Blak-blakan Rahasia di Balik Dominasi JNE hingga Lahirkan Paxel

Wawancara Khusus Pendiri JNE, Djohari Zein

Blak-blakan Rahasia di Balik Dominasi JNE hingga Lahirkan Paxel

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Rabu, 31 Agu 2022 08:35 WIB
Founder JNE, Djohari
Foto: Dok. Paxel
Jakarta -

Siapa tak kenal JNE atau PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir? Keberadaan perusahaan ekspedisi ini seolah telah menjadi bagian penting di kehidupan masyarakat Tanah Air saat ini.

Kehadiran abang-abang kurirnya dengan seruan 'Permisi paket!' kerap dinanti, khususnya bagi mereka yang sering belanja online.

Di balik besarnya JNE saat ini ada sosok Djohari Zein. Pria kelahiran Medan, 16 April 1954 ini merupakan salah satu sosok pendiri JNE.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam wawancara khusus detikcom, ia bercerita mengenai kisah perjalanan hidupnya hingga membangun JNE. Tak cuma itu, ia juga mengungkap alasannya membangun perusahaan rintisan atau startup Paxel yang sama-sama bergerak di bidang logistik.

Berikut wawancara Djohari dengan detikcom di Kantor Pusat Paxel, Jatinegara, Jakarta belum lama ini:

ADVERTISEMENT

Sukses membangun JNE dan kini membangun Paxel, bagaimana kisah masa kecil Bapak?

Saya pernah mencoba-coba mengingat-ingat sebetulnya saya ini passion-nya apa ya, kok sekarang ada di logistik? Padahal pendidikan saya waktu itu kuliah ya di perhotelan, pariwisata di Tri Sakti. Kemudian kok saya jadi tukang anter barang ya, kok bisa begitu.

Jadi mengingat-ingat sejarahnya, ingat mentor-mentor yang pernah saya kenal, saya ingat itu ya, kalau saya mundurin sampai ke kakek saya. Kita ini kan ada kakek istilahnya kalau kita orang Chinese ada kakek dalam, kakek luar. Kakek dalam itu dari pihak ayah saya, kakek luar dari pihak dari ibu saya.

Rupanya dua orang kakek saya ini punya latar belakang entrepreneurship yang berbeda-beda. Walaupun mereka dari masa lalu saya, tahun 1900 waktu kakek saya dari pihak ibu datang ke Indonesia. Ini ceritanya panjang, jadi naik kapal, dia cuma bawa terigu. Jadi orang susah rupanya. Waktu itu dia mendaratnya di Belawan, di Medan. Mulailah kisahnya dia itu, kalau kamu tahu tentang film Squid Game, itulah perjuangannya di situ. Squid Game itu kan semacam perjuangan kita mencapai sukses, kakek saya dari ibu saya, dia waktu datang ke Medan nggak punya kerjaan, akhirnya dia bekerja waktu zaman itu Belanda.

Dia itu mendapat kerja buka restoran, tapi kan di zaman susah itu nggak ada gaji. Dijanjikan 'Kamu kerja sini cuci apa yang kamu bisa cuci, tapi nggak dikasih gaji ya. Terus saya mau bagaimana makannya? Kalau kamu mau makan sisanya aja kalau ada' katanya gitu.

Hidup dengan kesulitan semacam itu kakek itu bekerja sebagai tukang cuci piring, akhirnya dia belajar di dapur itu bagaimana memasak, sampai dia bisa membuat kue. Akhirnya dia itu bisa punya toko di pusat pasar di Medan itu. Saya masih ingat, saya juga jaga tokonya waktu kecil. Itulah modal kehidupan yang bukan kehidupan yang kaya raya tapi juga penuh perjuangan.

Memang sebuah perjuangan, modalnya dia itu menjalankan ritel service business dan sebagainya. Dari situ saya banyak mengikuti dan melihat bagaimana menjalankan bisnis dengan menghargai waktu, disiplin, produksi, dan sebagainya. Di situ belajar dari kakek saya. Mungkin pengaruh itu cukup kuat juga.

Cerita lain, di mana ayah saya itu berbeda pula latar belakangnya. Kalau kakek dari ayah saya itu termasuk orang kaya dia. Di Medan itu kan di zaman Belanda ada macam-macam, kalau kakek saya yang satu itu dari pasar hidupnya, perjuangannya dari ritel, sedangkan kakek saya dari pihak ayah saya itu dia datang ke Indonesia lebih duluan.

Di zaman itu, zaman Belanda dia dapat apresiasi yang lebih tinggi, terus dia kerjanya di bank termasuk orang kaya. Tapi bukan karena soal kayanya bagaimana, tetap sederhana tapi di zaman yang berbeda.

Kakek saya dari pihak ayah saya itu bukan orang yang jualan ritel seperti kakek saya dari ibu saya. Yang satu dunianya dunia Belanda, buka bank, bikin toko, dan sebagainya. Itu dua sisi yang berbeda, tapi dua-duanya memberikan ilmu yang sangat kita butuhkan.

Jadi makanya entah bagaimana di zaman sekarang ini saya waktu mulai masuk bisnis saya cukup enjoy, bisa membuat pekerjaan selesai dengan memberikan nilai tambah pada orang-orang seperti model kakek saya. Ritel cukup sibuk tapi memberikan manfaat.

Itu jadi latar belakang, salah satu, kok cocok ya kalau saya di bagian logisitik pekerjaannya delivery. Kalau delivery buat saya adalah model your destination is our goal, tujuan hidup kita adalah tujuan mereka juga, membantu mereka. Makanya di Paxel ini sering ada semacam moto yang kita pakai itu adalah hashtag Antarkan Kebaikan itu sebagai sebuah awal yang akan membuka pintu kita.

Jadi dua kakek ini yang menginspirasi?

Inspirasi, selain yang lain-lain, mentor itu harus banyak, kalau mentornya cuma satu nggak cukup.

Dari kecil apakah kehidupan bapak sudah mapan?

Saya rasa tentu masing-masing punya pilihan dengan model hidupnya masing-masing. Menurut saya secara umum dengan usia saya 68 tentu saya sudah melihat banyak juga. Mungkin bagus ya kalau kita sebagai seorang manusia menjalankan kehidupan kita dalam lingkungan yang dalam posisi minoritas kalau menurut saya, tanda kutip kekurangan lah, tidak mayoritas.

Kalau mayoritas cenderung memiliki segala-galanya, kalau kita muslim kalau mendapat rezeki biasanya kita senang padahal di situ ujiannya sangat besar. Kalau mendapat musibah umumnya manusia itu berdoa karena dia menderita.

Saya lebih senang kalau kita dalam kondisi yang cobaan, ujian membuat kita manusia yang lebih kuat fighting-nya, karena kalau orang terlalu senang-senang terus kurang punya kesempatan untuk belajar. Kalau kita minority dalam kondisi kurang itu membuat kita lebih gigih.

Mengambil contoh itu, saya rasa dalam kehidupan saya sendiri melihat kakek saya, dua-duanya juga punya perjalanan yang cukup berat jadi tidak kekurangan, kita bukan orang yang minta-minta fakir miskin, nggak juga, tapi kita tidak pernah merasa wah saya sudah cukup, jadi kita selalu fight, itu yang membuat saya rasa gaya hidup saya pun begitu, terhadap juga saya mendidik anak-anak saya dan mungkin nanti cucu-cucu saya.

Zaman dulu waktu saya masih kecil, saya masih ingat, kita kalau kita ulang tahun makan kentucky aja udah happy banget, bukan soal uang tidak punya uang, tapi apresiasi dengan apa yang kita sudah bisa dapat.

Minority itu membuat kita lebih mampu, tidak menyerah. Jadi saya sering juga ngajarin teman-teman, karyawan kita juga. Jadi kalau kita sedang happy ingat kita bersyukur. Kalau kita lagi cobaan, jangan lupa sabar dan bersyukur dalam doa yang akhirnya kita jadi tidak menyerah. Dua kondisi itu yang harus menjadikan kita mudah dalam kehidupan kita.

Minoritas itu seperti apa?

Jadi kalau kita minority kita bisa ambil contoh penduduk kita ini 270 juta, yang majority kita tahu lah muslim paling banyak jumlahnya. Tapi yang kita dengan mudah bisa melihat minority adalah mungkin suku-suku tertentu di daerah tertentu.

Mungkin orang Sunda banyak, tapi juga ada orang yang minority di Sunda itu, ada suku tertentu lah di keturunan tertentu. Misalnya, kalau saya bilang yang paling mudah orang Chinese itu selalu minority. Tapi sering sekali orang menganggap orang Chinese itu orang kaya. Kenapa dia bisa begitu, apakah otaknya berbeda, nggak juga. Padahal yang membuat mereka berbeda mungkin cara memandang hidup, menjalankan hidup, mungkin lebih hemat, atau cara dia menghargai waktu. Itu membuat minority itu menonjol secara tidak langsung.

Dulu waktu kecil katanya sering di-bully, kenapa?

Mungkin keadaan ya, kondisi di zaman itu, saya waktu sekolah tahun 1950 sekian lah, saya masih di SD, TK aja saya sudah sekolah sebetulnya waktu itu barangkali salah satunya karena saya sekolah di bawah umur.

Di TK aja saya masih umur 4 tahun atau 3 tahun. Kembali lagi ibu saya itu orang susah dalam tanda kutip kakek saya buka toko di pasar. Ibu saya itu guru, guru bahasa Inggris. Dia sangat concern dengan pendidikan saya, mungkin itu salah satunya. Jadi saya TK aja sudah sekolah, itu di gereja sekolahnya. Akibatnya waktu SD ya saya paling kecil di kelas. Itu saya satu kemungkinan yang menurut saya karena saya terlalu kecil di kelas.

Kadang-kadang ada nakal berisik, yang kena hukuman kita aja berdua, karena kita paling kecil, ada di satu kelas dua orang paling kecil.

Yang lainnya komunitasnya, waktu itu saya di Medan, saya itu, selain ibu saya, saya juga anak dari ayah saya. Ayah saya ada Belanda-belandanya dalam tanda kutip. Karena dia kerjanya di bank, ayah saya itu orang dalam tanda kutip orang dianggap istilahnya barang kali Indo. Dia agak Indonesia, Chinese tapi bukan Indonesia. Ada orang yang melihatnya ini Chinese, ada orang Chinese yang melihatnya Indo.

Jadi saya termasuk keluarga di lingkungan saya di Medan itu adalah keturunan yang nggak bisa diterima orang Chinese, nggak bisa diterima orang pribumi juga. Jadi makanya saya nggak punya teman, di lingkungan teman-teman sekolah saya, karena banyak orang Chinese-nya. Di lingkungan rumah tangga saya kebanyakan orang pribumi. Karena di rumah saya di belakangnya ada warung kopi, ada orang Aceh, ada orang Padang, ada orang Jawa.

Saya di lingkungan yang dianggap jenis yang tidak bisa diterima sini, nggak terima situ. Jadi di-bullying lah, gampang lah, apalagi anak sekarang sudah pakai celana dalam, zaman itu saya nggak ada celana dalam, celana dari karet, paling sering diplorotin.

Kalau berantem saya nggak punya siapa-siapa, saya anak paling sulung. Sedangkan orang tua saya banyakan di pasar, yang satu ikut kapal biasanya.

Dalam lingkungan yang mungkin kondisinya bukan jagoan di tempat saya, maka saya di-bully abis. Tapi itu membuat saya bersyukur sih dalam arti tidak membuat saya merasa upper, ataupun punya teman banyak, saya selalu merasa rendah diri. Makanya saya bersyukur di semua tempat saya bekerja saya selalu melihat diri saya bukan sebagai owner, saya selalu melihat saya itu one of the helper, saya membantu siapa saja bisa saya bantu dengan mudah, karena memang culture saya begitu.

Walaupun kemudian bisa buka bisnis, punya perusahaan, punya saham, tapi selalu lebih melihat diri saya itu one of the manager, sehingga saya bekerja itu tidak merasa saya yang punya, saya ini harus kerja keras, nah itulah culture-nya, minority itu seperti itu.

Sikap itu membuat Bapak bisa terus bertahan?

Dengan sikap seperti itu kita bisa diterima oleh siapa saja, banyak temen, yang bos kita terhadap kita baik, temen kita juga baik, tapi ternyata membuat diri kita punya banyak kemampuan.

Simak juga Video: Putra Mahkota JNE Memulai Karier dari Kurir

[Gambas:Video 20detik]



Bagaimana ceritanya dari sektor pariwisata banting setir ke logistik?

Kalau saya memang kembali lagi perjalanan keluarga juga. Waktu itu yang sekolah dokter itu kakak saya, jadi dalam keluarga, kalau kita orang Chinese sangat concern sama pendidikan. Jadi orang tua waktu itu tentu melihatnya salah satu minimal anak saya bisa jadi orang. Yang dibebanin adalah kakak saya, karena dia sekolahnya paling pinter, paling bagus, mungkin saya tipenya yang otak kiri, sukanya seni, membuat karangan, kakak saya itu hapalan kimia.

Kakak saya itu diharapkan menjadi dokter, tapi masuk sekolah dokter nggak gampang, kakak saya kalau nggak salah kuliah sampai berapa tahun ya, mungkin ada 8 tahun untuk sampai jadi dokter. Dia pernah jadi dokter di Atmajaya, baru kemudian masuk di Sumber Waras, baru kemudian baru bisa naik tingkat menjadi kepala rumah sakit dan sebagainya.

Jadi perjalanan buat dia, pertama susah, masuk sekolah pun pakai sumbangan di zaman itu. Ibu saya sempat pingsan juga melihat kakak saya mau masuk sekolah aja sebegitu, tapi mereka berjuang untuk kakak saya untuk menjadi dokter.

Saya memang tipe anak nakalnya, waktu itu sukanya ekonomi, pembukuan, seni rupa saya lulus tapi saya kemudian mau masuk sekolah kalau pilihan sesuai dengan pendidikan yang mungkin ekonomi, tapi saya nggak masuk situ karena kakak saya harus jadi dokter, dia nggak ada income. Kalau saya masuk di situ, kan saya kuliah juga. Jadi akhirnya saya masuk hotel.

Jadi masuk hotel itu targetnya supaya saya bisa keluar dalam waktu 1-2 tahun nanti ya saya bisa bekerja sambil membantu orang tua waktu itu. Akhirnya saya masuklah di hotel.

Dari hotel alhamdulillah dalam waktu 3 tahun selesai, cepet juga. Saya bisa mulai cari uang tuh. Saya mulai cari uang itu keluar dari hotel sudah mulai jadi kasir, auditor, mulai dari situ saya hidupnya di hotel.

Dalam perjalanan hotel, saya kerja pertama di Hotel Hilton itu punya orang barat. Jadi saya melihat juga kayaknya kalau di Hilton yang jadi GM bule-bule semua di zaman itu. Nah saya mau jadi GM itu kapan?

Akhirnya saya cari-cari perusahaan internasional yang lain karena perusahaan yang lain-lain kurang menghargai orang yang pendidikannya bahasa inggrisnya, gajinya bisa gede lah kalau bisa bahasa inggris. Jadi saya pindah ke perusahaan multinasional salah satunya TNT itu, begitu saya masuk di situ, di situlah saya ilmu dari hotel saya bawa. Saya juga masuk di TNT belajar the new logistic business, masih baru tuh DHL juga baru, TNT baru mempelajari next day delivery-nya.

Waktu itu baru ada di Indonesia express delivery, belajar dari situ bagaimana membuat kargo manifest dan seterusnya-seterusnya. Dari situ timbul ide, kenapa ini masih kerja sama orang bule lagi ya.

Kita harusnya bisa membuat perusahaan yang bisa menjadi tuan rumah di negeri Indonesia. Jadi tuan rumah di negeri sendiri itu membuat saya ingin membuat perusahaan logistik yang bisa jualan di Indonesia untuk orang Indonesia.

Mulailah waktu kebetulan juga otonomi daerah mulai bergerak, zaman Soeharto waktu itu, siap apa tidak siap internasional mau masuk. Kemudian saya mulailah bikin usaha untuk ekspor, kiriman ke luar negeri juga.

Belajar dari situ kepikiran untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri maka saya berpikir untuk membangun model servis seperti perusahaan asing itu tapi untuk Indonesia.

Kebetulan otonomi daerah berkembang, ekonomi daerah juga bertambah, kebutuhan untuk quality meningkat, maka saya bisa jualan dah di situ. Di tahun 1990 lah kira-kira.

Bapak dari Medan ke Jakarta kapan?

Habis G30S tahun 1966 lah. Saya di logistik tahun 1971-1972.

Tahun 1990 itu membangun JNE?

Tahun 1990 saya pertama bangun JNE karena waktu itu yang paling jago kirim ke luar negeri itu hanya Kantor Pos di zaman itu, perusahaan lokal belum ada. Makanya saya memperkenalkan perusahaan lokal yang bisa kirim kiriman ke luar negeri. Jadi makanya saya bikin JNE waktu itu.

Tapi sejalan dengan itu ternyata kebutuhan domestik itu juga berkembang dengan cepat. Kemudian terdapatlah ide, diawali dengan krisis ekonomi 1998 waktu Soeharto turun, bisnis terjadi investasi berhenti. Jadi yang kepikiran itu adalah bagaimana kita menghadapi krisis ekonomi itu.

Kalau krisis ekonomi di zaman itu, zaman waktu itu kita masih di sana itu adalah masih B to B. Kebanyakan kiriman ke luar negeri makanya yang bayar corporate. Nah corporate waktu itu juga krisis sehingga susah bayar. Akibatnya cashflow-nya susah. Maka kepikiran lah kita mendapatkan ide untuk mengubah B to B menjadi C to C.

B to B kita menggantungkan jasa kita dibayar oleh corporate. Sedangkan corporate duitnya juga nggak pada cukup. Jadi akhirnya saya berubah menjadi ritel bisnis sehingga dia bisa C to C.

C to C ini adalah cash basis jadi kita membuka agen-agen penjualan waktu itu di JNE, supaya orang itu bisa kirim dari counter kita bayarnya cash. Dengan kondisi cash itu maka cashflow kita bisa tertolong dengan cepat tidak tergantung pada B to B nya tadi. Model bisnisnya pun kita ubah.

Tanpa kita sadari, titik awal kenapa kita bisa bergerak seperti itu karena kita ingat surat Al-Ma'un. Surat Al-Ma'un mengajarkan kita jangan sampai menjadi pendusta agama. Kalau kita tidak menyayangi anak yatim, tidak menyantuni orang miskin, itu kuncinya.

Jadi, oleh karena itu waktu krisis 98 dan juga cashflow kita lagi problem. Solusinya apa, ya waktu itu saya bilang ya kita harus mencari cash. Salah satunya bagaimana supaya orang bisa membayar kita cash, kita membuka counter-counter, agen-agen penjualan.

Jadi mengamalkan surat Al-Ma'un, memperkenalkan bisnis orang-orang yang kena PHK dan sedang krisis, mengajak mereka berbisnis kurir, awalnya dari situ. Karena modalnya nggak terlalu besar, mulai bertumbuhlah di situ. Itu tahun 1998 berjalan sampai mungkin tahun 2000.

Dari situ orang mulai merasakan ternyata counter yang banyak itu memudahkan mereka waktu pengiriman. Nah, tanpa kita sadari ternyata online seller itu mulai bertumbuh, online shipping, jadi orang berjualan di web online internet, mulai banyak. Mereka itu kalau mau kirim biasanya nyari counter. Dia nggak mau pindah kemana-mana yang terlalu jauh. Biasanya cari counter-counter penjualan.

Pergerakan perubahan model belanja dari biasanya offline menjadi online itu ternyata mengubah juga kebutuhan melalui pengiriman lewat counter-counter itu.

Jadi dominasi, JNE mendominasi pengiriman secara lewat counter itu, waktu itu tahun 2010 kita sudah mencapai revenue sekitar Rp 1 triliun satu tahun. Meledak dominasi karena semuanya mengubah berjualan, belanjanya lewat internet waktu itu.

Baru kemudian berubah lagi. Waktu itu kita lumayan dominasi 5-6 tahun Rp 1 triliun setiap tahun dan terus naik. Itu sebelum datangnya musim marketplace sekarang ini. Marketplace sekarang sudah mengubah model bisnisnya lagi.

Akhirnya membuat Paxel dengan jenis bisnis yang sama. Apa alasannya?

Waktu itu memang waktu bangun JNE, kemudian saya mau bangun JNE untuk IPO waktu itu tahun 2016. Kemudian ada perubahan sikap shareholders kita waktu itu tidak semuanya setuju.

Lalu, jadilah perusahaan itu ganti manajemen. Karena ganti manajemen, saya bilang 'OK, saya mundur aja, saya jadi komisaris aja'. Karena waktu saya membangunnya untuk IPO, tapi kalau mereka nggak mau IPO, kan saya daripada buang-buang waktu, saya mundur dari situ karena nggak cocok dengan model bisnisnya lagi.

Keluar dari situ membuat saya punya banyak waktu lah. Akibatnya tadi saya bikin startup komik, startup makanan, jadi punya waktu bikin yayasan pula, saya bangun masjid. Itu sebuah contoh saya punya waktu untuk berpikir-pikir.

Karena saya orang logistik, tentu nggak bisa jauh juga dari masalah logistik, ketika saya ada di luar JNE. Lalu, sebagai orang logistik pasti berpikir juga problem-problem yang ada di balik dari model bisnis itu.

Di model bisnis itu ada macam-macam, di zaman itu bahkan mungkin belum ada aplikasi, orang kalau mau menjemput barang bisa melalui aplikasi. Waktu itu Gojek belum ada waktu di 2016. Jadi banyak hal-hal yang belum ada, sehingga saya kepikiran, iya ya di bidang logistik kita, bahkan sampai sekarang ini model-model bisnisnya masih konvensional.

Mereka pasti mengumpulkan, kemudian melakukan shorting, shipping dari situ baru delivery. Dalam konteks beberapa model bisnis itu banyak yang dilakukan secara manual juga yang akibatnya bisa terjadi kesalahan, biaya juga tinggi.

Hal-hal semacam itu kepikiran sama saya, kebetulan saya sudah nggak di bidang itu waktu itu. Lalu kita ngobrol lah sama temen-temen bagaimana mencari solusinya. Salah satunya adalah teknologi.

Ternyata menggunakan teknologi misalnya kita bisa menggunakan aplikasi, kita bisa mendapatkan informasi status barang dan sebagainya. Itu banyak yang akhirnya saya temukan solusi-solusinya lewat jalan-jalan itu.

Sampai kalau kita lihat sekarang ini akibatnya terus kita memutuskan kalau gitu kita perlu bikin the new model of delivery company. Karena delivery company model yang lama, mohon maaf itu terlalu konvensional.

Sampai sekarang kita bisa lihat, mohon maaf aja kalau kita lihat operator sekarang itu modelnya nggak jauh-jauh amat, jago-jago next day delivery. Tapi di Paxel dari awal kita sudah same day delivery. Sekarang kita bicara mengenai food delivery, kita bicara mengenai frozen food dan banyak hal lagi yang kita ciptakan melalui teknologi.

Saya melihatnya Paxel itu justru adalah the way to do things untuk logistik ini. Di sisi lain, kita dari dulu di Indonesia problemnya logistik kita terlalu mahal sekarang lewat Paxel dengan anak-anak muda kita sekarang ini mungkin mereka akan bisa menjadi penemu-penemu baru untuk menjadikan logistik solusi di Indonesia, dengan harga yang lebih murah, kecepatan yang lebih tinggi, saya rasa kita akan bisa bersaing untuk Indonesia di masa depan.

Karena kita tahu sampai hari ini juga kalau kita bandingkan dengan negara lain, apakah di China atau di Amerika logistik kita terutama untuk dibandingkan di Indonesia. Jumlah penduduknya 270 juta tapi infrastrukturnya kita belum sempurna banget untuk bisa menjawab solusi dari logistik kita.

Karena bedanya kita Indonesia dibanding China dan Amerika, yang daratan semua bisa pakai kereta api semua, China sampai ke Singapura aja bisa naik kereta api karena darat semua.

Sementara di Indonesia kita ada pulau-pulau ribuan dan itu harus ada solusinya. Sekarang kita mungkin serahkan ke Paxel dan teman-teman untuk meng-create lah the new things yang akhirnya akan membuat walaupun pulau-pulau Indonesia harusnya bisa menjadikan logistik bukan sebuah permasalahan karena Indonesia kita hitung akan menjadi Indonesia dengan ekonomi yang sangat kuat, Indonesia emas, kalau kita nggak menjadi tuan rumah di negeri sendiri ya kan repot.

Kalau saja Indonesia kita bisa menyelesaikan masalah logistik kita, kita bisa menyelesaikan logistik kita di dunia. Paxel itu adalah the future untuk mereka-mereka anak-anak muda kita ini. Tapi saya sudah memulai lah dengan mungkin benih-benihnya mudah-mudahan mereka bisa melanjutkan dengan kesuksesan.

Dua entitas berbeda dengan bisnis yang sama, apa tidak bertabrakan?

Saya malah melihatnya, kalau mau dilihat dengan kacamata yang sejujurnya kalau buat saya, bukan saya bikin Paxel untuk menjatuhkan JNE atau JNE sebuah model saja, enggak.

Justru Paxel itu adalah kelanjutan dari banyak model logistik kita yang sekarang ini ada.

Kalau kita biarkan tanpa ada inovasi mereka tidak akan berkembang bisnisnya. Jadi dia akan berhenti di situ dan semua orang rugi sebetulnya. Bukan untuk saya matikan tapi justru tidak berkembang.

Contohnya kita bisa lihat rasakan sekarang ini, JNE waktu saya masih di sana kita delivery 1 hari bisa 1 juta lebih kiriman per hari. Kemudian datang ada J&T, SiCepat, ada Anteraja sekarang rata-rata juga di atas 1 juta. Mungkin J&T lebih banyak 2 juta lebih.

Tapi bagaimana servisnya J&T sekarang ini dengan JNE tidak terlalu beda ya dengan yang dulu kita alami. Karena ada keterbatasan-keterbatasan yang mengakibatkan mereka quality-nya tidak terlalu berkembang itu satu sisi dari quality.

Kedua itu dari cost, harusnya delivery kalau bisa delivery 1 hari untuk 1 juta orang itu hebat. Tapi penduduk kita nggak cuma 1 juta. Penduduk Indonesia itu 270 juta. Bayangkan kalau 270 juta itu perlu delivery same day semuanya, what can we do, teknologi kita belum sampai di situ, apalagi kalau kita menggunakan teknologi yang lama dengan konvensional tadi itu.

Jadi artinya kemampuan kita, operator kita menghadapi kebutuhan bangsa kita saat ini sebetulnya belum cukup. Kita perlu menemukan jalan-jalan pintas yang baru lagi untuk bisa menggantikan kebutuhan mereka itu. Termasuk 270 juta paket per hari di Indonesia. Kita harapkan bisa di-delivery apakah kita menggunakan robot, atau kita loker yang smart locker yang bergerak sendiri, tentu saya ingin menantang anak-anak muda kita untuk bisa menjawabnya.

Lalu, apakah ada rencana untuk IPO Paxel? Dan kemarin juga Paxel baru saja mendapat pendanaan, apa sudah menjadi unicorn?

Belum, Paxel itu adalah perusahaan startup terbuka ya, memang sudah ada banyak pihak yang tertarik. Karena memang model bisnisnya membuka banyak potensi ke depannya. Saya rasa akan semakin banyak cerita keberhasilan mereka yang kamu bisa tangkap nantinya.

Tapi kalau misalnya IPO apakah bisa terjadi, apakah kita melihat IPO harus tahun ini atau harus tahun depan saya belum tahu harus sesuai dengan hitungannya. Kalau IPO saya rasa Paxel itu lebih mungkin karena memang model bisnisnya startup, jadi sangat besar kemungkinannya.

Belum lagi kita melihat investor-investor kita juga bukan kecil-kecil ya, kita melihat kemarin itu yang sudah terlihat nama besarnya seperti Astra, BCA, Telkom bukan somebody yang sifatnya akan low profile mereka juga akan mengembangkan banyak apakah mobil listrik, motor listrik itu sangat kemungkinan besar ada kebutuhan-kebutuhan yang macam-macam.

Sementara kita di logistik dulu waktu saya bicara IPO JNE saya juga sudah bicara logistik mapping-nya, bagaimana kita men-delivery Indonesia sampai ke Papua. Sekarang boro-boro kita Pulau Jawa masih keteteran.

Tapi sebetulnya tidak tertutup kemungkinan tentu saja kita harus memikirkan infrastruktur apa yang diperlukan, mesin macam, teknologi macam apa, dan itu pasti membutuhkan dana. Dan saya rasa investor pasti juga akan suka kalau melihat Indonesia bisa berkembang, untuk memperbaiki model logisitiknya. Dan nanti itu menjadi solusi, Indonesia bisa jadi kekuatan ekonomi yang luar biasa.

Kalau dari Sumatera kita terima, di Medan kita terima, barangnya di Bali, saya rasa itu dalam waktu yang sangat dekat bisa terjadi harusnya kita bisa. Jadi IPO one of the way, tapi kebutuhannya masih banyak sekali terbuka.

Bagaimana kondisi logistik hari ini dan bagaimana tanggapan bapak terkait rencana kenaikan BBM?

Ekonomi ya pastilah makin hari makin challenging, pasti tidak semuanya mudah, pasti ada tantangannya. Kalau menurut saya satu sikap kita jangan pernah menyerah, kita tahu semua pasti ada tantangannya, jadi kita harus mencari solusinya.

Namun demikian, sebenarnya masih terbukalah misalnya teknologi bisa dimanfaatkan untuk bisa mempercepat proses kita. Hal lain yang saya pikir kita bisa belajar juga dari model-model bisnis ataupun sikap kita terhadap produk-produk yang kita temukan.

Misalnya kalau saya melihatnya di zaman sekarang kita sudah sering dengar dan mungkin sering terjadi, perubahan dari fosil ke listrik itu sudah tidak hal yang istimewa banget. Saya mungkin percaya mungkin 1-2 tahun ke depan kamu bisa melihat di jalanan motornya motor listrik mulu karena itu jauh lebih efisien.

Hal-hal kaya begini juga mengalir bersama-sama dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Yang penting bangsa kita kalau saya sih mengajarkan anak-anak muda jangan menyerah, kita bersyukur dan terus mencipta. Dengan model seperti itu kalau kita tidak mudah menyerah kita akan terus berproduksi menciptakan hal yang baru, yang nantinya bisa memberikan solusi kepada problem apapun yang kita hadapi.


Hide Ads