Oke, kita catat untuk kita cek lagi nanti di 2027 ya?
Ada pendukungan kebijakan, dipermudahkan dalam aturan-aturan itu saya rasa bisa.
Kalau dalam bentuk kebijakan atau aturan ada butuh produk seperti apa lagi?
Contoh tadi misalnya ya, irigasi. Irigasi itu kalau seribu hektare bupati. Bupati mana mau mengurus irigasi, karena itu pilihan, kan? Akhirnya sawah kita cuma satu kali panen. Seribu sampai tiga ribu misalnya gubernur. Gubernur juga mana mengurusi irigasi. Nah, ini harus kita tata. Siapa yang tanggung jawab? Di mana tempatnya? Di mana anggarannya? Kapan selesai? Di mana tempat yang irigasinya belum bagus?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau Bulog masih fungsinya seperti sekarang, komersil, bagaimana dia mau beli jagung? Petani kita tanam jagung, panen, harganya tidak laku. Terus, masa dia mau tanam jagung lagi? Ya, kita bagaimana swasembada kalau seperti itu? Sudah tanam, tidak ada yang beli. Habis itu dia tidak mau tanam lagi. Akhirnya kita impor lagi, kan? Nah, saya sudah bikin rapat kita akan transformasikan Bulog. Jadi fungsinya stabilisasi lagi. Nanti kita akan bahas.
Selama ini bergeser fungsinya berarti?
Ya, setelah IMF itu dia bisnis, bayar bunga, rugi, tidak mau dong. Kalau rugi, nanti dia diganti. Orang perusahaan-perusahaan usaha bisnis, komersil. Nah, ini kita akan tata kembali, Bulog nanti fungsinya sebagai stabilisasi. Dia harus bisa beli jagung petani walaupun jualnya rugi, itu namanya subsidi.
Misalnya beli jagung-jagungnya Rp5.000, jualnya Rp 4.000. Kalau komersil, masuk penjara. Tapi kalau fungsinya stabilisasi, beli Rp 5.000, petani senang, jual Rp 4.000, subsidi Rp 1.000. Yang disubsidi petaninya. Jadi kita mesti perbaiki.
Kita boleh mengakui yang baik, kan. Dulu saya akui, sangat serius, bendungannya, irigasinya, Bulognya, AUD-nya. Sekarang 25 tahun kita ini tidak memperbaiki secara mendasar irigasi kita, sarana dan prasarana pertanian, penelitian. Kita udah 10 - 15 tahun bibit padi itu tidak ada yang baru. Tidak pernah meneliti lagi, karena pertanian itu belum meneliti bibiti. Sekarang penelitian adanya di BRIN.
Saya baca BRIN, apa yang diteliti? Moderasi Islam, bagaimana coba? Moderasi beragama bicaranya. Padahal kita perlunya bibit varietas padi unggul, bibit varietas tebu unggul. Jadi ini mesti didudukkan. Kan nggak bisa dong Menko sendirian. Ini harus kita benahi. Jadi kemampuan manajerial untuk mengoordinasikan ini dan membenahi aturan itulah.
Soal komunitas pangan untuk ekspor. Ada yang jadi target untuk bisa digenjot sebagai salah satu sumber neraca dagang kita juga?
Ini nanti kalau sudah bergerak semua, aturan kita perbaiki. Nilai tukar pertanian sekarang 110, sudah lumayan bagus. Tapi nilai tukar perkebunan itu 150, untung besar kalau buka perkebunan. Maka kita akan mengembangkan dulu yang orang Barat datang ke sini itu, tanaman cengkeh, tanaman coklat, tanaman kopi, tanaman lada.
Kelapa kemarin US$ 2 miliar. Kelapa itu Allah yang tumbuhkan, Allah yang turunkan, jatuh sendiri, hidup sendiri. Itu bisa US$ 2 miliar. Nah, bagaimana kalau kelapa, kita seperti Thailand misalnya, atau seperti negara lain. Empat tahun pendek, sudah buahnya banyak. Ini kan kita belum pernah. Kelapa kita itu tinggi-tinggi, buah sendiri, jatuh sendiri, tumbuh sendiri. Ini kalau kita ikut pengembangan bibit itu bagus.
Sekarang ada di Medan itu pandan wangi. Empat tahun panen, buahnya bagus, airnya wangi. Itu mahal sekali harganya. Nah kalau rakyat kita itu kita latih, berikan bibit yang bagus, cara tanam yang bagus, nanti pasca panen juga dilatih dengan baik. Di Lampung itu kopinya bagus, di Sulawesi itu coklatnya bagus, di Sulawesi Utara itu kita punya cengkeh nomor satu di dunia. Kalau ini kita kembangkan semua, kenapa nggak bisa ekspor?
Artinya pendekatannya komoditas perkebunan yang akan digenjot untuk ekspor?
Perkebunan juga. Perkebunan itu perkebunan rakyat. Nah, itu dinilainya 150. Jadi kalau satu hektar saja, sudah bisa menyekolahkan anak ke Jawa tuh, sudah bisa beli motor, sudah makmur.
Dulu kita bisa melakukan itu?
Dulu iya. Dulu kan semua tanaman keras kebanyakan. Saya biasa kecil petik kopi. Saya mengerti petik kopi. Tapi dulu kopinya empat meter. Sekarang kopinya ada kopi ateng. Kopi ateng pendek, buahnya banyak, bagus-bagus. Nah itu teknologi.
Jadi ke depan nggak ada lagi nih pangan langka yang ditemukan di pasar? Harga tinggi?
Tidak ada pangan langka. Cuma sebagian besar impor. Anda tahu nggak impornya berapa? 30 juta ton. Ada terigu, ada gula, ada buah-buahan, ada sayur-sayuran. Totalnya beratnya 30 juta ton. Sama dengan produksi kita padi 30 juta. Nah ini kita coba. Tentu tadi itu ya. Semangatnya, kuncinya itu adalah kolaborasi, kerjasama gitu ya. Kerjasamanya wajib, yang nggak mau ya nanti kita minta ganti sama Pak Presiden. Gitu kira-kira.
Jadi janji pemerintah tidak akan ada pangan langka lagi?
Swasembada pangan 2027, insyaallah.
Swasembada pangan ini outputnya berarti pangannya murah tapi baik harganya untuk petani?
Bukan murah, ekonomis. Murah itu nanti petaninya bangkrut. Saya itu dimarahin orang terus. Ini harganya terlalu murah, habis jadi maki-maki.
Karena gini, kalau barang itu cabai terlalu murah, itu nggak bisa ditolong. Petaninya langsung bangkrut tanahnya diambil bank, disita, itu kalau harga pangan murah. Misalnya cabai itu biasanya Rp 50.000, ini cuma Rp 20.000, panen petaninya, langsung itu dia kan utang bank atau tengkulak. Nggak bisa bayar tanahnya diambil orang. Nggak ada obat. Langsung miskin.
Tapi kalau harga ketinggian, harus ada instrumennya. Begitu inflasi naik, kita ada subsidi. Pemerintah daerah bisa subsidi ongkosnya, pupuknya, sehingga harga bisa turun.
Tapi kalau terlalu murah, waduh itu jadi deflasi itu berat sekali sebetulnya. Makanya kalau berat deflasi berturut-turut beberapa bulan, itu ekonomi bisa anjlok. Jadi jangan salah pengertian. Artinya harga murah itu belum tentu juga bisa menolong yang lain. Harga ekonomi.
Adil untuk petani, adil untuk masyarakat juga?
Kalau yang beli aja yang murah, petaninya gimana? Nggak ada yang menanam jagung.
Ada yang mau disampaikan lagi?
Saya kenapa dari dulu cita-cita saya memang masuk politik mau di bidang pangan, saya itu di kampung di desa saya, itu bapak saya bilang, kalau habis pulang sholat subuh, habis pulang sholat magrib, jalan kaki agak jauh. 'Itu nak liat.' Saya waktu itu usia 6 tahun. 6 tahun, 7 tahun. 'Nak ini lihat coba saudara kamu.'.
Kalau petani itu coba habis subuh ke kebun, ke ladang. Nggak pakai baju. Dulu nggak pakai baju, udah bawa cangkul. Bawa golok sininya, gelap, pergi gelap, badan gelap. Nggak matahari kan pulang gelap. Udah mau gelap baru pulang, rezekinya gelap.
Maka kata bapak saya, 'Kamu merantau ke Jawa sekolah. Nanti kalau kamu udah maju, udah bisa maju, bantu nih saudara kamu.'. Jadi sampai sekarang saya hafal itu. Ini masih teringat omongan bapak saya, almarhum ya. Jadi saya punya utang janji sama petani dan sama orang tua saya.
Maka saya bahagia bisa dipercaya Bapak Presiden di bidang ini dan saya tentu tidak akan tawar-tawar dengan segala risikonya saya akan hadapi. Berjuang membela petani Indonesia.
Dengan dukung Bapak Presiden yang luar biasa di mana-mana beliau memberikan penyataan, swasembada pangan di nasional maupun dunia internasional, bahkan di APEC dan G20. Saya yakin kita akan swasembada pangan 2027.
(ada/eds)