Garuda Mencoba Untung Lagi: 'Diet Ketat', Tinggalkan Rute Rugi

Wawancara Eksklusif Dirut Garuda Indonesia

Garuda Mencoba Untung Lagi: 'Diet Ketat', Tinggalkan Rute Rugi

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 14 Jul 2023 07:00 WIB
Dirut Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dan Komut Garuda Indonesia Triawan Munaf jadi pembicara dalam talkshow di Kementrian BUMN. Mereka melakukan salam komando.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

PT Garuda Indonesia (Persero) menjadi salah satu perusahaan pelat merah yang banyak dirundung masalah dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi pasar penerbangan yang menurun saat pandemi COVID-19 ditambah terkuaknya masalah internal dan keuangan Garuda membuat perusahaan ini sempat terseok-seok.

Hal itu membuat keuangan Garuda anjlok, sialnya lagi utang pun menumpuk. Puncaknya, Garuda sampai harus berjibaku di pengadilannya saat digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh salah satu krediturnya.

Namun, perlahan kini Garuda bangkit. Setelah berhasil lolos dari jeratan pailit di proses PKPU, kini Garuda sedang bersiap menyambut era baru pemulihan industri penerbangan paska COVID-19.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan kini pihaknya cuma punya satu tujuan, yaitu membuat perusahaan yang dipimpinnya bisa menorehkan keuntungan.

"Sekarang saya prinsipnya kita mau untung. Saya akan fokus ke profitability. Saya akan fokus ke situ. Saya nggak mau lagi ada PKPU di Garuda," kata Irfan ketika berbincang bersama detikcom di kantornya, Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

ADVERTISEMENT

Irfan juga bercerita banyak hal, mulai dari tren baru pemulihan penerbangan, keluhan soal tarif, hingga masalah strategi tarik cuan di balik konser Coldplay dan gelaran Pemilu. Berikut kutipan lengkap wawancara khusus detikcom dengan Irfan Setiaputra.

Pemulihan industri penerbangan saat ini bagaimana setelah dihajar habis-habisan selama pandemi, apalagi Presiden juga sudah keluarkan Kepres pencabutan pandemi?

Jadi gini, kita kan terdampak itu karena imbauan mobilisasi yang pesat, ibarat orang Islam ini makruh, memang belum haram tapi makruh. Jadi, ketika orang nggak keluar rumah, nggak ke kantor, nggak ke mal, udah pasti jumlah yang terbang makin dikit. Makanya industri ini kan pada ujungnya terdampaknya gila-gilaan.

Di ekosistem aviasi, kan ada airlines, airport, ada ground handling, ada pembuat pesawat, ada lessor, catering gitu kan. Itu langsung terdampak semuanya. Karena dia punya industri itu atau ekosistem ini ditunjang oleh pergerakan pesawat. Kan waktu itu drastis tuh (berhentinya).

Paling parah itu di awal, kemudian membaik. Awal itu tahun 2020-an ya karena orang menghindar aja kan. Kemudian setelah itu muncul kebutuhan tak terelakkan bagi orang untuk berpergian kan. Yang cukup ketat itu dan buat kita agak shaky adalah ketika PPKM diterapkan, agak ketat itu.

Sebenarnya, kita sangat setuju agar penjalaran virus tidak berkembang dan airlines tidak jadi sumber utama penyebaran. Nah setelah semuanya pelan-pelan dihapuskan, dikurangi pengetatannya, kesehatan masyarakat meningkat karena vaksinasi kita udah mulai pede.

Nah tahun ini, seperti diramalkan juga. Di ekosistem ini ada banyak analis. Tapi, strangely, semua orang itu sepakat bahwa penerbangan domestik itu recovery tahun ini. Itu memang sudah terbukti. Jumlah penumpang yang terbang, basically sudah mendekati pandemi, sebelum pandemi. Kalau ditanya seperti apa pemulihannya, penerbangan domestik sudah hampir sama dengan 2019.

Persoalannya hanya alat produksi dalam hal ini pesawat itu belum bisa mengejar kecepatan recovery domestik. Kedua, pandemi ini mengajarkan banyak pihak untuk settle, beberes juga. Kami dari Garuda memutuskan kami tidak akan punya pesawat seperti dulu. Kita nggak akan terbang sebanyak dulu, dari satu destinasi ke destinasi lain. Seperti Surabaya atau Bali, pelan-pelan kita naikin lah.

Kenapa ya? Kita nggak mau lagi kejadian seperti dulu. Bahwa kita terbang, kemudian kita kosong, ujungnya rugi juga. Kita mau memastikan setiap kita terbang itu pasti menguntungkan.

Tetapi ada juga, peserta ekosistem lain lakukan adjusment, misalnya banyak airport yang jam 6 sore aja sudah tutup, sampai sekarang belum buka recovery teman-teman di bidang lain juga butuh waktu kan. Misalnya, teman-teman ground handling butuh waktu juga untuk pulihkan kru-nya yang sempat berkurang.

Jadi, ini speed recovery-nya dari tahun ini dan tahun lalu itu sudah meningkat, kemarin pas Pak Presiden umumkan juga, pada dasarnya 'lu mau ke mana, kapan, itu sudah bebas.'

Itu tadi kalau dari sisi jumlah, nah kalau dari sisi behavior kita tetap mesti hati-hati. Karena kalau industri kan ukurannya jumlah pesawat, jumlah penerbangan, dan orang yang terbang kan. Problemnya adalah orang yang terbang ini behavior-nya itu harus dipahami ulang, karena ada sedikit perubahan.

Contohnya adalah masih ada beberapa penumpang itu diklasifikasikan sebagai revenge traveler. Misalnya, dia ini senang ke Bali, sebulan sekali ke Bali, nah pandemi itu berhenti. Dua tahun mungkin orang nggak mau terbang. Nah sekarang ketika dibuka, dia bisa sebulan empat kali, atau dua kali. Jadi kepengin terus.

Pertanyaannya, apakah ini jadi new behavior, atau revenge ini cuma akan menjadi berbalik, cuma dalam beberapa waktu aja. Saya nggak mau katakan kalau ini cuma tren sementara aja dan akan balik ke behavior lama, tapi saya katakan bahwa kita mesti waspadai kemungkinan perilaku yang nggak align dengan apa yang kita lihat sekarang. Jadi kita lagi monitor terus ini grafiknya akan naik dikit dan kembali ke sebelum pandemi atau tidak.

Nah kalau penerbangan internasional memang perkiraan akan kembali itu sekitar 2024 ke atas, cuma agak unik juga. Beberapa lokasi itu, di beberapa tempat, sudah boleh dibilang recovery bahkan di atas 2019 angkanya. Contohnya penerbangan ke Arab Saudi, umrah, ini gila-gilaan. Yang mau pergi itu banyak banget, jauh lebih tinggi skala bulanannya dibandingkan 2019.

Cuma beberapa tempat emang belum normal, misal Jepang, Australia juga masih picking up membaik, nah itu kalau kejadian internasional pun lebih disumbangkan oleh kurangnya ketersediaan pesawat jadi agak lambat. Mudah-mudahan 2024 ada kembali recovery.

Load factor saat ini berapa banyak?

Ya membaik sudah di atas 80-an persen. Kita kan penerbangan terbatas, mungkin banyak yang maniaknya Garuda. Kemarin juga kan kita menang best cabin, nggak bisa dinafikkan lah kita ada banyak kelebihan makanya load factor membaik. Tapi juga karena penerbangan kita berkurang nggak sebanyak dulu.

Kementerian BUMN minta maskapai pelat merah fokus garap rute domestik, Garuda mau nggak?

Statement itu sebenarnya kurang lengkap, jadi pak Erick dan kami memang menyepakati untuk fokus ke domestik, karena marketnya besar, sebelum pandemi juga sudah bagus trennya, ngapain sih masuk ke market yang sok-sokan saingan. Tapi itu memang ada komanya, internasional silakan saja asal membawa keuntungan dan atau membawa produk ekspor, kargo.

Problemnya adalah Garuda itu dulu terbang ke mana-mana di rute internasional loba gaya kalau orang Sunda bilang, gaya-gayaan aja. Saya ini juga kan penumpang basic-nya puluhan tahun, seringkali terbang pakai Garuda di rute internasional yang isinya cuma beberapa gelintir orang, tapi terbang aja terus. Dengan rute yang aneh-aneh, maksudnya bukan rute favorit orang Indonesia juga, tapi tetap terbang. Saya nggak tahu kenapa dulu begitu, entah mandat pemegang saham, dalam hal ini pemerintah, harus terbang demi kenalkan Indonesia.

Cuma sekarang yang paling penting adalah ke depan kita mesti review dengan tepat bisnis penerbangan internasional itu. Kita prinsipnya harus disiplin, penerbangan internasional itu dilakukan selama itu menguntungkan. Kalau nggak untung ya ngapain juga kan terbang.

Rute andalan internasional, selain ke Arab Saudi untuk haji dan umrah ke mana lagi?

Australia, Singapura, Jepang beberapa bulan tertentu naik penuh sekali, di bulan lain agak sepi. Penerbangan internasional itu kita fokus menyambungkan Bali. Alasannya sederhana, kalau kita terbang ke Bali kan bawa turis asing, kalau di Jakarta kan isinya orang Indonesia. Jadi bukan masalah terbang dari mana, tapi sebaiknya isinya itu juga membawa turis. Kita ada tahu harga kita nggak murah, kita bertanggung jawab bawa turis yang mau spending banyak dan bisa bantu ekonomi. Bukan turis murahan, sampai Bali, beli kaus bir Bintang, beredar di Kuta, itu jelas bukan penumpang yang mau kita bawa.

Penerbangan domestik trennya seperti apa sekarang, ada banyak pembukaan rute baru lagi kah?

Jadi, saya justru sekarang lagi banyak bicara sama walikota sama gubernur, mengajukan permintaan maaf bahwa kita di beberapa lokasi nggak bisa terbang karena bukti selama ini rugi. Kenapa rugi? Karena jumlah penumpangnya dan kedua domestik itu terikat di rezim TBA-TBB, harga itu kita nggak bisa jual bebas.

Kalau di satu rute diterapkan satu harga yang maksimum terus kita terbangkan isi 90% dan juga masih minus kan cuma orang bodoh yang mau terbang lanjutan.

Makanya kita juga terus menerus pembicaraan ke Kemenhub, kita menganggap bahwa sebaiknya itu tarif lebih dibebaskan dalam menentukan harga. Selama ini sih memang ditolak. Cuma sampai sekarang setahu saya masih banyak juga maskapai jual di atas harga nggak diapa-apain, bingung juga saya. Kita nggak boleh jual di atas harga ini, tapi ada maskapai yang jualan di atas harga terbang terus. Dikasih peringatan, ya peringatan aja. Padahal secara UU katanya kalau lewat beberapa hari nggak boleh terbang. Kok masih bisa itu?

Kita sih masih diskusi terus daripada Anda salah mending dibuka aja, sehingga kita bisa jual di harga yang menurut kita menguntungkan. Karena pertanyaannya, saya ini terus mendapatkan tekanan untuk terbang murah segala macam, tapi saya balikin tugas saya kan memastikan perusahaan ini untung. Saya juga nggak mau gaya-gayaan terbang isi load factor 100%, dengan harga murah meriah, orang happy tapi kita jebol, kalau kita jebol kan lama-lama orang juga nggak happy naik kita. Atau ya kita korbankan banyak hal termasuk keamanan terbang, ya jelas kita nggak mau.

Jadi ya akhirnya memang pilihan ada di masyarakat sendiri. Cuma kita as much as possible selalu jual di harga yang sesuai dengan peraturan berlaku.

Soal tarif batas itu, apa ada diskusi untuk dinaikkan apabila opsi dihapuskan tidak akan diberikan?

Kita ya coba juga itu karena akhirnya nggak dikasih. Ya, sedang ada diskusi. Kita masih nunggu juga sih. Tapi pada dasarnya begini, menurut saya sebagai pelaku industri, regulator itu semestinya mengatur dua urusan utama, terkait dengan safety yang nggak boleh dilanggar sama pelaku dan pemain industri ini, yang kedua mengenai hak konsumen.

Urusan komersial semestinya nggak perlu diatur, ketika publik marah naik pesawat ke Surabaya misalnya kok jadi mahal sekali sekarang, ya naik kereta aja kalau bisa. Kita ada datanya, di bawah 5% orang Indonesia yang gunakan pesawat. Ya artinya, kayak saya zaman dulu aja, kita kalau mudik ya nggak naik pesawat, ya bawa mobil, karena mahal pesawat, nyampe aja kok mudik. Nggak ada masalah juga kan.

Terbang kan memang mahal, perawatannya segala macam, keamanannya. Ini kan bukan mobil, kalau mobil mogok ya kita bisa minggir sebentar. Ini kan nggak bisa. Terbang itu memang mahal, terbang nggak buat semua orang, kita juga heran kalau ada yang jual kelewat murah.

Buat kita, clear aja kalau ada yang minta Garuda nambah penerbangan, Garuda sudah terpuruk gila-gilaan. Siapapun boleh omongin penyebab keterpurukan. Tapi, menurut saya ada satu fundamen dasar keterpurukan, yaitu perusahaan ini nggak untung. Ya kan? Mau karena apa ya bisa menuding siapapun apapun silakan saja. Dan itu nggak ada artinya tudingan itu kalau kita tetap jalankan perusahaan tetap negatif, kita mau jadikan perusahaan ini positif.

Saya sering dapat kemarahan banyak orang, caci maki, wali kota, menteri, dan segala macam. 'Pak, nggak untung.' Kalau mau menyuruh saya membuat BUMN nggak untung kan bisa digugat lho, sehingga kalau ini perusahaan nggak untung saya bisa kasih lihat, ini ada surat. Ada dalam bentuk permintaan halus, ngobrol santai, sampai ada yang maki-maki segala macam. Makian jadi rayuan.

Jadi Garuda tetap mau fokus internasional daripada domestik, apakah saat ini makin selektif urusan rute?

Nggak-nggak, ya kita tetap domestik juga, penumpang kita lebih banyak domestik. Kalau lebih selektif nggak juga, ya kita memang adjusment rute dan jadwal dan destinasi kita lihat lah ini nggak bisa misalnya diminta 5 kali sehari, ya kita sekali sehari aja di sana. Kalau butuh tambahan, tambahin lagi, sampai di titik jenuh, ya sudah di situ saja berhenti.

Penerbangan kan harus align sama kegiatan masyarakat. Ini business travelers saja ada opsi zoom sekarang. Kemudian, perusahaan juga melakukan adjustment sana sini soal berpergian. Belum e-commerce, dari Indonesia mau beli badang apapun di manapun bisa saja kan nggak perlu terbang ke sana. Jadi memang banyak adjustment yang kita waspadai dan ikuti.

Jadi kalau saya sih nggak mau ekspansif gila-gilaan, beberapa airlines sih ekspansinya gila-gilaan. Ya silakan monggo aja. Pengalaman buruk Garuda juga kan karena ekspansif, tapi tidak diukur. Ya balik lagi nggak mau saya salahkan yang dulu.

Jadi makin slow but sure aja pengembangan usahanya?

Nggak juga sih yang penting saya prinsipnya untung. Saya akan fokus ke profitability. Saya akan fokus ke situ. Saya nggak mau lagi ada PKPU di Garuda.

Lihat juga Video 'Garuda Indonesia Ajukan Prosedur Pailit ke Pengadilan AS':

[Gambas:Video 20detik]



Proses PKPU Garuda ini kan jadi poin penting dalam rangka restrukturisasi, boleh diceritakan dari awal kenapa bisa sampai PKPU dan saat itu rencana PKPU ini juga mendapat banyak pertentangan dari berbagai pihak, utamanya DPR?

Bukan, jangan dibilang pertentangan lah itu dinamika. Dari awal pandemi terjadi, dari awal jumlah penerbangan menurun kita sudah highlight ke stakeholders, ini lho situasinya.

Tak bisa dinafikkan, akhirnya pandemi ini jadi kotak pandora-nya Garuda. Ketahuan lah semuanya akhirnya kan. Sewa pesawat kemahalan, jumlah pegawai kebanyakan, tata kelola yang dalam tanda kutip kurang pas, kebuka semua lah, termasuk cost structure yang nggak balance. Kebuka semua kan.

Kami dari sisi Garuda melakukan apa yang ada di dalam demand of control kan, ya jumlah pegawai kebanyakan kita tawarkan pensiun dini, rute-rute yang ini kita hentikan, dan negosiasi kepada para lessor juga kita lakukan dari awal. Tapi tidak bisa dinafikkan juga ketiadaan cash dan ketidakjelasan pandemi seperti apa akhirnya membuat utang menggulung sedemikian rupa sehingga membuat menjadi jumlahnya US$ 10 miliaran, Rp 140 triliunan.

Akhirnya masuk lah kita ke proses yang perdebatannya gila-gilaan, kedua ada (kreditur) yang masukin kita ke PKPU, mungkin sudah enek nggak dibayar-bayar (utangnya) dan minta kejelasan.

Waktu itu saya sempat tanya ke mereka, 'lu mau bangkrutin gue apa?' Dia jawab, 'tidak pak kita cuma mau minta kejelasan.' Dia bilang kalau sudah diputuskan di pengadilan kita tak bisa lagi diskusi kan, kalau misalnya saya harus bayar satu tahun, kan saya harus bayar. Akhirnya masuk PKPU.

Akhirnya, saya sendiri yang termasuk saat tahu ada orang masukin kita ke PKPU ini mestinya kita gunakan sebagai cara selamatkan diri. Karena negosiasi di luar pengadilan itu berat banget, dan banyak sekali yang mesti kita ajak negosiasi kan itu. Pada waktu itu pun, para lessor-nya satu demi satu tarikin pesawat. Ini kalau kita nggak masuk PKPU, bisa jadi suatu hari saya masuk ke kantor, pesawat kita udah nggak ada lagi. Kalau itu sih bukan cuma technical bankruptcy, tapi babak belur, benar-benar bangkrut.

Akhirnya setelah lewat dinamika dan perdebatan gila-gilaan. Karena di satu sisi yang nggak setuju sama Garuda PKPU juga masuk akal, kalau saya nggak menangkan PKPU saya bangkrut lho itu. Makanya banyak pimpinan kelembagaan khawatir siapa yang mau tanggung jawab nih kalau Garuda beneran bangkrut karena PKPU?

Semua kan menuding saya akhirnya. Dalam hati saya 'ini kan bukan salah gua, ngapain juga.' Kadang saya secara personal, maju mundur juga nih kan, kebayang lah. Saya bukan orang yang pernah menyelesaikan masalah utang perusahaan dengan PKPU. Akhirnya begitu lah ceritanya jalan PKPU.

Negosiasi kita pakai konsultan untuk kasih proposal, selain itu kita juga yakinkan kreditur agar setujui proposal ini. 'Karena kalau Anda mau setujui ini, Garuda bakal begini nih, this is what we are going to do ke depannya.' Keyword yang saya pakai sekarang adalah profitability, dan saya hadapi sendiri semuanya. Meskipun kita banyak konsultan, lawyers segala macam, ketemu negosiasi ya saya dan tim sendiri kita hadapi. Ya Alhamdulillah, di mata mereka ini Garuda manajemennya nggak lari.

Berani berhadapan kita, walaupun caci makian sudah hampir tiap hari. Ya habis mau gimana, siapa yang nggak caci maki? Utang dipotong 80%, udah dipotong nggak dibayar (cash) juga lagi kan, dibayar bonds atau jadi saham.

Nah ketika kita berhasil PKPU, kan menghasilkan kesepakatan homologasi, sebuah kesepakatan, nilai utangnya bagaimana ininya bagaimana, nah itu terefleksi kan lah di buku kita jadi keuntungan. Salah satu faktor di accounting itu adalah CODI, cancellation of debt, jadi kalau utang 10 perak masuk di buku, nego jadi 3 perak, 7 peraknya profit. Jadi ini utang yang dipotong, penurunan itu lah jadi profit.

Makanya kita untung gila-gilaan. Tapi nggak ada duit, nggak ada cash. Berkurangnya itu jadi 50%, jadi ke US$ 5 miliaran. Itu implikasi dari situ.

Nah dalam negosiasi kita ke para kreditur itu kita berjanji, salah satunya adalah kita akan menjadi perusahaan yang menguntungkan. Janji itu mesti dieksekusi.

Masih ada perusahaan yang menolak hasil PKPU bahkan sampai saling gugat dengan Garuda, perkembangan terakhir soal gugatan mereka bagaimana?

Kita ajukan balik di pengadilan di sini. Dia sih udah gugat di mana-mana dia ngajuin. Kalah terus dia. Kenapa kalah? Jadi Greylag itu ikut PKPU lho, dia bukan nggak ikut PKPU. Dia ikut menandatangani nilai utang, secara formal dia masuk DPT, Daftar Piutang Tetap. Nah ketika diketok palu oleh Pengadilan, ini utang kita jumlahnya segini di DPT, artinya semua pihak setuju.

Nah kalau dia ini golongan nggak setuju dengan proposal kita, dia itu pada saat voting masuk ke golongan yang tidak setuju 3%-an itu. Problem di saya, kami lihatnya gini, Anda ini kan perusahaan asing yang lakukan bisnis di Indonesia. Perusahaan asing yang bergerak di negara lain itu kan mesti ikut hukumnya, jangan neko-neko tiap negara kan punya hukum, dan kita sebagai perusahaan negara lain mau bisnis di negara tersebut harus patuhi hukumnya. Kalau nggak suka sama hukumnya ya nggak usah berbisnis sekalian.

Salah satu tanda Anda turuti hukum di Indonesia adalah menerima instrumen hukum di Indonesia, termasuk yang PKPU ini. Kuasa hukumnya juga sudah jelas dan memahami kalau PKPU ujungnya voting, kalau Anda tidak setuju dan kalah di voting, ya Anda ikut yang setuju. Kawan Greylag ini, itu kalah, ngotot, maunya dia aja. Banding di sini, ajuin di mana-mana, ya terus kita ajukan dia di pengadilan sini dengan delik perbuatan melawan hukum. Ini bercanda, apa yang mereka lakukan, yang dilakukan ini niatnya udah jahat.

Kedua, ketika udah diketok ya saya nggak bisa dong penuhi kemauan dia. Kan sudah keputusan hukum tetap ini. Mana bisa? Pengadilan bilang utang dipotong 80%, buat mereka maunya 5% aja, masuk bui saya.

Dia ini perusahaan Amerika, di belakangnya ada fund manager, ada private equity. Ini mahal memang buat kita, tapi kita lakukan itu menunjukkan bahwa kita punya bangsa jangan main-main, jangan mentang-mentang datang dari tempat begitu besar, yang di abad lalu penguasa, dipikir bisa atur-atur dunia gitu? Kita hadapin mau bagaimana pun kita hadapi. Saya bilang sama teman-teman di sini semua, at any cost! Kita menunjukkan jangan main-main sama kita, sama negara kita.

Ini masalahnya Anda tidak mau hargai hukum di negara kita, kalau tidak mau ya nggak usah ikut harusnya dari awal. Begitu kalah dia tidak mau, mana bisa.

Waktu diajak omong mau PKPU, timnya itu oke-oke saja, tapi kok beberapa hari menjelang voting yang ketemu sama kita orangnya bilang 'saya dapat perintah untuk tidak berhubungan lagi dengan Anda.'

Dia kan lessor, nasib pesawatnya bagaimana?

Pesawatnya masih di sini. Kan kalau dia menerima hasil PKPU itu ada persyaratan di mana kita harus balikin pesawat. Ya dia nggak mau nerima.

Sejauh ini kan bila bicara armada, sebagai alat produksi ini belum bisa mengimbangi permintaan. Dari Garuda seperti apa, apakah ada rencana penambahan pesawat?

Memang benar kasusnya begitu, karena begini selama pandemi kan banyak yang di-grounded, begitu mau kita hidupkan kan perlu maintenance. Semua maintenance facility di dunia sibuknya minta ampun sekarang ini. Termasuk GMF juga sama, dan kebetulan ada beberapa bagian pekerjaan dia belum dapat sertifikasi. Misalnya perawatan engine pesawat besar.

Nah ini rebutan slot untuk perbaikan pesawat itu, bisa dibilang nggak kekejar lah. Mudah-mudahan masalah ini paling lambat akhir tahun ini selesai lah.

Armada saat ini posisinya bagaimana, berapa jumlahnya?

Yang aktif sekitar 53-an, kadang-kadang 55. Kita sih ada rencana nambah pesawat lagi dari luar, pesawat bukan baru ya, tambah 5. Targetnya in operations Garuda itu mendekati 70 di akhir tahun ini. Kadang saya suka deg-degan juga nggak tercapai, cuma kan ini di luar kontrol kita juga.

Di Singapura Januari 2024 ada konser Coldplay, jadi momen ketiban untung kah buat Garuda?

Kita kan melihatnya begini sebuah event itu menciptakan demand berpergian. Kita lagi monitor. Kita sudah mulai ajukan rencana tambahan penerbangan, baru tes lah. Januari sih masih jauh, belum lihat kita ada peningkatan signifikan dari booking tiket. Kita stand by aja dulu, monitor ketat. Singapura kan 6 hari kalau nggak salah Coldplay itu.

Kita perlakukan ini sama halnya seperti MotoGP Mandalika waktu itu, kalau banyak permintaan ya kita tambahkan penerbangan. Waktu MotoGP itu sehari normalnya 2 penerbangan aja, waktu MotoGP itu bisa sampai 23 penerbangan. Sehari itu, dari 2.

Rencana penambahan slot time di Singapura sudah diajukan?

Belum. Cuma kebetulan Singapura itu kebetulan cukup akrab lah sama kita. Jadi proses penambahan penerbangan mereka bisa dengan cepat menyetujui.

Tapi ini kan penerbangan orang mau nonton Coldplay sama MotoGP ini kan kayak penerbangan haji juga, berangkat penuh, baliknya bisa aja kosong. Nah ini yang kita lagi sikapi lah.

Lebaran sih kita pernah coba untuk akali penerbangan semacam ini, lebaran tuh berangkat penuh balik kosong. Kemarin lebaran kita kenalkan promo lebaran ke Jakarta. Di mana penerbangan balik yang kosong itu, kita kenakan diskon gila-gilaan. Hampir di semua seat dapat. Works sekali lumayan itu.

Jadi kalau misalnya ke Singapura Coldplay ini penuh dan kita ada pesawat, pas baliknya mungkin kita kasih diskon. Barangkali ada orang yang nggak pengin nonton Coldplay dan pengin ke luar dari Singapura kan bisa aja gitu kan. Ya kita creatively lah harus lihat potensinya.

Di tahun 2024 ini juga kan ada pesta demokrasi, ada urusan kampanye partai politik dan figur yang diusungnya. Imbasnya besar atau tidak ke Garuda, proyeksinya bagaimana?

Sampai hari ini sih belum ada permintaan khusus ya. Cuma kalau mempelajari kejadian tahun-tahun sebelumnya, akan ada kemungkinan permintaan khusus mendekati atau setelah nanti diumumkan nama Capres-cawapres. Ini kan align sama kegiatan kampanye.

Cuma pengalaman dulu yang saya lihat ya, sebenarnya nggak heboh-heboh amat ya, tapi memang di beberapa rute ada yang kita tambahin penerbangan satu dua kali. Untuk ini kita coba bebas nilai lah, maksudnya siapa yang minta dan ada kebutuhan kelihatan fine-fine aja. Misalnya ada Capres kampanye misalnya, misalnya Ganjar kampanye ke Kendari bawa banyak orang dan segala macam.

Nah yang kita nggak tahu juga adalah model kampanye saat ini apakah masih sama seperti yang dulu, jalan ke mana-mana, kumpulin massa di mana-mana. Kalau pengalaman dulu yang ramai justru private jet, bookingan-nya ramai. Kan isian lebih dikit, dari segi harga kalau dibandingkan Garuda juga lebih murah kan. Cuma akhirnya tergantung sama timing dan jumlah. Cuma biasanya yang bergerak nggak banyak.

Artinya dampak nggak signifikan dari kampanye dan pemilu?

Saya gini, saya cuma minta sama teman-teman di Garuda untuk siap-siap. Untuk menyikapi itu. Kebetulan saya dan teman-teman direksi juga punya akses ke beberapa partai, mungkin nanti kita menjelang itu (waktu kampanye) mulai sounding-sounding sedikit lah. Yang jelas, kita nggak akan berikan rate khusus untuk orang-orang kampanye, bisa repot nanti dituduh macam-macam. Lagipula zaman kampanye kan banyak duit orang-orang kan.

Dunia menuju ke tren energi bersih, Garuda ada rencana untuk melakukan itu juga?

Kita secara asosiasi internasional, IATA itu sepakat kalau di 2050 itu kita bergerak ke situ semuanya. Cuma yang perlu digarisbawahi kita lakukan itu bukan karena ada kesepakatan atau tekanan politis ya. Kita sendiri menyadari kalau it's time for us to do this gitu.

Kalau kami melihat ada dua kelompok besar, satu penggunaan SAF, sustainable aviation fuel, avtur yang lebih ramah lingkungan. Satunya hal-hal terkait sustainability dalam cara yang lain. Misalnya, kita nih kerja sama dengan satu NGO untuk kerja sama penanaman mangrove. Jadi kita modelnya menawarkan ke pemilik Miles kita, kalau Anda berpartisipasi bisa tukarkan Miles Anda dengan sekian Miles dengan satu pohon mangrove. Kita lakukan itu.

Kemudian internally soal penggunaan energi listrik lebih hemat saya lagi push juga untuk inisiatif penggunaan energi ke teman-teman Garuda. Dan sisanya kita ikutin aja negara lain, perusahaan lakuin apa sih untuk urusan sustainable.

Nah akhirnya SAF, ini kan kayak chicken and egg aja, cuma Alhamdulillah hubungan kita sama Pertamina sangat baik lah, jadi saya punya komunikasi rutin sama manajemen Pertamina. Untuk SAF ini, kita sudah ajukan sebuah inisiatif, untuk deklarasikan kalau Garuda dan Pertamina ini serius untuk omongin soal SAF sudah kita kirim surat ke Istana Presiden untuk peroleh izin pada 17 Agustus nanti, fly over di atas istana sebagai deklarasi kalau kita mulai pakai SAF. Nanti uji cobanya di pesawat komersil, cuma test flight nggak ada penumpangnya, hanya pilot aja.

Kita sekarang dalam tahap uji coba untuk pastikan di 17 Agustus siap uji coba bila diizinkan. Kita lagi bikin penerbangan fly over di atas istana dengan pesawat berbahan bakar bio fuel, diproduksi Pertamina, nanti diuji coba sama lembaga terkait, diuji coba sama GMF dan manufacture juga untuk melihat apakah masuk definisi dan komposisinya. Terus juga apakah tidak akan menimbulkan masalah apapun. Habis itu kita test flight sebelum 17 Agustus. Dengan cara ini kami menyatakan kalau kami serius.

Kita juga akan terus menerus koordinasi komunikasi soal harga, apakah nggak akan lebih mahal daripada avtur biasa yang ada. Sambil kita juga menunggu Pertamina bisa produksi biofuel. Commercially memang harganya ini masih mahal, mahal banget gitu kalau dibandingkan avtur.

Target Garuda ada atau tidak misalnya mau pakai berapa persen SAF di tahun berapa begitu?

Saya nggak mau begitu lah, kan kita ini juga tergantung orang lain. Orang lain juga punya isu banyak. Kita nggak mau maksa lah harus begini, harus begini. Yang penting dengan begini, komitmen begini, teman-teman airlines juga mau ikutan. Jadi Pertamina juga kan merasa terpecut kalau ini (memproduksi SAF) itu worth untuk dikejar terus. Perlu digelitik makanya kita coba simbolis terbang di atas istana. Cuma kalau komitmen internasional di dunia aviasi 2050 sudah mulai pakai SAF.


Hide Ads