Para pengusaha batu bara diwajibkan memasok seluruh produksinya untuk memenuhi kebutuhan untuk PLTU PLN dan perusahaan pembangkit (independent power producer/IPP). Sebab, kondisi pasokan batu bara saat ini kritis dan ketersediaannya sangat rendah. Kondisi tersebut dapat mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional.
Pengusaha batu bara pun merespons dinamika tersebut yang terjadi tepat di tahun baru ini. Dalam Blak-blakan bersama detikcom, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira meminta pemerintah jangan hanya 'menghajar' perusahaan tambang kecil.
Angga menilai pemerintah juga harus menertibkan perusahaan-perusahaan tambang raksasa. Menurutnya hal itu akan membuat upaya pemenuhan batu bara untuk pembangkit listrik menjadi lebih efektif.
Di sisi lain pemerintah juga harus memperbaiki tata kelola ketersediaan batu bara di dalam negeri. Tujuannya agar dapat mengetahui berapa banyak pasokan batu bara yang disetorkan oleh pengusaha untuk pembangkit listrik.
Apalagi, lanjut dia, batu bara yang diekspor ke luar negeri harus mendapatkan izin dari pemerintah termasuk untuk pengapalannya. Jadi seharusnya pemerintah bisa membuat sistem informasi yang andal sehingga tidak kelabakan seperti sekarang ini.
"Jadi mungkin sistem informasi antara ekosistem bisnis ini apakah belum terintegrasi? Nah sebenarnya ini sebagai evaluasi juga untuk bisa terintegrasi antara satu sama lain," tuturnya.
Tentu saja fenomena krisis batu bara yang terjadi saat ini membuka tabir tentang kesiapan pemerintah dalam melaksanakan transisi ke energi hijau (green energy). Pemerintah sendiri berkomitmen akan mempensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Angga juga bercerita mengenai usulan agar harga batu bara yang dijual ke pembangkit listrik dinaikkan dari US$ 70 menjadi US$ 90. Apakah hal itu akan membuat tarif listrik naik. Wawancara selengkapnya bisa disimak berikut ini:
Batu bara kita eksportir nomor dua terbesar di dunia kan. Tapi tiba-tiba awal tahun lho PLN-nya sendiri kekurangan. Kayak ayam mati di lumbung padi kalau kata peribahasa ini. Nah kalau dari asosiasi pengusaha batu bara sebetulnya yang terjadi kenapa ini? PLN yang lambat melakukan permintaan atau dari kalangan pengusahanya sendiri yang memang 'ah mendingan ekspor dah, harga jualnya lebih tinggi ketimbang PLN' misalnya begitu. Kan harga belinya rendah, bayarnya juga mungkin kadang-kadang lama gitu? Bagaimana yang terjadi sebetulnya?
Yang pertama dalam kondisi seperti ini sebaiknya kita tidak saling menyalahkan ya. Tapi kita mencari sebuah solusi bersama-sama secara komprehensif dan kolaboratif. Hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah dan mungkin sampai dengan Pak presiden sendiri memberikan statement itu kan berarti sudah ada sense of urgency ya terhadap ketahanan energi kita. Jadi menurut saya walaupun ini dianggap sebagai kebijakan yang short ya penghentian ekspor itu tapi ini kita maknai memang harus ada perbaikan tata kelola batu bara untuk menjamin ketahanan energi walaupun kita gembar-gembor green energy, transisi energi tapi factually-nya kan fundamental listrik kita masih 80% mungkin 85% ini masih disokong oleh batu bara ya. Jadi itu yang perlu kita cermati dan saya rasa dalam konteks transisi energi kita juga tidak bisa gegabah juga, harus benar-benar hati-hati dan harus benar-benar terencana.
Saran dari kami memang kita harus melihat core kompetensi daripada kita, kita kaya akan sumber daya alam ya, batu bara, gas bumi, itu memang harus dimaksimalkan dalam proses transisi energi Jangan sampai salah perencanaan seperti yang terjadi pada LPG misalnya gitu ya, kalau saya ingin menarik ini ke hal yang lebih makro. LPG kan kita nggak bisa produksi kan kita jadi sekarang impor juga. Nah ini jadi mudah-mudahan DEN benar-benar bisa lebih sensitif memetakan stepping daripada ketahanan energi karena kalau ketahanan energi kita masih terganggu ya kita untuk bertransformasi menjadi negara yang maju itu, G20, G8 akan sulit kalau masih kembang kempis seperti ini. Jadi benar-benar harus dipastikan karena investasi-investasi yang masuk ke kita pun yang saya cermati juga menginginkan adanya kepastian ketersediaan energi yang benar-benar kompetitif. Ini yang harus menjadi concern utama. Jadi poinnya menurut saya situasi yang kita hadapi di awal tahun ini seperti alarm ya yang menyadarkan kita kita perlu melakukan collaborative action antar stakeholder untuk menyelesaikan persoalan ini.
Memang benar ya para pengusaha lebih suka menjual keluar negeri karena harganya lebih tinggi?
Sebenarnya sih bukan dibilang lebih suka, dalam konteks konsep kita itu kan memang ada kewajiban DMO yang memang mengikat dalam rencana kerja kita, setiap perusahaan diwajibkan untuk memenuhi DMO, setiap tahunnya sekian banyak. Tapi kan di sisi lain dengan adanya harga yang cukup tinggi, dengan disparitas yang tinggi banget, jauh banget antara US$ 70 which is kalau kita ekspor itu bisa US$ 180 mungkin terakhir terakhir di akhir tahun itu bisa US$ 200. Itu kan menggiurkan para pelaku usaha 'ya udah gue ekspor dulu deh, nanti yang dalam negerinya nanti-nanti' gitu lho. Makanya itu kan sebenarnya harus ada schedule time juga kan, schedule time untuk saling ibaratnya mengisi lah antara satu perusahaan dengan perusahaan lain.
Jadi boleh dibilang sih kalau kita dari Aspebindo mungkin teman-teman sudah tahu kita dari bulan September sudah mengingatkan, ini udah kacau stockist menipis gitu lho, ya mungkin biasanya harusnya dalam konteks dua bulan ini mungkin berapa hari, dua minggu udah mengkhawatirkan. Jadi boleh dibilang ini situasi alamiah dari hukum ekonomi, di mana permintaan dari luar harga ekspornya cukup tinggi, yaitu menggiurkan dan automatically memang banyak teman-teman yang akhirnya memprioritaskan ke luar dulu.
Sebenarnya kan kalau skemanya atau mekanismenya sudah teratur sudah inlink antara satu sama lain sebenarnya kan itu bisa kelihatan perusahaan ini pemenuhannya berapa, perusahaan ini. Jadi di tengah jalan itu bisa langsung diperingati, sebenarnya kan begitu, dan izinnya kan setiap barang yang keluar ini kan harus ada izin ekspornya, izin kapalnya. Jadi mungkin sistem informasi antara ekosistem bisnis ini apakah belum terintegrasi? Nah sebenarnya ini sebagai evaluasi juga untuk bisa terintegrasi antara satu sama lain.
PLN sendiri sebetulnya sistem kontrak pembeliannya berapa bulan sekali dan berapa banyak?
Itu kan sebenarnya gini, kalau PLN itu ada yang kontrak jangka panjang yang dari awal, ada yang memang juga melalui IPP-nya masing-masing dan juga ada melalui PLN Batu Bara. Nah ini memang ya itu tadi, ini perlu dibenahi lah totally seperti apa, karena mungkin banyak sekarang dari trader trader yang ke PLN Batu Bara. Tapi kan dengan adanya PLN Batu Bara kan dia pasti juga ngambil margin, ngambil apa, harga belinya bisa jadi lebih murah lagi dibandingkan capting yang ada, dan mungkin menurut saya concern-nya bisa saja kan terkait juga dengan supply chain-nya juga, artinya secara logistik ini gimana? Kadang-kadang daftar antrean, surveyor, nah ini menyebabkan kadang-kadang juga lambat.
Kan kalau batu bara ini kan bukan berarti you ngirim barang langsung dibayar kan, nunggu disurvei dulu kualitasnya seperti apa, ini bisa satu bulan hal-hal seperti ini. Nah ini kan juga yang menyebabkan teman-teman tambang-tambang yang relatif kecil dia cost of fund-nya nggak bisa naik, cost of fund-nya kan jadi tinggi gitu. Ini yang harus diantisipasi juga gimana agar mereka bisa lebih efektif dan efisien, cost of fund-nya juga tidak berlarut-larut ini yang harus diterjemahkan dalam sebuah regulasi. Ya mungkin sih ini nggak terlalu lama. Kalau dulu harganya nggak ada disparitas yang tinggi sebenarnya normal-normal aja ya kan sebenarnya ya. Tapi kan ini kita nggak tahu karena COVID karena apa kita harus benar-benar antisipasi lagi sistem yang ada.
Tadi tempat disinggung soal trader. Itu kan kayaknya dari September-November juga sempat disinggung soal kemungkinan menghapus peran trader itu. Realisasinya seperti apa?
Saya rasa sih sebenarnya kalau ada concern seperti itu salah ya menurut saya. Trader ini kan sebenarnya muncul karena ada opportunity. Kan nggak semua tambang-tambang punya kemampuan finansial yang bagus. Sebenarnya trader inikan middle man ya yang membantu untuk mengeksekusi. Jadi menurut saya iklim yang sudah ada jangan langsung dipangkas tapi tinggal diberikan suatu KPI. Misalnya trader dia mau jual, dia harus ada kerja sama dengan tambang mana, tambangnya siapa yang men-support dia dan berapa, sebenarnya sih nggak ada masalah menurut saya. Toh kalau dari sisi margin sebenarnya kalau memang ini berjalan dengan baik masing-masing masih bisa mendapatkan margin yang cukup oke lah. Dan di sisi lain sebenarnya gini, kemarin ketika harga naik kan PNBP pemerintah juga tinggi ya, penerimaan kita akan besar ya. Nah itu kan sebenarnya bisa juga melakukan subsidi silang ya. Nah itu bisa dibahas lebih detail karena kan penerimaan kita juga dari sisi itu cukup tinggi juga.
Memang ada beberapa perusahaan yang akhirnya 'mengesampingkan', ini ada peluang pasar yang cukup menggiurkan, kita jual dulu deh ke luar. Kalau dari catatan Mas Angga, anggota Aspebindo kan ada ratusan/ribuan pengusaha yang terlibat. Itu ada berapa persen yang 'nakal-nakal'?
Sebenarnya kalau kita boleh bilang nakal sih gini, nggak semua batu bara ini bisa diserap oleh dalam negeri juga kan karena spesifikasi juga gitu lho. Ini kan harus diperhatikan kadang-kadang karena nggak bisa diserap ya kita saling bekerja sama untuk memenuhi DMO. Nah ini juga harus diperbaiki karena nggak semua spesifikasi batu bara ini bisa diserap oleh PLN ya. Saya rasa sih semuanya teman-teman ingin berbisnis secara baik ya. Apalagi kan bisnis batu bara ini barang yang kelihatan ya.
Ya kita kan pernah mengalami ya dari tahun 2000an mungkin dulu dikenal istilah koridoran, tambang tanpa izin, pemerintah melakukan penegakan hukum akhirnya sekarang mulai terkonsolidasi. Saya rasa ini bagian daripada proses konsolidasi ya agar memang iklim usahanya bisa sehat, para pengusahanya juga bisa punya track record yang baik. Jadi menurut saya ini bagian daripada sebuah proses menuju perbaikan. Adapun yang kena sanksi saya rasa kan diberikan juga waktu ya untuk memberikan sanggahan, memberikan tanggapan, memenuhi kewajiban-kewajibannya. Tapi ya kalau memang dalam jangka waktu tertentu sudah diberikan kesempatan tapi dia masih belum bisa memenuhi ya saya rasa juga apapun itu harus ditindak tegas.
Saya rasa ya negara harus hadir secara fix juga, dan harus kita lihat juga keberpihakan negara bukan hanya kepada yang besar-besar ya, mungkin kalau yang besar-besar pasti dia secara prudent-nya sudah memenuhi secara aturan-aturan. Tapi yang kecil-kecil juga ini wajib dibina kalau memang ada peluang untuk membinanya, jangan dibinasakan gitu lho, saran saya seperti itu jangan yang dalam quote yang besar-besar oligarki lah, silahkan sekarang kerennya oligarki yang mengatur gitu lho dan itu juga kalau kita boleh jujur kemarin kan juga di Undang-undang Minerba quote and quote sempat terkonfirmasi juga sebenarnya seharusnya kalau kita boleh firm, Undang-undang Minerba yang kemarin dibahas oleh DPR itu kan sebenarnya bisa menjadi pintu masuk memperbaiki tata kelola iklim bisnis yang ada gitu lho.
Nah beberapa kan sekarang di tahun 2022 PKP PKP2B yang besar itu kan akan habis masa kontraknya. Sebenarnya diseriusin bagaimana pemerintah bisa reformulasi model bisnis yang ada untuk menjamin ketahanan energi nasional juga. Itu menurut saya bisa menjadi entry point yang lebih strategis dan lebih solutif secara jangka panjang menurut saya. Nah itu yang menurut hemat saya jangan yang kecil-kecil dihajar diecerin, yang gede-gede di depan mata yang mungkin lebih mudah malah ya dibiarin aja gitu lho. Padahal kalau itu disenggol itu kan sudah bisa memenuhi sekian persen kebutuhan batu bara nasional. Tinggal keberaniannya aja seperti apa.
Kan isunya tadi terkait soal disparitas harga ya. Kita tahu November Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara untuk pupuk dan semen itu US$ 90 ya, yang non listrik. Sementara yang untuk PLN tetap US$ 70 ya?
Semen dan pupuk sebagai industri strategis itu di atas US$ 90. Tapi kalau yang dalam negeri itu non semen itu harganya kadang-kadang bisa lebih tinggi juga, harga market juga yang lain-lain gitu ya.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Kan kemarin sempat tercetus juga kenapa nggak untuk istilahnya mengurangi disparitas itu untuk PLN pun dinaikkan harganya, minimal disamakan dengan pupuk dan semen?
Iya betul itu sempat ada usulan dari ketika kita kemarin ada munas, ada pembahasan juga dan anggota menyampaikan kita dorong dong di rapat itu menyampaikan ke saya dan kita sampaikan secara terbuka untuk menjadi bahan diskursus. Ya kalau menurut saya kalau ada lumayan naik US$ 20 kan relatif bisa lebih kompetitif menurut saya, dan lebih gampang kan sebenarnya kontrak-kontrak dalam negeri daripada dengan kontrak kontrak luar negeri kan banyak risiko yang besar juga sebenarnya kan gitu. Kalau dalam negeri kan you kirim pakai tongkang kan masih bisa ya.
Tapi kan akhirnya bergulir bergulir bergulir masih dalam pembicaraan mungkin sudah sangat krisis di akhir tahun gitu. Jadi akhirnya 31 Desember kita dapat surat informasi terkait tersebut. Tapi artinya kalau boleh dibilang ini bukan berita yang tiba-tiba, kita pun dari pelaku usaha sudah merespons dan sudah memberikan usulan. Jadi bukan hal yang kita juga nggak tahu, kita udah tahu tapi kan sekarang sebenarnya dibutuhkan speed daripada pengambil kebijakan berkolaborasi secara cepat juga untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada.
Hal seperti ini menurut saya jangan sampai terulang lagi karena ini bisa menjadi dispute. Ini kasihan teman-teman yang sudah berkontrak di luar negeri, ada yang vessel-nya sudah ini, dan kontraknya kan mungkin perjanjian pengirimannya kan bukan di 31 Desember, mungkin sebelumnya sudah teken kontrak dia. Nah ini kan perlu dibahas juga tapi ya menurut saya tadi yang saya bilang dari awal, kepentingan negara, kepentingan dalam negeri domestik kita harus di atas kepentingan bisnis, menurut saya seperti itu karena kalau listrik mati kita nggak tahu kerugian akan seperti apa, akan kacau sekali kan gitu chaos gitu tapi. Tapi itu tadi maksud saya ini diantisipasi jangan sampai nanti terjadi lagi di tahun depan hal yang sama. Kan ini banyak sekali kerugian-kerugian material dan immaterial makanya harapan kita dengan consolidation cepat 1-2 minggu ini kita bisa mengantisipasi dan memberikan solusi dan kalau bisa pertengahan bulan ini sudah boleh diberikan izin ekspor lagi bagi perusahaan-perusahaan yang sudah memenuhi
Kan sampai akhir Januari ini ya?
Iya akhir Januari tapi kemarin di rapat kita dengan Kemendag ada sinyalemen kalau teman-teman yang memang sudah memenuhi DMO dan lain sebagainya dan mungkin dalam perjalanannya dievaluasi adanya kenaikan stok dari PLN akan dibuka lagi ekspor kita karena memang menurut saya jangan juga dinafikan ini kan momentum ekspor dengan harga yang cukup tinggi kan untuk penerimaan negara juga. Jadi harus berimbang menurut saya.
Ketika usulannya naiknya sekitar US$ 20, itu kan implikasinya juga PLN artinya biaya produksinya tinggi, artinya nanti akan merembet ke masyarakat, tarif listriknya harus naik kan. Nah terus ini subsidi?
Makanya pemerintah kan dapat cuan dari harga ekspor yang tinggi. Nah itu kan bisa instrumen fiskalnya bisa saling menopang. Itu sih maksud saya, jangan lagi dibebankan kepada masyarakat.
Artinya kenaikan US$ 20 itu nggak mesti juga diikuti dengan kenaikan tarif listrik?
Oh nggak dong, itu kan masih bisa berimbang dengan PNBP yang masuk juga, masuk ke dalam itu juga kan cukup tinggi sekarang, dan tentukan pemerintah setiap ekspor kan mendapatkan pajak yang cukup signifikan juga.
Mas Angga sempat bilang jangan sampai kasus kayak gini terulang, karena sebenarnya pembahasan sudah dari September kan ada larangan ekspor mendadak ini Apa saja yang harus dibenahi dari sisi pengusaha nya sendiri kedisiplinan memenuhi DMO dan dari pemerintah pembuat kebijakan, serta dari PLN mungkin sebagai salah satu konsumennya?
Ya menurut saya sih yang pertama tadi kan ini kan pengawasan cukup penting ya, jadi report-report setiap bulan harus ter-update juga. Jadi artinya peringatan itu kan jangan hanya di akhir tahun, akhir tahun diperingatkan ya udah susah. Tapi berkala ini bisa diberikan peringatan juga. Kan jadi saling link antar kementerian, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan. Maksud saya juga dengan kita juga para asosiasi dan pelaku usaha menjadi hub lah untuk berkomunikasi. Yang lainnya tadi ya menurut saya dari skema pembayaran, skema di PLN-nya sendiri harus lebih kompetitif gitu lho untuk membuat misalnya bisa terbitkan SKBDN gitu kan.
Itu kan juga kemudahan juga ya untuk pelaku usaha yang kecil-kecil kalau memang dianggap perlu kan artinya dia kalau sudah SKBDN kan tidak perlu cari pembiayaan dari luar yang menyebabkan cost of fund-nya akan naik. Nggak bisa satu-satu sih harus holistik, dimana dimana dicari, apalagi kan sebenarnya dengan sekarang teknologi informasi, teknologi digital yang semakin maju ini kan interkoneksi ini bisa kita lakukan bersama-sama.
Terkait pemenuhan kebutuhan PLN, Mas Angga optimis dalam dua pekan ini bisa terpenuhi?
Saya rasa optimis kok, sebenarnya ini barang kelihatan, barang yang kelihatan bukan suatu hal yang nggak kelihatan barangnya, orangnya ada di mana, ini juga sudah bisa dipetakan, ada penegakan hukum. Toh juga nggak ada pengusaha yang mau berurusan dengan hukum dan lain sebagainya ya menurut saya. Jadi itu tegas, tidak ada tawar-menawar, dilakukan tanpa pandang bulu, aturannya jelas itu saja seperti apa sehingga tidak menimbulkan celah-celah untuk dilakukan hal-hal yang sifatnya destruktif. Jadi saya rasa itu yang harus kita lakukan.
Terkait permintaan kenaikan harga dari US$ 70 ke US$ 90 sudah terjadi pembicaraan komprominya akan sebesar?
Ya makanya kalau dari kenaikan harga sih sebenarnya kita sempat sudah sampaikan. Hanya kan tiba-tiba terjadi isu ini, ini kan lebih bolanya, mungkin setelah ini terpenuhi mungkin kita bisa ada. Tapi ya menurut saya yang paling penting tadi harus dihitung juga berapa penerimaan negara yang masuk. Jadi jangan sampai membebankan rakyat lah intinya. Kita juga nggak mau beban rakyat sudah berat, kalau harus naik TDL, harus naik apa, jadi menurut saya perencanaan itu menurut saya menjadi hal yang sangat penting, gagal dalam merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan.
Transisi green energy jangan sampai hanya campaign doang gitu lho tidak diikuti langkah-langkah yang terukur. Misalnya penggunaan mobil kita, mobil dinas, mobil apa masih berbahan bakar minyak kok, contohnya ya simpelnya ya. Nah ini kan harus terukur dari yang pemerintah mudah dulu untuk men-deliver. Berarti kan akan menjadi contoh. Kalau elitnya aja tidak memberikan contoh bagaimana masyarakatnya mau.