Kalau kita sekarang kita bicara yang agak baru adalah fokus di pangan, ya pangan sudah sering kita dengar peran dan kiprahnya PTPN. Tetapi energi, selama ini kita berpikir itu energi itu ada hubungannya dengan pertambangan. Namanya juga pertambangan dan energi zaman Orde Baru dulu. Sekarang PTPN merambah ke energi walaupun sebenarnya kita sudah mendengar itu kontribusi PTPN terhadap diciptakannya BBM baru Ron 95 atau Ron 98?
Abdul Ghani: Kalau Ronnya itu lebih tinggi itu kalau Ethanol, mendekati Turbo
Itu kontribusi terbesarnya adalah etanol dari tetesan tebu kemudian dikontribusi oleh PTPN. Gimana ceritanya, Pak?
Abdul Ghani: Mungkin saya menjelaskan dulu ada dua hal dulu, pangan dan energi. Cerita pangan jadi terasa pemerintah ketika tahun lalu harga minyak goreng tinggi. Ketika harga minyak goreng tinggi, pemerintah baru tahu bahwa pemerintah nggak pegang stok untuk intervensi pasar. Padahal PTPN itu produksi CPO setahun itu 3 juta ton. Kalau kebutuhan nasional itu untuk minyak goreng itu 5 juta ton, tetapi 5 juta ton itu untuk industri, untuk restoran. Kalau untuk rakyat kecil itu hanya untuk 2 juta ton, sebenarnya itu lebih dari cukup.
Dari situlah akhirnya kami diarahkan oleh pemerintah dalam proyek strategis nasional. Jadi dalam program restrukturisasi perusahaan kami dimasukkan ke PSN. Salah satunya dalam 5 tahun ke depan yang tadinya CPO dijual dalam bentuk CPO, kita hilirisasi menjadi olein. Dalam waktu 5 tahun 1,8 juta ton olein. Nah itu untuk mencukupi kebutuhan 40% itu cukup, tetapi kita lagi membangun 5 tahun selesai lah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang kedua itu adalah pangan. Pangan itu adalah gula. Indonesia itu pada tahun 30 pernah mengekspor 2/3. Jadi tahun 30 produksi gula itu 3 juta ton dan angka 3 juta belum pernah tercapai, setelah itu. padahal luas area yang sekarang itu lebih dari dua kali lipat. Jadi ada isu masalah gula.
Kemudian sejak tahun 67, Indonesia itu menjadi importir, net importir gula. Mulai Presiden Orde Baru sampai pak Jokowi. itu kita berusaha Swasembada itu, sulit.
Itu saya menawarkan pak menteri, 'Pak kita coba pendekatan dari bisnis dulu' PTPN itu sesungguhnya bisa potensi menghasilkan gula separuh sampai 60% kebutuhan nasional, kalau sumber dayanya dimaksimalkan dioptimalkan. Sampai akhir kesimpulan, kita juga diperintahkan diarahkan oleh pemegang saham itu bagian dari swasembada gula tahun 2028 kita sudah mengerjakan itu.
2028 masih 4 sampai 5 tahun lagi. Sekarang kebutuhan yang bisa terpenuhi berapa persen?
Abdul Ghani: Jadi gini kebutuhan gula itu setiap tahun sekitar 3 juta ton 3,2 juta ton, konsumsi perkapita itu 12 juta ton per kapita per tahun. Tahun 2020, itu kami sekitar di bawah 750.000 tahun lalu kita sudah 850.000 ton. Tahun ini targetnya hampir 1 juta. Jadi itu dari PTPN sendiri artinya 1 juta ton produksi tahun lalu itu 2,4 juta ton, kita sekitar 40% lah sebenarnya potensi kita itu.
Dulu Indonesia itu bisa satu hektar itu bisa 15 ton rata-rata itu, sekarang hanya 5 ton. Kami terus melakukan benchmark ke Thailand, India, Australia negara lain. Itu isinya satu masa masalah rendemen kita rendah. Kenapa rendah? Masalahnya di varietas tebu, jadi kita sudah sekarang fokusin ke depan memperbaiki varietas tebu milik sendiri dan melakukan kita mengambil varietas terbaik dari negara lain, kita coba di sini, mana yang cocok di sini.
Karena sejarah Indonesia dulu termasuk negara penghasil varietas terbaik sebelum Perang Dunia ke-2. Jadi kita ingin mengembalikan yang tadi, supaya rendemen tebu kita sekitar 7%. Kalau di Australia itu di atas 12%, karena varietas tebu. Jadi tebu itu sangat rentan. Kalau zaman Belanda dulu umur 5 tahun diganti varietasnya, kita ada satu kebun kami 20 tahun itu nggak diganti, penyakitnya kan hamanya makin banyak.
Kita kembali ke cerita itu di dalam, kami juga masuk ke sektor energi. Kami mungkin akhir tahun ini akan biding untuk pabrik biodiesel di Sumatera Utara, kapasitas 450.
Jadi ada etanol ada bio diesel ini lagi-lagi dari gula dan dari sawit, memang fokusnya sudah diarahkan?
Abdul Ghani: Kalau etanol ceritanya begini. Jadi dari 100 kilogram tebu itu bisa dihasilkan gula. Itu kalau sekarang kan 5 (kg), mestinya yang kemarin itu 7 sampai 9 kg gula, tetesnya 4 sampai 6 kg tetes. Ketika tebu diolah menjadi nira, kemudian jadi gula. Kalau 100 ton tebu berarti dapat gulanya antara 7 sampai 9, kalau kita sekarang masih 5 sampai 6, sisanya itu tetesnya itu 4 sampai 6 ton per hektar dari 4 kilo tetes dijadikan 1 liter etanol. Itu kalau rute tradisional, tebu, nira, gula, tetes, etanol.
Kita punya pabrik, waktu itu pak presiden pernah berkunjung ke sana kapasitas 100 ton baru etanol dan rencananya waktu beliau mau mencoba, 'udahlah yang kecil bikin aja di Surabaya' ada bauran E5 targetnya Surabaya dulu. Ke depan mestinya kita kayak Brazil, tahun 73 melakukan inovasi tentang etanol sekarang mungkin 50% di sana udah pakai etanol.
Nah ini akan, ada nggak di masa yang akan datang atau sudah mulai dirancang unit bisnis yang khusus mengurusi energi?
Abdul Ghani: Jadi khusus untuk energi, kami tidak memisahkan energi secara bauran tetapi kita sudah membentuk. Jadi gini PTPN yang tadinya berbasis wilayah geografi PTPN I di Aceh, PTPN XIV. Itu tahun 2021 pertengahan 2021 bulan Agustus kita bentuk yang khusus gula jadi gula itu di PTPN II, PTPN VII, PTPN IX, X, XI, XII dan PTPN XIV. Jadi menjadi satu ada 36 pabrik gula 1 manajemen dan itu yang memudahkan juga lah itulah yang menjadi backbone perluasan ke hilir.
Karena di luar negeri itu industri gula itu menjadi bisa macam-macam dari tebunya bisa nanti gula, etanol, untuk kertas, kemudian untuk energi, macam-macam yang dibuatlah, kita diarahkan ke sana. Itulah yang menjadi backbone kita untuk pengembangan gula dan energi berbasis tebu.
Untuk kelapa sawit kita kan ada 10 BUMN PTPN itu kita akan membentuk palmco-palmco, itu dikonsolidasikan ke PTPN III, V, VI dan XIII sebagai intinya. Kemudian bekerja sama dengan lahan-lahan sawit di PTPN lain menjadi satu kesatuan. Sekarang luas kelapa sawit kami itu secara total 600.000 hektar dalam 5 tahun akan bertambah menjadi 650.000 dalam dalam 10 tahun menjadi 700.000 hektar.
Jadi nanti PTPN itu satu mengelola tebu, sesuai tadi saya ceritain dari arahan pak menteri, satu mengelola kelapa sawit. Jadi itu satu entitas saja, fokus saja.
Nggak udah tanam kopi, teh, jagung, dan lain sebagainya?
Abdul Ghani: Yang lain sebagai itu nanti ada lagi sub holding yang ketiga. Dalam proyek strategis kita, kita juga bukan untuk diri sendiri saja kita juga akan merehabilitasi melakukan peremajaan sawit rakyat.
Kembali ke Mas Dimitri, ini kan mau lari kencang. Terus terang saja dalam diskusi ini saya kembali optimistik. Kita dikenal sebagai negara agraris tetapi dalam perjalanannya kita jadi agak minder. Kita ini seharusnya jadi negara industri supaya maju, ternyata upaya yang dilakukan PTPN menunjukkan sebagai negara agraria kita punya competitive advantages dibandingkan negara negara lain. Untuk bisa lari kencang, bisa apa yang diharapkan dari transformasi yang dilakukan PTPN prasyarat-pra-syaratnya apa saja yang harus kita waspadai?
Adrian Dimitri: Pertama kita harus jaga momentum ini kan sudah terbangun momentumnya dan semua orang sudah mulai fokus. Kedua adalah penyederhanaan segala bisnis proses yang Pak dirut sampaikan, kita mulai dari 14 PTPN sekarang jadi 3 dan itu adalah membuat kita semakin fokus ke sana, tidak hanya dari segi entitas tetapi juga dari sisi portfolio komoditinya.
Awalnya ada 5, kalau kita tahu awalnya kita punya 23, banyak banget, nggak mungkin kita berbisnis. Dan 5 itu juga sudah terlalu banyak. Jadi kita mulai fokus ke sana dan itu harus terus kita laksanakan. Yang paling penting segi perubahan, budaya kerja, dan ini kan sudah berubah ya. Jadi kesempatan itu sebenarnya, kenapa? Karena momentum kita merubah menjadi tiga sub holding ini, ini menjadi satu milestone yang besar untuk berubah saat, seperti itu.
Saya akan bertanya sampai seberapa besar peran pemimpin ini bicara leadership, sebelum saya ke pak dirut. Dari mas Dimitri dulu, ini kan sudah 3 tahun bersisian dengan PTPN, ini peran pemimpin itu dalam transformasi berlangsung ini penting sekali atau karena sistemnya sudah disiapkan jadi siapapun bisa jadi pemimpin?
Adrian Dimitri: Very crucial, walaupun ada sistem, kalau pemimpinnya ibaratnya beda atau tidak solid dan tidak berani dan paling susah itu konsisten. Jadi kalau kita tahu di manajemen PTPN itu sangat solid, dia di bawah pimpinan ya pak Dirut, tidak hanya di holdingnya tetapi juga sampai ke semua direktur anak perusahaannya, satu komando.
Jadi ketika kita mendesain, kebutuhan-kebutuhan sulit itu terjadi, 'Pak, sepertinya ke untuk budget ini harus kita potong', kami datangnya langsung ke pak Dirut. Kemudian langsung keluar arahan dari beliau, dikumpulkan semua, dan kita harus ini dan bisa jalan, tinggal eksekusi di bawah.
Jadi very crucial, walaupun ada sistem namanya juga transformasi itu melibatkan manusia, manusia punya hati, pikiran, sehebat apapun sistem tetapi bisa diakalin. Tetapi kalau loyalitas kepada pimpinan dan ini semangatnya sama, itu malah kan makin memperkuat.
Kuncinya apa? Karena pak Ghani bukan orang Sumatera Utara, tetapi rasanya rasa Sumatera Utara. Tetapi merupakan salah satu?
Abdul Ghani: Mungkin saya aja yang jawab ya. Saya tuh dapat kemewahan yang mungkin akan susah diulangi dan itu pun karena terlibat. Saya sudah di perusahaan ini paling tua di perusahaan ini, jadi orang Medan bilang kalau sama anak buah kan 'kau masih koloran saya udah kerja', itu kemewahan. Kedua saya di dalam sejarah 38 tahun atau 39 tahun, saya tidak pernah mengalami satu ekosistem di mana pemegang saham menyerahkan otorisasi seperti jaman sekarang.
Pak Erick itu luar biasa. "Pokoknya pak Ghani, kalau menurut bapak bagus, perlu pertahanin kalau kalau nggak, bapak copot. Bawahan itu urusan Pak Ghani".
Ketiga, jadi dukungan dari stakeholder dan internal. Jadi dari karyawan itu luar biasa. Memang saya orang Medan itu sukanya geretak-gretak, jadi itu mungkin yang dimanfaatkan. Tetapi ya kalau memang sudah nggak betul ya saya singkirin, karena akan ganggu dan itu nggak banyak.
Jadi sebenarnya tantangannya ada tetapi manageable?
Abdul Ghani: Semua manageable, tetapi gini ekosistem itu mendukung kita jadi alam semesta atau saya dikasih kemudahan oleh Tuhan. Terus terang kalaulah saya akan diberi kesempatan, belum tentu saya mendapatkan kemewahan seperti sekarang.
Jadi momentum itu nomor satu tanpa itu nggak bisa. Jadi banyak orang melakukan transformasi, saya kembali cerita bukan perorangan tapi ini kerja tim, tapi yang sering gagal itu selalu dominannya leader, kemudian nggak sustainable. Jadi kalau dia hilang, dia hilang gitu, saya melihat beberapa sejarah PTPN, itu orang yang kuat ketika melakukan perubahan, begitu keluar ,hilang itu yang saya takutkan maka saya minta.
Kita harus pesan di siapapun yang memimpin Pak Ganjar, Pak Prabowo atau Pak Anies pertahankan, kalau nggak hilang PTPN ?
Abdul Ghani: Kita sudah siapkan penggantinya, kita harus gantian dong
Bapak percaya kaderisasi?
Abdul Ghani: Saya lakukan itu, nanti saya ceritain.
Maka yang saya lakukan dengan tim. bukan hanya konsultan mungkin yang kalau konsultan 10 terbaik di dunia kami pakai supaya cepat itu, jadi kultur dan kapabilitas SDM. Jadi isu kami beberapa tahun itu, memperkuat kultur dengan sistem. Bayangkan saja, sekarang reward dan punishment itu beliau pakai digitalisasi terukur semua, sehingga mimpi kami tercapai semua.
Setiap karyawan tahu posisinya jadi misalnya pegawai mengurusi masalah pabrik, dari katakanlah 1.000 orang, saya rangkingnya nomor sekian. Supaya dia tahu dan itu nge-link ke nilai karir dia. Kita yang bangun sistem itu, yang was-was itu yang masalah momentum kita sudah siapkan itu. Saya sendiri, Pak Dim tahu persis saya juga mulai semacam Chairman, jadi direktur itu saya tidak pernah intervensi.
Jadi mikro manajemen itu ada masanya, untuk kemudian lepas remnya?
Abdul Ghani: Nggak bisa kalau kita mau tranformasi sustainable ambil semuanya, nggak bisa. Kita harus mundur-mundur kita maunya apa. Toh saya tinggal 1,5 tahun lagi kita menyiapkan generasi penerus. Saya nggak takut mereka mereka itu lebih baik dari kita.
Jadi seharusnya setelah transformasi ini berlangsung semua yang menjadi pemimpin selama dia memenuhi syarat bisa menjalankan?
Abdul Ghani: Terutama second layer, satu BOD itu kuat. Kalau dia kuat apapun orang baru kalau tidak cocok dia akan melakukan
Terakhir ya merubah kultur, ini kan PTPN bukan sesuatu yang sifatnya integral dari zaman dulu. Sebenarnya baru dibikin holding-nya baru-baru ini dan sempat gagal. Artinya sejak awal PTPN itu sudah punya kulturnya masing-masing dari ujung barat sampai ke timur itu punya kulturnya masing-masing. Bagaimana kita membentuk kultur baru switching yang tadinya menurut 'kami sudah bagus itu, menurut kita yang bagus itu' itu gimana?
Abdul Ghani: Sebenarnya kultur kebuh sudah bagus tetapi kita menyimpan dari kultur kebun. Saya ambil contoh ilustrasi, culture planter yang culture planter itu saya merasakan. Saya sendiri dulu, saya kan mulai di kebun kan dari mulai level bawah.
Kerja di kebun itu paling stres, karena setiap hari itu ditanya pimpinan besok 'kemarin dapat berapa produksimu sekarang berapa, omzet berapa?'. Kalau besoknya produksinya misalkan nggak tercapai, jadi di-bully, jadi sebenarnya stres. nah dalam perkembangan ini dilupakan.
Ambil contoh dulu ya dulu, kalau misalnya di akhir tahun tanggal 31 Desember itu kita nggak boleh cuti, kita tungguin. Kalau produksi kita kurang 1 ton itu bisa kerja sampai jam 08.00 malam. Itu kan kultur tanggung jawab ya. Jadi itu yang dikembalikan saja di kebun itu kultur dasarnya itu patriakal, jadi pimpinan itu mengendalikan. Jadi sebenarnya gampang, ketika pimpinannya konsisten, memberikan contoh, selesai kebun. Sekarang kebun sudah distorsi, secara umum itu saja.
Kemarin-kemarin itu banyak yang gagal karena banyak yang nitip ada yang tiba-tiba ini gitu ya kira-kira?
Abdul Ghani: Yang jelas, kayak kami ini sudah kayak ikan dalam akuarium, istilahnya kami berbuat baik belum tentu ditiru kami berbuat jelek ditiru.
Adrian Dimitri: Yang menarik dari PTPN ini mungkin berbeda dengan perusahaan lain. Karena PTPN ini pernah mengalami masa keemasan. Ini perusahaan yang paling bagus dulu di BUMN dulu yang topnya jadi kita budayanya itu mengembalikan yang dulu.
Itu kita bersyukur masih ada generasinya Pak Ghani di PTPN ada beberapa yang ibaratnya masih bisa bercerita dan menyampaikan harusnya seperti ini dan benar bahwasanya di mana pun plantation itu budayanya, bangunan harus pagi, ada apel pagi itu yang dikembalikan lagi, budaya seperti itu?
Abdul Ghani: Saya karena terbiasa dulu 05.30 sudah di kantor. Saya sekarang berangkat dari rumah jam 05.30 saya jam 06.00 lebih duluan saya OB. Ya karena tradisi saja.
Adrian Dimitri: Ini kan berhadapan dengan aset biologis, dia punya jam juga, kebun itu juga punya jam juga tanaman, bukan mesin.
Abdul Ghani: Dulu orang nyadap itu jam 05.00 karena itu masa paling baik.
Tapi gini saya ingin sampaikan barangkali semacam was-was di antara orang. Sebenarnya bukan karena peran satu dua orang. Saya yakin ke depan akan sustainable. Kenapa? Saya tadi udah sampaikan kalau komoditi kita sudah pada satu level sebentar lagi akan menjadi nomor satu dalam pengertian paling produktif, persatuan luas paling efisien dari struktur cost.
Kita sudah terbaik tapi kita masih ada kesempatan. Tiga sampai lima tahun lagi, itu kita akan terkuat industri komoditi. Lalu kita masuk ke industri hilir.
Tahun ini, kapasitas produksi kita untuk minyak goreng aja 200.000 Ton itu itu sudah 15% konsumsi nasional. Terus itu dan itu nggak ada barrier enternya, ada kita akan kuat ke depan akan membangun suatu perspektif korporasi kita menjadi beyond produk, tetapi ke arah ESG. Harapan kami akhir tahun ini IPO, kita bersama saya yakin ini sustainable karena bukan karena satu dua orang.
Barangkali terakhir, harapan dari pak Dirut ini sebagai Dirut, orang tua juga apa kita sebut Bapak Kebun Nasional karena berhasil melakukan transformasi di PTPN. Apa harapannya untuk PTPN ke depannya?
Abdul Ghani: Jadi kita kalau menurut undang-undang PTPN itu bukan sekedar entitas bisnis tetapi menjadi ke tangan panjang pemerintah. Maka visi kami sudah kami diterjemahkan, jadi visi kami PTPN itu bagaimana kita terbaik di lingkungan, menjadi perusahaan terbaik dengan tata kelola global. Tetapi bermanfaat secara kepada pemangku kepentingan, kepada negara harus memberikan benefit pada masyarakat, berikan manfaat kepada karyawan. Perusahaan yang sehat karyawan sejahtera.
(ada/eds)