Ari Kuncoro, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia juga memiliki pandangan yang sama, yaitu anomali. Tidak lesu ataupun kuat, Profesor Ari menyebut ekonomi stagnan.
Meski demikian, ada sebuah fenomena yang ditangkap dan cukup berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Adalah harga diri middle class alias kelas menengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi mulai kelihatan makan di luar, misalnya cafe atau restoran. Lalu kalau liburan ke luar negeri atau luar kota, menginap di hotel. Itulah tanda mulai banyaknya kelas menengah," ungkapnya kepada detikFinance, Rabu (9/8/2017).
Masyarakat cenderung cepat berganti barang seperti mobil, motor, ponsel, laptop serta pakaian. Seluruh sektor usaha akhirnya merasakan manfaatnya, karena uang terus mengalir dan berputar, sehingga mampu mendorong ekonomi tumbuh sampai di atas 6%.
"HP baru, pergi liburan, foto dan posting ke media sosial. Begitulah kebanyakan prilaku kelas menengah baru," imbuhnya.
Perilaku ini turut menular ke kelompok yang sedikit di bawah kelas menengah alias pas-pasan. Meskipun dengan pendapatan yang tidak terlalu tinggi, memaksakan hidup bergaya kelas menengah ke atas.
"Pengen ikutan middle class tapi uang pas-pasan," ujarnya.
Beranjak ke 2013, situasi berubah. China mengalami perlambatan ekonomi, Amerika Serikat (AS) mengubah arah kebijakan moneter dan lebih buruknya, harga komoditas anjlok. Sebagai penganut ekonomi terbuka, Indonesia wajar terkena imbasnya.
Pemerintah langsung melakukan berbagai antisipasi agar ekonomi tidak terpuruk begitu jauh, seperti Brasil, Turki dan Rusia. Pola konsumsi masyarakat yang tidak berubah meski ekonomi global bermasalah kemudian menyelematkan Indonesia.
Pada 2011, ekonomi tumbuh 6,17%. Selanjutunya turun ke 6,02% pada 2012, 5,56% pada 2013 dan 5,01% pada 2014 dan 4,88% pada 2015. Periode 2015 dianggap sebagai titik terendah, karena berhasil kembali naik ke 5,02% pada 2016. Diproyeksi tahun ini mencapai 5,2%.
"Middle class tadi terlanjur enak meski pendapatan enggak naik-naik," kata Ari.
Kelompok ini menyiasati dengan perubahan pola belanja. Makanan dan minuman tetap, namun hal selanjutnya yang dituju adalah liburan. Komponen belanja yang dikurangi adalah kendaraan bermotor dan barang elektronik.
"Beli HP tadinya 3 bulan sekali menjadi 2 tahun sekali, begitu juga mobil mungkin ditunda sampai lima tahun lagi. Kulkas, TV juga sama tidak diganti dulu," jelasnya.
Makanya langsung terasa di sektor ritel, seperti yang terlihat jelas pada reportase detikFinance di Pasar Elektronik Glodok, WTC Mangga Dua dan Roxy Square. Konsumen sepi, sehingga pedagang lebih memilih menutup toko untuk menghindari beban biaya.
Analisa beralih ke perdagangan online belum bisa dipastikan karena data yang tersaji belum komprehensif. Kalaupun beralih, Ari meyakini porsinya sangat kecil terhadap ritel secara keseluruhan.
"Jadi agar tetap eksis, bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Ada komponen belanja yang dikorbankan, agar harga diri sebagai middle class tetap ada. Ini yang menyebabkan ritel anjlok," tegasnya.
Namun itu ternyata tidak bisa bertahan lama. Apalagi ketika banyak pabrik mulai mengurangi jam produksi, sehingga memukul pendapatan masyarakat. Daya beli terpengaruh oleh hal tersebut.
"Pendapatan nominal naik, tapi secara rill stagnan. Nah ini stagnan bukan karena inflasi," terang Ari.
Ari berharap pemerintah segera mengambil tindakan atas persoalan ini, baik di perkotaan maupun pedesaan. Misalnya soal pemotongan anggaran, menurut Ari sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian.
Selanjutnya adalah terkait anggaran untuk perjalanan dinas, rapat maupun seminar oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut Ari, di luar persoalan efektivitas, namun dana dari hal tersebut cukup besar efeknya ke perekonomian.
"Mereka rapat di luar jangan dianggap negatif dulu. Itu padahal bisa mendorong perekonomian," tukasnya.
![]() |