"Kita sedang tunggu nih, jangan lah yang populis. Lalu kejujuran lebih penting dari segalanya," kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan kepada detikFinance, Kamis (10/7/2014).
Stefanus mengungkapkan selama ini banyak peraturan yang dibuat pemerintah lebih menghitung aspek populis. Ia ingin presiden baru nanti, memilih para pembantu-pembantunya yang berani tak populis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan Permendag No 70/2013 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, baru akan diberlakukan efektif 2,5 tahun kemudian sejak dikeluarkan 12 Desember 2013, contoh kebijakan populis. Kebijakan ini diteken oleh menteri perdagangan yang lama, sebelum beberapa hari mundur.
Aturan itu mengatur soal penjualan produk dalam negeri (lokal) wajib 80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan di toko modern.
"Ini salah satu contoh populis, ada kesan pro dengan produk dalam negeri, padahal mematikan dunia usaha," katanya.
Menurut Stefanus di lapangan tak semua toko modern bisa memenuhi batas minimal menjual produk lokal hingga 80%.
"Kalau sampai 80%, gadget dan komputer itu susah. Makanya saya kira kita sedang usahakan kita ajukan untuk diubah aturannya," katanya.
Selain itu, ada juga Permendag No 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, juga dianggap Stefanus sebagai kebijakan populis.
(hen/hds)