Ada Orang Terkaya Indonesia Keliling Dunia Bagi-bagi Duit

Wawancara Orang Terkaya RI ke-4

Ada Orang Terkaya Indonesia Keliling Dunia Bagi-bagi Duit

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Senin, 19 Mar 2018 08:36 WIB
2.

Masa-masa Sebelum Jadi Orang Terkaya

Ada Orang Terkaya Indonesia Keliling Dunia Bagi-bagi Duit
Foto: Fadhly Fauzi Rachman/detikFinance

Pertama-tama, bisa diceritakan bagaimana Anda merintis karir bisnis?
Dari awal dulu ya saya dagang, gagal, turun, gagal, naik, gagal, naik begitu saja sampai punya bisnis seperti sekarang. Sebelum kawin, saya sudah jadi inang-inang. Inang-inang itu kalau ke luar negeri, bawa koper, isi apa saja, sampai di Surabaya di jual-jualin.

Inang-inang Itu bahasa Batak, jadi orang Batak itu ya, ibu-ibu itu biasanya ke Singapura beli piring, nanti ikut pelabuhan, kapal, sampai turun kapal itu Bea Cukai nggak bisa nangkep, karena 100 orang itu. Saking banyaknya di kasih lewat. Saya mulai bekerja saat itu.

Itu tahun berapa itu, saya jadi inang-inang itu sejak 1970-1971, itu umur 18 tahun jadi inang-inang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenapa memilih jadi inang-inang?
Ya cari uang, itu terinspirasi dari ibu. Ibu saya itu tangguh. Sampai sekarang itu ibu saya masih hidup, masih kerja. Umur 87 tahun. Kerja di bank kita, terima gaji. Padahal sama anaknya apa saja dikasih, tapi dia nggak mau, dia mau kerja, hidup nggak mau tergantung orang lain. Itu yang menginspirasi kita.

Saya itu dari Surabaya, dulu rumah saja kontrak. Saya lahir rumahnya kontrak, sampai umur 20 tahun rumahnya masih kontrak di Surabaya. Lebar rumah saya berapa kira-kira 3,5 meter atau 4 meter sama panjang.

Bu Risma (Walikota Surabaya) saja bilang sama saya, 'Pak Tahir itu saya taruh becak di museum Surabaya supaya ingat asal-usulnya', begitu kata beliau. Becak saya dulu becak Solo, karena ibu saya orang Solo kan. Bikin becak Solo lalu disewakan ke orang.

Berapa lama jadi inang-inang?
Itu sekitar 1-2 tahun. Terus saya sambil sekolah di Singapura sekalian.

Modal awalnya dari mana?
Ibu saya kasih modal Rp 700 ribu, terus saya beli boneka di Singapura, saya beli baju di sana, saya beli album foto, beli sapu, barang impor kan tuh, wah sekali waktu itu di Surabaya.

Setelah itu sekolah S1 di Singapura, pas balik lagi ke Indonesia kan menikah sama anaknya Pak Mochtar Riady, jadi mantunya orang kaya. Tapi kitanya belum kaya, baru kemudian dagang impor barang, impor makanan, permen, minuman, dari Taiwan, Hongkong, sempat berkembang, terus mulai dagang impor pecah belah dari China.

Itu sudah membangun Mayapada?
Belum, tahun 1980-an saya buka Mayapada Mobil, jadi agen Suzuki, tahun 1987 dicabut izinnya. Dulu ada dua agen, satu Mega Utama, satu Mayapada. Mega Utama ini bangkrut, makan duitnya Salim Group, Antony Salim, Om Liem. Karena Om Liem takut kalau ini Mayapada jatuh juga, akhirnya ini agen dibuka, kita jadi nggak untung. Dulu kalau agen kan ada untung, sekarang kan dealer. Ditutup, orang yang kredit kan nggak mau bayar.

Jadi saya sempat bangkrut, lalu saya pindah ke garmen, dibantu Dirjen Perdagangan Luar Negeri namanya almarhum Pak Nainggolan. Saya dikasih kuota, saya bisa ekspor. Sampai tahun 1990 udah mendingan, saya buka Bank Mayapada sampai hari ini. Mulai tahun 1990 sampai hari ini lancar terus, selama 28 tahun.

Saat terjadi krisis moneter, bagaimana bisnis Anda?
Saya lewati itu, saya aman. Orang saya nggak ada pinjaman. Kalau saya pinjam, saya tidak aman. Catatan saya pokoknya begini, saya tidak pernah kerja proyek pemerintah dalam hidup ini, tidak pernah. Saya tidak mau.

Bukankah pengusaha biasanya berebut proyek pemerintah?
Iya biasanya pada berebut jatah proyek, tapi saya nggak mau. Saya mau bersih saja, saya nggak mau minta-minta. Saya nggak mau minta-minta jatah, itu satu. Kedua saya tidak pinjam pemerintah pemerintah. Jadi saya pengusaha yang bersih dari BPPN, tidak ada tersangkut BPPN. Pokoknya nggak mau.

Saya sumbang 1.000 rumah untuk TNI diobok-obok wartawan ya toh. Nah ada apa ini belakangnya ini? Ya nggak ada apa-apa memang belakangnya. Saya cuma mau sumbang.

Dulu Anda termasuk dalam keluarga susah atau berkecukupan?
Begini, waktu kita kecil kita nggak merasa susahnya. Orang tua yang merasakan susahnya, karena kan orang tua kasih makan yang cukup, kita nggak merasakan susah, tapi kita merasakan minder.

Saya minder itu ya, sangat minder kira-kira sampai umur 40-an. Masih minder. Karena begini, Anda mungkin bisa bayangin ya, saya nikah jadi keluarganya orang kaya, saya di keluarga orang kaya nggak dihormati loh. Karena mereka itu menempatkan diri sebagai anaknya orang kaya. Mereka pikir Tahir ini apa?

Jadi saya berjuang, saya tidak ada dendam, tapi saya tidak mau diremehkan. Itu berat sekali. Maka itu, saya tidak senang dengan orang kaya, saya benci sama orang kaya.

Bukankah Anda sendiri orang kaya?
Saya kasih tahu Anda, saya benci orang kaya. Orang kaya saya anggap itu imperialisme. Orang kaya itu kerjanya menindas, orang kaya itu kerjanya membully orang. Sampai sekarang. Habitat saya itu ada di orang miskin. Itu habitat saya.

Klik next ke halaman berikutnya soal kedermawanan Tahir.

Hide Ads