Tak berhenti pada tarif dan masalah tempat istirahat yang membuat sopir truk enggan masuk tol. Selain itu, lewat tol juga juga tidak ada bedanya dengan Pantura karena ada oknum yang melakukan pungutan liat (pungli).
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita menerangkan, keputusan untuk menggunakan tol atau tidak ialah keputusan subjektif sopir.
"Kalau mengejar waktu ada muatan balik dari Jateng atau Jatim ke Jakarta maka akan ambil jalan tol biar cepat. Tapi kalau tidak ada, ya ambil non-tol aja, uang tolnya bisa masuk ke kantong sopir," kata dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satunya di Pantura banyak tempat persinggahan truk untuk istirahat. Sedangkan di tol, tempat persinggahan lebih untuk mobil penumpang. Jadi tidak bisa diarahkan untuk memakai tol kalau tidak ada keuntungan yang signifikan untuk sopir truk," jelasnya.
Kemudian, dia menyebut, tidak ada bedanya antara Pantura dan jalan tol. Sebab, ujar dia, di jalan tol ada oknum Patroli Jalan Raya (PJR) yang melakukan pungli.
"Kan ada oknum PJR juga di jalan tol, apalagi kalau truknya jalannya lambat, kan pasti overload. Jadi objek buat pungli," kata dia.
"Makanya buat sopir punglinya sama aja dan perlu bayar biaya tol yang mahal. Kalau nggak dikejar waktu ya mereka lewat non-tol atau Pantura. Apalagi, Jakarta-Surabaya standarnya 3 hari, cukup waktu walaupun tidak lewat tol," jelas dia.