pembawa Kebahagiaan.
"Bu Djoko mendirikan Bluebird dengan hati, didukung oleh anak-anaknya yang berusaha menciptakan kehidupan lebih baik. Kisah perjuangan dan teladan Bu Djoko memberi pengaruh dahsyat bagi kita semua hingga Bluebird terus ada melayani Negeri Indonesia," tulis website resmi Blue Bird.
Seiring berjalannya waktu, Blue Bird semakin berkembang pesat. Perusahaan itu pun resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia pada November 2014. Kini, Blue Bird terus berkembang menjadi perusahaan transportasi yang juga mengikuti perkembangan zaman digital.
Blue Bird Group telah memperluas layanannya, dari taksi umum (Blue Bird & Pusaka) sampai taksi eksekutif (Silver Bird), limosin dan penyewaan mobil (Golden Bird), carter bus (Big Bird), logistik (Iron Bird Logistic) Industri (Restu Ibu Pusaka - Bus Body Manufacturing dan Pusaka Niaga Indonesia)
Kemudian hingga merambah ke bisnis properti (Holiday Resort Lombok dan Pusaka Bumi Mutiara), IT dan layanan mendukung (Hermis Consulting - IT SAP, Pusaka Integrasi Mandiri - EDC, Pusaka GPS, Pusaka Buana Utama - Petrol Station, Pusaka Bersatu - Lubricant, Pusaka Suku Cadang Indonesia - Spare Part) dan alat berat (Pusaka Andalan Perkasa dan Pusaka Bumi Transportasi).
PT. Blue Bird Tbk. meluncurkan taksi listrik pertama dengan mengusung armada BYD e6 untuk e-Bluebird dan Tesla X untuk e-Silverbird.
Saat ini Blue Bird telah diteruskan oleh generasi ketiga keluarga Djokosoetono. Direktur Utama Blue Bird saat ini adalah Adiranto (Andre) Djokosoetono, anak dari Purnomo Prawiro, putra bungsu dari Bu Djoko. Artinya Andre merupakan generasi ketiga alias cucu dari Bu Djoko.
(ara/ara)