Dari Bankir, Kini Pimpin Diplomasi Ekonomi Global RI

Wawancara Khusus Wamenlu, Pahala Mansury

Dari Bankir, Kini Pimpin Diplomasi Ekonomi Global RI

Anisa Indraini - detikFinance
Rabu, 02 Agu 2023 14:12 WIB
Wakil Menteri Luar Negeri, Pahala Mansury
Foto: 20detik/Iswahyudy
Jakarta -

Menghabiskan sebagian besar karirnya di dunia perbankan, Pahala Mansury kini semakin akrab dengan tugas-tugas di pemerintahan. Setelah ditunjuk menjadi wakil menteri BUMN selama lebih dari dua tahun, kini mantan direktur utama Garuda Indonesia tersebut ditunjuk menjadi 'pembantu' Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi.

Kepada detikcom, Pahala Mansury mengaku mendapat misi khusus dalam mengemban jabatan Wakil Menteri Luar Negeri. Berbekal pengalamannya di korporasi sebagai bankir hingga mengurus sejumlah BUMN, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memintanya memimpin diplomasi ekonomi global Indonesia.

Di tengah gencarnya kampanye hilirisasi industri, Pahala diminta menggandeng banyak negara ikut bekerja sama membangun Indonesia. Pahala juga bercerita bagaimana usaha-usaha yang bisa dilakukan Kementerian Luar Negeri menjembatani misi ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut kutipan lengkap wawancara khusus dengan Wakil Menteri Luar Negeri, Pahala Mansury.

Kalau hari ini tepat 2 minggu Pak Pahala menjabat di Kemenlu ya?

Iya kurang lebih sekitar 2 minggu lalu saya dilantik menjadi wakil menteri luar negeri.

ADVERTISEMENT

Gimana rasanya?

Rasanya ya, tentunya merupakan suatu kesempatan buat saya juga untuk kembali belajar, sangat excited sekali karena hari pertama saya datang ke Kementerian Luar Negeri saya langsung disambut oleh Bu Menlu dan kita langsung menyelenggarakan rapim pada saat itu. Saya bersama-sama dengan para eselon I, para Dirjen dan para staf ahli, juga staf khusus dari Bu Menlu menyampaikan beberapa hal mengenai hal-hal yang memang menjadi pending item dan Bu Menlu langsung menyampaikan beberapa hal yang menjadi fokus utama saya pada saat ini khususnya dalam hal diplomasi ekonomi.

Jadi tentunya buat saya yang besar di korporasi selama 20 tahun di BUMN dan Kementerian BUMN tentunya ini merupakan satu tantangan buat saya bagaimana Indonesia di saat-saat khususnya setelah kita menjadi tuan rumah G20 di 2022, memang Indonesia dianggap memiliki satu kepemimpinan di geopolitik global ini yang meningkat dan ini tentunya merupakan tantangan baru buat saya bagaimana Indonesia bisa menjadi pemimpin di diplomasi ekonomi global.

Diplomasi ekonomi global, kata yang baru tuh kalau kita dengar tugas untuk pejabat pemerintah. Kalau di Kementerian Luar Negeri kan biasanya urusan diplomasi, hubungan dengan luar negeri, kali ini Pak Pahala ditugaskan satu misi khusus tentang ekonomi. Kemarin Pak Jokowi sampaikan dalam pidatonya waktu pelantikan ada permintaan secara eksplisit untuk Pak Pahala ngurusin industri EV, apa jembatan yang ingin dibangun Pak Pahala tentang industri EV dan jabatan yang saat ini diemban?

Ya ini kan juga merupakan satu kebetulan dan keberuntungan juga buat saya karena pada waktu saya menjabat sebagai wakil menteri BUMN sebelumnya, memang salah satu fokus saya adalah bagaimana kita bisa melakukan hilirisasi dari industri pertambangan sebagai salah satu dari 6 klaster ekonomi yang pada waktu itu saya pimpin bersama-sama dengan BUMN di sektor perdagangan yaitu Mind ID, Antam, dan EBC. Seperti diketahui kita juga sudah membentuk sebuah perusahaan EBC dan pada saat ini juga sedang melakukan upaya-upaya untuk bisa melakukan investasi bersama global partnership.

Ini memang merupakan satu hal yang nggak bisa kita tinggalkan lagi pada saat ini dan memang betul-betul kerja sama global ini merupakan satu hal yang harus kita kembangkan ke depan. Jadi kalau buat saya, dengan adanya arahan dari Pak Presiden Jokowi tersebut bahwa kita harus melakukan hilirisasi dan juga bagaimana Indonesia bisa menjawab tantangan dalam ketahanan energi, ketahanan pangan dan ketahanan kesehatan, dan juga melakukan upaya-upaya untuk bisa menjawab tantangan dari sisi global supply chain yang pada saat ini juga akan semakin rumit ya ke depannya, terutama dengan adanya kebutuhan dari berbagai negara untuk bisa memperoleh critical minerals

Memang Indonesia pada saat ini memiliki sebuah keuntungan di mana Indonesia saat ini menguasai 26% dari total cadangan nikel dunia yang merupakan salah satu critical mineral atau salah satu bahan tambang yang memang paling utama untuk bisa melakukan produksi dari baterai dan sebagaimana kita ketahui tentunya untuk EV ke depannya boleh dikatakan antara 50-60% biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah EV betul-betul bagaimana itu berasal dari baterai.

Ini yang kita upayakan bagaimana Kementerian Luar Negeri bersama Kementerian lainnya khususnya Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, bagaimana kita bisa membangun sebuah kerja sama global untuk bisa meningkatkan peran dari Indonesia dalam hal bagaimana Indonesia bisa menjadi bagian dari global supply chain EV dunia dan ini yang memang menjadi tantangan kita ke depan.

Bicara soal investasi EV dan industrinya, beberapa pemberitaan terakhir ada beberapa negara yang dilirik Indonesia untuk bisa kerja sama, tadi Pak Pahala juga sebut soal kerja sama global yang tak terhindarkan kita harus pupuk terus, untuk Kementerian Luar Negeri ada negara mana yang sedang dilirik untuk bisa potensi mengembangkan EV di Indonesia?

Tentunya kita membuka diri seluas-luasnya untuk melihat bagaimana semua negara yang memang ingin bekerja sama dengan Indonesia ini bisa memiliki hal tersebut. Pada saat ini misalnya kita ketahui bersama sudah ada negara dari Tiongkok yang memang sudah memiliki berbagai kerja sama di Indonesia, kita juga melihat bahwa salah satu negara lain yang juga sudah memiliki kerja sama pada saat ini di Indonesia itu dari Amerika misalnya, kita ketahui Ford sudah memiliki satu kerja sama dengan Vale di Indonesia, dan juga kita mendengar pada saat ini sedang berlangsung diskusi antara LG Energy Solution yang berasal dari Korea Selatan dan juga minggu lalu sebetulnya dari Menteri Sains & Industri Australia datang khusus untuk bicara dengan Pak Menko Marves dan saya berkesempatan untuk bisa bertemu langsung dengan beliau dan beliau juga menyampaikan keinginannya.

Jadi kalau kita lihat keinginan dari negara-negara lain untuk bisa bekerja sama dengan Indonesia ini sangat tinggi dan ini memang merupakan satu momentum yang kita harapkan bisa kita optimalkan, bagaimana Indonesia melalui diplomasi ekonomi ini, melalui global partnership ini bisa mengundang investasi dari negara-negara lain untuk bisa melakukan hilirisasi khususnya dalam hal melakukan hilirisasi materi baterai sampai baterai dan bahkan mungkin juga mencapai produksi dari EV di Indonesia sendiri baik itu dari negara-negara yang memang sudah kita explore saat ini dan juga ada negara-negara lain yang tentunya masih dalam proses. Seperti misalnya ada waktu berkesempatan datang ke Hannover.

Pak Presiden Jokowi juga menyaksikan satu penandatanganan dengan perusahaan yang berasal dari Jerman untuk bisa mengeksplor, melakukan investasi produksi baterai di Indonesia juga. Jadi ini merupakan kesempatan bagi kita untuk bisa membuka seluas-luasnya kesempatan bagi negara-negara lain dan kita dengan politik bebas aktif yang selama ini kita tempuh, memang salah satu yang pengin kita tekankan bahwa kita terbuka seluas-luasnya bagi negara lain sepanjang kerja sama tersebut memberikan manfaat bagi kedua negara.

Jadi kita nggak ada batasan kerja sama dengan satu negara tertentu dan semua negara yang ingin bekerja sama kita buka pintu seluas-luasnya?

Iya tentunya dengan tadi pertimbangan bahwa ini merupakan satu kerja sama yang win-win sifatnya atau sama-sama menguntungkan bagi kedua negara.

Nggak ada satu negara tertentu yang jadi titipan Pak Jokowi untuk 'ini harus goal'?

Nggak ya, memang kalau kita lihat saat ini misalnya negara dari US misalnya yang merupakan salah satu negara dengan sektor manufaktur di bidang otomotif, saat ini kan memang Amerika merupakan salah satu negara yang besar, tapi kita lihat Ford sudah melakukan rencana kerja sama untuk bisa masuk ke Indonesia. Jadi kalau kita lihat memang apakah itu berasal dari China, Korea, Amerika Serikat, Jerman atau EU misalnya dan bahkan dari Australia juga kita mengeksplor semua kesempatan untuk bisa melakukan kerja sama tersebut.

Bicara soal EV, beberapa pemberitaan kalau soal negara itu ada Australia dan China yang paling sering dilakukan pendekatan untuk bisa kerja sama membangun industri baterai kendaraan listrik. Sejauh ini progresnya gimana?

Sepanjang yang saya ketahui ya untuk progres dari rencana kerja sama dengan salah satu produsen baterai yang besar dari China itu memang berlangsung terus ya, bahkan mungkin pada saat ini sudah ditandatangani 2 rencana kerja sama joint venture antara salah satu BUMN dengan mereka, kemudian juga antara Vale dengan beberapa produsen dari baterai baik itu yang berasal dari US maupun negara-negara lain seperti China juga sudah diselenggarakan, sudah bisa diselesaikan.

Jadi kalau kita lihat memang progresnya cukup baik, tapi kita juga berharap bahwa masih ada beberapa yang kita berharap sudah bisa diselesaikan di tahun ini, seperti misalnya dengan salah satu produsen baterai dari Korea Selatan, kita tentunya berharap bahwa rencana kerja sama tersebut, kerangka kerja bersamanya itu bisa diselesaikan pada tahun ini.

Tetapi juga kita ketahui ada satu bentuk perjanjian kerja sama ekonomi yaitu IPEV, yaitu satu bentuk kerja sama, forum kerja sama ekonomi di Indo Pacific ini yang kita harapkan bisa segera juga direalisir. Kalau nggak di tahun ini mungkin di 2024 nanti, moga-moga ini juga akan bisa membantu mendorong adanya perjanjian kerja sama sehingga Indonesia diharapkan nantinya bisa memperoleh manfaat dari satu bentuk peraturan di Amerika Serikat yang dikenal sebagai inflation reduction act yang ini juga tentunya memiliki pengaruh terhadap bagaimana produk-produk materi baterai, bahan-bahan mineral yang paling utama dalam hal memproduksi baterai untuk bisa mendapatkan insentif dari Amerika Serikat nantinya.

Itu adalah sebuah perjanjian kerja sama yang memang kita harapkan akan bisa mendorong Indonesia untuk menjadi salah satu negara nantinya yang bisa mendapatkan manfaat atau insentif dari Amerika Serikat.

Satu lagi soal energi ini juga sempat panas soal impor listrik bersih dari Indonesia yang dilakukan Singapura. Pak Luhut beberapa kesempatan menyampaikan bahwa kita pengin mereka juga ikut membangun atau investasi di Indonesia, apakah ada satu pesan atau misi untuk bisa menuntaskan deadlock itu? Karena kayaknya Singapura inginnya win-win solution tapi Indonesia juga pengin manfaat yang sama

Saya rasa kan pemikirannya dari kita semua adalah jangan sampai Indonesia ini hanya menjadi tempat untuk bisa memproduksi listriknya, kemudian industrialisasinya terjadi di negara-negara lain. Kita ingin sebuah bentuk kerja sama yang sekali lagi tentunya menguntungkan bagi kedua belah negara. Apalagi yang paling utama tentunya adalah mengenai kepentingan perkembangan dari industri di Indonesia. Jadi ini yang menjadi panduan kita dalam hal membangun sebuah kebijakan ke depannya dan saya rasa ini yang sudah kita lihat bahwa ke depannya kita berharap Indonesia selain mengimpor atau mengekspor tenaga listrik ke negara-negara lain, kita juga akan bisa menjadi sentra dari produksi bahan-bahan yang dibutuhkan bagi produksi materi untuk bisa membangun pembangkit listrik bertenaga renewable.

Jadi seperti misalnya solar PV yang dibutuhkan untuk bisa memproduksi atau melakukan pengembangan energi bertenaga surya, kemudian inverter dan kebutuhan-kebutuhan lainnya kita berharap itu bisa diproduksi di Indonesia. Kelihatannya pada saat ini dengan sudah ditandatangani sebuah kerja sama, kita akan mengeksplor untuk bisa mengembangkan pembangkit listrik bertenaga renewable di Indonesia dan kemudian bisa menjualnya kepada Singapura misalnya, tetapi juga dengan rencana untuk bisa mengembangkan industri manufaktur di Indonesia ini juga kelihatannya akan jadi satu solusi bahwa kita akan membangun sebuah energi terbarukan bagi negara lain tetapi juga dengan melakukan kegiatan manufaktur di Indonesia.

Tapi ini sekarang prosesnya lebih ke business to business kah atau gimana?

Lebih ke business to business. Jadi kalau kita lihat sebetulnya untuk kerja sama ini nantinya akan dibicarakan bersama tentunya antara PLN dengan otoritas dari listrik di Singapura, kemudian juga antara beberapa IPP (Independent Power Producer) yang nanti akan menyediakan listrik kepada PLN, kemudian juga dengan beberapa industri manufaktur yang nanti akan membangun industri manufaktur tersebut di kawasan di Indonesia.

Selain EV, juga pertanian yang ingin dibantu untuk bisa melakukan kerja sama dengan negara-negara lain utamanya saat ini dengan kondisi masih adanya perang antara Rusia dan Ukraina. Seperti apa yang akan dilakukan?

Jadi salah satu yang memang diupayakan dan kami dari Kementerian Luar Negeri tentunya juga bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian untuk bisa melakukan upaya-upaya diversifikasi dari sumber-sumber pangan yang berasal dari negara-negara lain apakah itu untuk gandum misalnya, kemudian juga protein daging misalnya yang berasal dari sapi, kemudian juga potes sebagai salah satu bahan produksi untuk pupuk yang memang menjadi salah satu kebutuhan untuk bisa meningkatkan adanya ketahanan pangan di Indonesia. Ini merupakan tiga bahan makanan dan mineral yang sangat penting bagi ketahanan pangan di Indonesia dan kita melihat potensi untuk bisa bekerja sama dengan negara-negara lain seperti Kanada, Brazil, Argentina, jadi negara-negara Amerika latin dan terus mengupayakan mengeksplorasi dari Australia misalnya untuk bisa bicara mengenai ketiga hal tersebut. Juga selain daripada negara-negara yang memang ada di Asia Tenggara seperti misalnya Laos dan Cambodia.

Saat ini apalagi dengan adanya batasan ekspor yang dilakukan di India, kita juga tentunya mengeksplorasi kemungkinan untuk bisa memperoleh beberapa bahan pangan dari negara-negara yang ada di Asia Tenggara yang selama ini kita sudah memiliki kerja sama cukup baik seperti misalnya Thailand, Vietnam, kita juga minggu lalu mengeksplor untuk bisa berbicara dengan negara lain seperti misalnya Cambodia untuk bisa meningkatkan kerja sama dagang dalam hal bidang pangan tersebut.

Ini agak sulit. Di satu sisi kita ingin perdagangan global ditingkatkan, sementara di satu sisi banyak negara saat ini di tengah situasi yang pelik melakukan proteksionisme termasuk India melakukan pembatasan ekspor. Gimana cara Kementerian Luar Negeri bisa berdiplomasi dan merasionalisasi kondisi yang ada saat ini?

Saya pikir semua negara tentunya berkepentingan untuk bisa mengeksplorasi sebuah kerjasama yang memang saling menguntungkan dengan kedua belah negara. Seperti misalnya pada waktu kita bicara dengan negara-negara seperti Kanada, Brazil, mereka juga sangat terbuka sebetulnya untuk bisa mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Tetapi tentunya kan masing-masing negara tersebut juga melihat bahwa yang paling utama sebenarnya adalah ketahanan pangan domestik yang dimiliki. Tetapi sebagian besar dari negara-negara tersebut pada saat ini kalau kita lihat mereka memiliki jumlah produksi pangan atau bahan-bahan yang dibutuhkan seperti potes tadi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan mereka di dalam negeri. Kebetulan saja negara seperti India memang memiliki jumlah total populasi yang sangat besar bisa mencapai kurang lebih sekitar 1,5 miliar penduduknya.

Jadi itu mungkin satu hal yang agak unik memang, tapi negara-negara lain seperti misalnya Australia, Kanada, Brazil adalah negara-negara yang jumlah kawasan atau area pertanian mereka atau kemampuan kapasitas produksi mereka memang cukup jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduknya. Saya sih masih optimis bahwa upaya untuk bisa melakukan diversifikasi hubungan tadi juga bisa kita lakukan, kembangkan terus.

Kemarin ada pertemuan bilateral Pak Pahala sama Menteri Industri Australia, apa pembahasan yang dilakukan saat itu dan itu juga terkait EV kah?

Jadi gini kita ketahui sendiri bahwa Indonesia tadi sudah saya sampaikan kurang lebih menguasai 26% dari cadangan nikel, sementara itu Australia juga menguasai cadangan lithium yang sangat besar juga sebetulnya kalau nggak salah di atas 20-an persen dibandingkan dengan cadangan global dunia. Jadi kedua negara Indonesia dan Australia ini dua-duanya memiliki peran yang sangat penting dalam hal memproduksi baterai NMC lithium ion ke depannya dan kita masih melihat bahwa baterai jenis NMC ini memang memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis baterai lainnya, LVT misalnya.

Jadi ini yang memang kita bicarakan bagaimana supaya kedua kekuatan ini bisa berkolaborasi. Memang pada saat ini kan belum ada satu bentuk kerjasama baik itu JVA atau kerja sama dalam bentuk supply agreement yang memang sudah konkret dimiliki oleh kedua negara. Ini yang memang kami dari Kementerian Luar Negeri bersama Menkomarves, Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian ingin melakukan sebuah eksplorasi bersama Australia untuk melihat bagaimana kemungkinan kolaborasi atau pembentukan JVA ini kesempatannya ada di mana nih antara Indonesia dengan Australia.

Berarti call to action-nya bentuk JVA itu?

Salah satu yang akan kita bicarakan kemungkinan besar akan seperti itu. Kalaupun tidak memungkinkan, mungkin dalam bentuk sebuah supply agreement antara produsen bahan materi. Karena kan misalnya kalau kita lihat di mata rantai produksi bahan baku baterai ini, untuk memproduksi katode misalnya salah satu materi baterai ini kan membutuhkan cobalt dan lithium yang cukup tinggi, jadi ini yang memang kita harapkan bisa ada sebuah diskusi mengenai bagaimana supply agreement atau joint venture untuk bisa melakukan investasi bersama sehingga nantinya bisa ada satu kerja sama yang cukup strategis antara perusahaan-perusahaan di Indonesia dan perusahaan Australia.

Bicara soal karir Pak Pahala yang banyak dihabiskan di BUMN sebagai bankir, kemudian jadi direksi di berbagai macam BUMN juga, terakhir di Kementerian BUMN sebagai Wakil Menteri BUMN dan saat ini diamanatkan jadi Wakil Menteri Luar Negeri. Ada perbedaan yang harus dieksplor lagi nggak untuk bisa melakukan harmonisasi kerja dari satu kementerian ke kementerian lainnya khususnya saat ini di Kementerian Luar Negeri?

Sangat sih ya karena contohnya kalau kita bicara di Kementerian BUMN itu kan sifatnya sangat korporasi sekali ya dan mungkin di beberapa hal terlibat langsung dalam hal misalnya salah satu inisiatif project pengembangan misalnya untuk produksi baterai secara terintegrasi dari hulu ke hilir, tapi kalau cara kerja di Kementerian Luar Negeri kan tentunya lebih strategic dan lebih lihat kebijakan secara keseluruhan, lebih mendorong dan memfasilitasi. Jadi ini juga yang tentunya merupakan salah satu perbedaan dalam cara kerja nantinya.

Di bank kan biasanya kerjanya cepat, taktis. Sementara kalau hubungan diplomasi luar negeri tuh nggak boleh harus cepat-cepat harus slow but sure, itu juga jadi tantangan?

Saya sih kalau dari sisi kecepatan dan juga dari sisi bagaimana merespons, saya cukup surprise melihat bahwa di Kementerian Luar Negeri bukan artinya tidak cepat dalam hal merespons, mem-follow up satu kesempatan. Kalau saya lihat memang bentuk dari produk atau hasil kerjanya kan memang sangat berbeda sekali. Dalam bentuk diplomasi yang kita tentunya memfasilitasi, membuka pintu, mendorong adanya kerja sama, mendorong adanya kedua belah pihak untuk bisa ketemu, ini yang kita upayakan dilakukan di Kementerian Luar Negeri. Kalau di BUMN kan mereka harus melakukan bentuk transaksinya ini seperti apa, kemudian membuat perjanjian ini seperti apa.

Atau ada gaya di Kementerian BUMN yang akan diadaptasi Kementerian Luar Negeri?

Saya rasa nanti kita bisa lihat mungkin dari sisi karena saya memang terlibat langsung pada waktu sebelumnya dalam bentuk inisiatif-inisiatif joint venture atau global partnership yang ada, mungkin bentuk itu yang nanti akan kita coba untuk lihat bagaimana baik itu di Kementerian Luar Negeri di pusat, di Jakarta, ataupun yang ada di masing-masing perwakilan untuk bisa mengupayakan terlibat keterlibatannya seperti apa dalam hal mendorong deliverables yang lebih konkret.

Saya rasa ini juga salah satu bentuk yang sempat disampaikan juga oleh Pak Presiden bagaimana saya secara langsung bisa mendorong terjadinya deliverables, adanya kerja sama yang konkret antara entitas ataupun perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia dengan entitas yang ada di negara lainnya. Jadi ini mungkin salah satu bentuk yang akan saya coba lihat bagaimana ini bisa diimplementasikan di Kementerian Luar Negeri.

Tugas yang berat tuh untuk bisa memastikan suatu bentuk kerja sama yang konkret bisa dihasilkan Pak Pahala dan tugas berat itu harus diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun bisa kita bilang karena Pemilu sendiri akan diadakan Februari tahun depan which is 6 bulan dari sisa masa jabatan yang akan diemban, kemudian di Oktober akan ada pergantian kabinet lagi. Ada target KPI atau target spesifik yang ingin dicapai dari Pak Pahala di Kementerian Luar Negeri?

Ya memang dalam waktu jangka pendek ini kan Indonesia saat ini sedang menjadi chairman dari ASEAN, jadi ini merupakan salah satu bentuk momentum positif saya lihat, bahwa waktu kita menyelenggarakan KTT ASEAN nanti antara 5-7 September Bagaimana dalam salah satu forum yang merupakan salah satu side event yang penting yaitu ASEAN Indo Pacific forum nanti kita bisa membangun dan memfinalisasi rangkaian dari deliverables yang merupakan salah satu bentuk konkret kerjasama antara negara-negara ASEAN dan juga dengan negara-negara di Indo Pacific lainnya khususnya dalam hal green infrastructure, kemudian dalam bentuk digitalisasi, sustainability financing dan kerja sama di bidang tourism dan industri kreatif, karena kalau kita lihat di bidang tourism dan industri kreatif ini merupakan salah satu sektor khususnya pasca pandemi yang secara konkret memang sudah kita lihat mampu untuk bisa berkontribusi secara cukup signifikan di negara-negara khususnya yang ada di ASEAN dan juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hal penciptaan lapangan kerja.

Jadi di 4 sektor ini kita harapkan nanti pada 5-7 September akan ada rangkaian deliverables yang nanti akan kita monitor dalam bentuk 1 tahun ke depan untuk bisa betul-betul direalisasikan kerja samanya itu sudah lebih konkret lagi. Misalnya kalau yang ditandatangani nanti itu dalam bentuk half of agreement, tentunya kita harapkan dalam satu tahun ke depan itu sudah ada bentuk joint venture agreement bahkan kita harapkan sudah ada lebih jauh dari itu mungkin sebagian daripada kegiatan investasi yang diharapkan sudah bisa terealisir.

Kemudian yang agak lebih jangka menengah panjang adalah penyelesaian sebuah rencana grand design economic policy yang memang sebelum saya bergabung, ini sudah menjadi salah satu fokus dari Kementerian Luar Negeri untuk bagaimana bisa menjadi sebuah panduan bagi Kementerian Luar Negeri dan kementerian/lembaga lainnya seperti Kementerian Bappenas, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan kantor-kantor Menko untuk bisa melihat Bagaimana bentuk diplomasi ekonomi Indonesia ke depan sesuai dengan fokus-fokus yang memang akan kita jalankan.

Seperti misalnya upaya-upaya untuk bisa meningkatkan ketahanan energi, ketahanan pangan, ketahanan kesehatan dan juga hal-hal yang tadi kita bicarakan seperti critical mineral dan global supply chain, atau bagaimana kita bisa mendorong agar adanya hilirisasi. Jadi ini satu hal yang memang sebuah fokus kita supaya nanti di masa berikutnya sampai kita berharap 2045 nanti ini bisa menjadi panduan buat kita bersama bagaimana bentuk kerja sama kita ke depannya dalam bentuk diplomasi ekonomi akan mengikuti pola dan bentuk-bentuk kerja sama tersebut.

Jadi guideline diplomasi ekonomi itu akan dituntaskan sama Pak Pahala penginnya nanti?

Iya di Kementerian Luar Negeri lah, jangan saya saja hahaha.


Hide Ads