Pengusaha Buka-bukaan Jatuh Bangun Bisnis Hotel hingga Kamar Isolasi

Wawancara Khusus

Pengusaha Buka-bukaan Jatuh Bangun Bisnis Hotel hingga Kamar Isolasi

Vadhia Lidyana - detikFinance
Jumat, 18 Sep 2020 06:58 WIB
Hariyadi Sukamdani
Hariyadi Sukamdani/Foto: MarkPlus, Inc
Jakarta -

Pandemi virus Corona (COVID-19) menghambat pergerakan manusia, baik dalam aktivitas perekonomian, aktivitas pengisi waktu luang seperti mengunjungi keluarga, berlibur, dan sebagainya. Padahal, pergerakan itu adalah sumber pendapatan bagi pengusaha hotel dan restoran.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, para pengusaha telah berupaya bangkit, terutama sejak PSBB transisi pada Juni lalu, juga pembukaan kembali wisata Bali pada 31 Juli.

Berbagai kawasan wisata seperti Bandung, Puncak Bogor, dan sebagainya juga mulai ramai. Namun, kondisi itu kembali parah ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan PSBB total kembali yang berlaku sejak Senin, (14/8) lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau secara keseluruhan, yang di luar Jakarta itu kondisinya berat, terpuruk. Karena otomatis kalau Jakarta mengumumkan PSBB itu impact-nya ke daerah," ungkap Hariyadi dalam wawancara khusus bersama detikcom, Kamis (17/9/2020).

Menurut Hariyadi, para pengusaha hotel dan restoran mulai 'mengencangkan ikat pinggang' ketika PSBB Jakarta diperketat lagi.

ADVERTISEMENT

"Ketika pariwisata mulai ramai lagi itu sangat membantu, lumayan. Tapi memang mereka ramainya hanya weekend. Jadi kalau weekdays masih berat. Tapi paling tidak lumayan lah ada pendapatan masuk. Nah sekarang ya mulai persiapan lagi. Tapi kalau menutupi kerugian kemarin itu jauh, masih belum. Kalau kita bicara menutup kerugian sudah nggak mungkin, 2020 ini sudah pasti loss," urainya.

Berikut kutipan wawancara lengkap detikcom dengan Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani:

Bagaimana kondisi terkini sektor pariwisata, khususnya di industri perhotelan dan restoran?

Jadi kalau kita bicara pariwisata itu sekarang kondisinya memang sudah melemah lagi. Kemarin kita sempat mau pemulihan, dan terutama kalau pariwisata yang terdampak sekali itu Bali. Nah Bali itu posisinya kemarin sesudah PSBB transisi Jakarta sudah sempat naik ke 2,5%, tadinya itu kan di bawah 2%. Sekarang otomatis Bali pasti akan terpuruk lagi. Kalau Jakarta kondisinya memang masih menurun, apalagi Senin diumumkan PSBB lagi jadi drop.

Tapi saya melihat hotel bintang 2 dan 3 itu akan terbantu, karena pasien yang isolasi mandiri itu, yang self-quarantine itu akan bisa di hotel-hotel tersebut. Tapi saya belum tahu persis yang akan diizinkan oleh pemerintah itu berapa. Tetapi sampai hari kemarin kami sudah menyiapkan 20 hotel, kira-kira 2.000 kamar. Ini kemungkinan bisa bertambah lagi. Tapi kalau kita mobilisasi dengan cepat itu saya perkirakan 4.000 kamar bisa kita siapkan. Itu hanya untuk hotel bintang 2 dan 3, dan itu di luar yang pasiennya bayar sendiri. Ini kan yang dibayarkan pemerintah.

Nah kalau secara keseluruhan, yang di luar Jakarta itu kondisinya berat, terpuruk. Karena otomatis kalau Jakarta mengumumkan PSBB itu impact-nya ke daerah.

Jika hotel dimanfaatkan sebagai fasilitas isolasi mandiri, bagaimana persiapannya? Apakah tidak ada kekhawatiran penyebaran COVID-19 di hotel?

Sebetulnya kalau awal-awal iya ngeri. Tapi saat ini sudah pengalaman semua. Alhamdulillah sampai hari ini kita belum ada yang terpapar. Karena kan sudah diajarkan cara-caranya, insyaallah sih aman. Tapi memang kebutuhan dari masyarakat kemungkinan akan naik, ini terkait isolasi mandiri, karena kan naik kasusnya ini luar biasa. Tapi itu ada pelatihan khusus juga.

Sudah berapa total kerugian sampai berapa hingga saat ini?

Kalau sampai Juni potential loss hotel sampai Rp 40 triliun, sedangkan untuk restoran sekitar Rp 45 triliun. Update sampai September kita belum hitung lagi, karena itu data sampai PSBB kemarin.

Sudah berapa hotel dan restoran yang tutup akibat pandemi?

PSBB pertama sudah 2.000 hotel yang tutup, kalau hotel mencapai 8.000, itu yang lapor ke PHRI. Itu di seluruh Indonesia. Kalau berdasarkan laporan, itu kebanyakan di Jawa Barat. Tapi kenyataannya, Bali yang lebih banyak, tapi nggak semuanya melapor. Tapi kalau dari jumlahnya Bali yang paling banyak.

Berapa jumlah pegawai yang sudah dirumahkan atau di-PHK selama pandemi?

Kalau hitungan kita per Juni, potensial yang dirumahkan, dicutikan di luar tanggungan perusahaan, di-PHK itu kira-kira 500.000 orang, dari sektor hotel. Kalau restoran per Juni itu kira-kira 1 juta orang. Nah mulai Juni itu kan sudah mulai pemulihan. Tapi sekarang begini lagi, ya bisa drop lagi.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Dari pegawai yang dirumahkan, adakah yang dipekerjakan kembali? Berapa?

Ada, ada, sempat di-hire lagi. Tapi ini kembali lagi, nggak tahu nanti ke depan seperti apa. Apakah akan berdampak lebih buruk lagi. Seperti yang tadi saya bilang, kalau sektor hotel yang mungkin nanti agak tertolong adalah yang akan dipakai isolasi mandiri oleh pemerintah, karena itu kan dibayar pemerintah. Dibayar itu saya pikir kondisinya akan jelek, hotel-hotel yang nggak dipakai isolasi mandiri oleh pemerintah.

Tapi masih belum terlalu banyak, dan itu yang dipekerjakan kembali rata-rata di bawah 45 tahun, karena kita harus memperhitungkan risiko. Kemarin sih daerah-daerah destinasi semua tema alam itu ramai, seperti puncak, Garut, Bandung, yang tema alam itu bagus.

Wisata bali dibuka lagi sejak 31 Juli, beberapa destinasi juga mulai dikunjungi masyarakat seperti Bandung, Puncak Bogor, bagaimana hasilnya? Apakah cukup membantu bagi hotel dan restoran?

Sekarang ini sepertinya di Bali sudah naik lagi kasus Coronanya, tinggi lagi. Nah kita masih menunggu tindakan Pemprov Bali nanti akan seperti apa. Tapi, Jakarta itu barometer. Kalau Jakarta bilang PSBB itu kemungkinan yang lain akan mengikuti. Tapi PSBB yang kita perhatikan menjadi keputusan pemerintah untuk memberlakukan PSBB dari kapasitas rumah sakit (RS)-nya. Nah kalau kapasitas RS penuh itu sudah pasti PSBB. Nah sekarang tinggal kita lihat saja kelihatannya bagaimana, kalau naik, penuh, itu sudah kemungkinan besar PSBB.

Tapi ketika pariwisata mulai ramai lagi itu sangat membantu, lumayan. Tapi memang mereka ramainya hanya weekend. Jadi kalau weekdays masih berat. Tapi paling tidak lumayan lah ada pendapatan masuk. Nah sekarang ya mulai persiapan lagi. Tapi kalau menutupi kerugian kemarin itu jauh, masih belum. Kalau kita bicara menutup kerugian sudah nggak mungkin, 2020 ini sudah pasti loss.

Butuh berapa lama hotel dan restoran pulih jika nanti vaksinasi sudah dimulai, dan kasus COVID-19 bisa ditekan drastis?

Insyaallah, mudah-mudahan cepat. Kuncinya itu di vaksin. Kalau vaksinnya itu efektif, masyarakat merasa yakin bahwa kalau sudah divaksin tidak tertular, nah itu bisa cepat. Kalau perkiraan kami 3-6 bulan. Karena kami memperhatikan juga. Tadinya kami pikir akan membutuhkan waktu lama. Tapi kalau itu bisa cepat, jadi ada beberapa faktor yang mempercepat. Pertama efektivitas vaksin seperti apa, kedua adalah dari kepercayaan masyarakat seberapa tinggi, dan menurut kami cukup tinggi.

Karena kami melihat beberapa survei itu cukup positif dalam hal melihat, istilahnya bukan penakut. Ketiga, juga bagaimana pemerintah mengeksekusi APBN-nya, terutama menyangkut masalah perjalanan dinas. Jadi kalau pemerintah juga cepat, itu akan mempercepat proses itu. Nanti baru akan diikuti oleh korporasi swasta.

Selama masa transisi restoran diizinkan untuk melayani makan di tempat lagi, apakah ada perubahan perilaku dari customer? Misalnya ada request unik, seperti pemilihan meja, atau mungkin lebih banyak ingin di outdoor mengingat penyebaran sangat rentan di ruangan AC?

Nggak ada secara spesifik seperti itu. Memang ada beberapa restoran yang menjadi favorit karena dia terbuka, tapi kalau dilihat apakah customer request tidak terlihat signifikan. Jadi tetap berjalan seperti biasa. Hanya memang tergantung segmentasi. Jadi kalau segmen pasar menengah atas itu jauh lebih baik mereka melakukan protokol kesehatannya. Nah kalau yang menengah bawah ini yang banyak nggak disiplinnya. Jadi baik pengelolanya, maupun juga tamunya. Jadi itu yang terus-menerus kami dari PHRI melakukan sosialisasi.

Dari kategori restoran, apakah ketika masa transisi masih ada yang jumlah pengunjungnya tak mengalami perbaikan?

Nggak juga sebetulnya. Kalau kita melihat itu praktis yang masih rendah itu yang di mal, karena mal kan mengikuti jumlah pengunjung. Tapi kalau yang di luar adalah yang memang tidak jadi favorit. Tapi kalau restoran yang favorit, itu sudah mulai ramai, sudah mulai bagus.

Adakah tantangan tersendiri bagi staf restoran/hotel ketika menemui customer tidak menerapkan protokol kesehatan?

Nggak-nggak sih. Sejauh yang kami pantau itu tidak. Masyarakat juga cukup bagus, kesadarannya cukup tinggi. Hanya ya itu yang agak longgar, agak bandel itu di kelas menengah ke bawah. Kadang-kadang mereka juga datang nggak pakai masker, yang seperti itu. Tapi secara keseluruhan saya lihat pengunjung restoran oke, mereka mau patuh protokol kesehatan.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Bentuk penyesuaian selama pandemi di restoran seperti penyusunan kursi, memasang sekat di meja, dan sebagainya. Bagaimana di hotel?

Di hotel mirip-mirip juga seperti itu. Ya lebih kepada mungkin yang berbeda tapi nggak terlihat sama tamu, yaitu disinfektan. Itu standar, semua diberikan disinfektan, harus lebih cermat, dan semua dibersihkan. Dan juga mungkin yang orang kelihatan, yang prasmanan itu sekarang dilayani pegawai hotel, kalau dulu kan sendiri, sekarang dilayani.

Banyak sekali hotel yang memberi diskon besar-besaran untuk menarik pengunjung, mulai dari bintang 2, bahkan sampai bintang 5. Sampai kapan hotel bertahan memberikan diskon? Apakah tidak semakin merugi?

Ya rugi, tapi kan pilihannya nggak banyak. Jadi itu pun pada satu titik si pengelola juga melihat. Kalau memang dari operasional cost nggak ter-cover, ya kemungkinan dia akan tutup operasionalnya, dan ini agak sulit memang. Kita melihat perkembangan dari Senin kemarin itu luar biasa. Empat hari ini saja sudah bikin kita deg-degan.

Kenaikan kasusnya luar biasa. Kalau kita lihat kondisi seperti ini, sampai awal Januari, saya nggak kebayang kita punya kekuatan daya tahan ekonomi kita akan seperti apa. Karena orang kan takut semua, takut ke luar rumah, dan sebagainya. Nah ini kan akan terjadi PHK atau kehilangan lapangan kerja yang besar, karena nggak ada demand-nya.

Ya pokoknya selama dia hitungannya masih mampu untuk bayar operasional, breakeven ya mungkin bisa lakukan terus memberi diskon. Tapi kan kalau sudah rugi nggak mungkin. Dia kasih diskon, tapi tetap rugi, ya mendingan dia tutup, mendingan dia setop.

Sejauh ini bagaimana efektivitas stimulus dari pemerintah? Seperti pembebasan tarif minimum listrik 40 jam, diskon tarif listrik, dan sebagainya?

Diskonnya kecil. Jadi kemarin memang tarif turun 1,5%, dan juga biaya minimum 40 jam memang dihilangkan. Nah kalau hotel-hotel tutup lagi itu mungkin baru akan dirasakan manfaatnya. Tapi kalau yang kemarin kan sempat terima tamu lagi, jadi ya nggak berdampak. Nah sedangkan dari bulan Maret sampai Agustus itu kan belum ada ketentuan itu, jadi sudah terlanjur bayar juga kemarin minimal 40 jam, kalau nggak listriknya dimatikan. Jadi sitimulusnya telat.

Kalau stimulus pembiayaan korporasi?

Nggak, itu sih berat, susah nanti. Nomor satu persyaratannya berat, minimal harus punya 300 orang karyawan, harus berorientasi ekspor, itu kan nggak semua bisa memenuhi. Tapi lepas dari semua itu, eksekusi di perbankan juga tidak mudah. Kalau sektor yang sangat terdampak, bank juga nggak mau kasih modal. Kan bank juga melihat kamu bisnisnya seperti itu, jadi ya intinya nggak gampanglah kenyataannya di lapangan pada waktu eksekusi, bank-nya juga nggak mau.

Saya rasa stimulus yang paling bermanfaat itu yang dinikmati karyawan, yang BLT itu. Kalau perusahaan lebih ke relaksasi utang memang membantu. Tapi kalau yang lain belum. Kalau listrik belum terlihat. Itu pun kalau kami tidak bekerja optimal, kalau kami tutup. Tapi kan kami nggak mengharapkan tutup. Tapi ya kalau tutup baru dapat minimum surcharge nggak bayar, dan potongan tarif itu kan kecil. Minimum surcharge baru terasa kalau kita tutup.

Karena sebelumnya dari bulan Agustus itu kan banyak yang tutup, itu tetap bayar minimum surcharge, nah itu yang memberatkan kemarin. Tapi nanti kalau kita beroperasi lagi, lebih dari minimal pemakaian 40 jam itu, ya berarti kan kita bisa masih memenuhi operasional. Jadi minimum surcharge itu lebih efektif kalau kita tutup atau pemakaian kita di bawah 40 jam itu. Tapi ya kita nggak tahu, ini kan sekarang mulai PSBB lagi, jadi mungkin bisa dimanfaatkan ya sekarang-sekarang.

Sebetulnya apa yang paling dibutuhkan oleh pengusaha hotel dan restoran dari pemerintah?

Yang dibutuhkan itu sebetulnya demand-nya balik, itu yang kami harapkan. Stimulus itu kan sifatnya sementara. Mau berapa pun, kalau masyarakatnya nggak bisa beraktivitas ya nggak pengaruh juga, pasti jauh lebih jelek lagi. Makanya kita berharap penanganan virusnya ini paling penting.


Hide Ads