Utang Jatuh Tempo Pemerintah Tahun Ini Rp 400 Triliun

Utang Jatuh Tempo Pemerintah Tahun Ini Rp 400 Triliun

Hendra Kusuma - detikFinance
Jumat, 13 Apr 2018 08:22 WIB
Utang Jatuh Tempo Pemerintah Tahun Ini Rp 400 Triliun
Foto: Tim Infografis, Fuad Hasim
Jakarta - Masyarakat Indonesia banyak yang khawatir mengenai posisi utang pemerintah karena nominalnya tidak lagi kecil. Per Februari 2018 angkanya mencapai Rp 4.034,8 triliun dan jumlahnya akan terus bertambah seiring Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) masih mengalami defisit.

Defisit APBN terjadi dikarenakan pendapatan pemerintah tidak cukup memenuhi kebutuhan belanja. Sehingga, ditambal dengan utang.

Besarnya kebutuhan belanja perintah salah satunya adalah untuk mengejar ketertinggalan sektor infrastruktur. Mulai dari jalan, jembatan, bendungan, dan lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah juga terus mengimbau kepada masyarakat bahwa utang yang tembus Rp 4.034,8 triliun ini masih dalam level yang aman dan dikelola dengan baik. Bahkan jauh dari kata bangkrut.

Sebab, jika dilihat rasionya hanya mencapai 29,2% dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan batas maksimal yang ditetapkan oleh UU sebesar 60%.

Apakah kekhawatiran masyarakat tentang jumlah utang pemerintah ini bakal berujung pada memburuknya perekonomian nasional. Simak selengkapnya di sini:

Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto mengatakan Indonesia masih jauh dari kata bangkrut meskipun nominal utangnya tembus Rp 4.034,8 triliun.

"Menurut saya sih nggak, pemerintah memberikan kepastian kepada kita semua bahwa utang kita masih dalam posisi dan level aman, dikelola dengan baik," kata Suminto di DPP Taruna Merah Putih, Jakarta.

Suminto menyebutkan utang pemerintah yang mencapai Rp 4.034,8 triliun itu masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan dalam undang-undang Keuangan Negara. Saat ini, rasio utang Indonesia berada di level 29,2% terhadap produk domestik bruto (PDB) sedangkan batasnya ditetapkan sebesar 60% dari PDB.

Dikatakan masih jauh dari jurang kebangkrutan juga karena pemerintah mampu mengelola utang sesuai dengan koridor yang ada dalam UU Keuangan Negara, yaitu utang digunakan untuk hal-hal yang produktif bukan yang konsumtif.

Hal ini menjadi pembeda dengan negara-negara yang bangkrut karena utang seperti Yunani karena pemerintahannya tidak mampu mengelola secara baik mengenai utang. Adapun, alokasi utang tersebut digunakan untuk sektor sosial yang tidak produktif.

"Sejak 2003 sampai sekarang APBN kita tidak pernah defisit di atas 3%. Artinya kita disiplin. Celakanya negara-negara yang punya aturan ini (UU keuangan negara) justru banyak di antara mereka tidak disiplin sehingga terjadinya krisis Yunani karena mereka utang gila-gilaan," jelas dia.

"Terlepas siapa pun pemerintahan kita, semuanya disiplin, bahwa defisit APBN kita dijaga, ini yang luar biasa dan kita syukuri. Karena impact-nya negara-negara Eropa sendiri mereka tidak disiplin dengan fiskal rule, sehingga kolaps, misalnya Yunani dan Spanyol," tambah dia.


Dengan jumlah nominal Rp 4.034,8 triliun maka rasio utang pemerintah tercatat sebesar 29,2% terhadap PDB. Angka ini terbilang rendah dan jadi tanda dikelola dengan baik jika dibandingkan dengan rasio utang negara-negara maju dan berkembang lainnya.

Rasio utang pemerintah negara-negara maju seperti Jepang tercatat 239% terhadap PDB, Amerika Serikat 107%, dan Inggris 89%.

Sedangkan negara berkembang yang setara dengan Indonesia, yakni Brasil sebesar 78% terhadap PDB, India sebesar 70%, Vietnam sebesar 26%, Meksiko sebesar 58%, Malaysia sebesar 60%, Argentina sebesar 51%, Thailand sebesar 42%, Filipina sebesar 34%.

"Dibandingkan negara maju ataupun setara, utang pemerintah Indonesia masih aman, masih oke," kata Suminto.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat sebesar 40% porsi surat berharga negara (SBN) dimiliki oleh asing.

Total utang pemerintah per Februari 2018 sebesar Rp 4.034,8 triliun, terdiri dari pinjaman yang sebesar Rp 777,54 triliun dan SBN sebesar Rp 3.257,2 triliun.

Dari total SBN tersebut, yang bisa diperdagangkan atau tradeable Rp 2.179,9 triliun. Dari SBN yang bisa diperdagangkan tersebut, 40% atau sekitar Rp 865,9 triliun di antaranya dimiliki asing.

Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kementerian Keuangan Suminto mengatakan 40% kepemilikan asing di SBN tidak membuat bahaya bagi perekonomian. Meskipun ada risiko pihak asing menarik modalnya dari Indonesia.

Dia mengatakan pihak asing yang memiliki SBN merupakan investor jangka panjang. Bahkan, transaksi jual belinya sehari-harinya pun masih berada di kisaran Rp 8 triliun sampai Rp 11 triliun.

"Jadi orang asing memegang utang Rp 858,79 triliun. Kalau transaksi hariannya cuma Rp 8-11 triliun mereka jual, nggak lah, masih jauh (dari bahaya). Kecuali yang diperjualbelikan Rp 100 triliun," kata Suminto di DPP Taruna Merah Putih, Jakarta.

Dari 40% atau Rp 858,79 triliun SBN yang dimiliki asing, sekitar 41,70% atau Rp 358,09 triliun dimiliki lembaga keuangan. Sekitar 19,05% atau Rp 163,61 triliun dalam bentuk reksa dana. Kemudian sekitar 16,74% atau Rp 143,77 triliun dipegang Bank Sentral dan pemerintah negara asing, sementara 12,85% atau Rp 110,34 triliun adalah pihak lainnya.

Lalu, sekitar 5,43% atau Rp 46,63 triliun dimiliki oleh dana pensiun dan sekitar 2,56% atau 22,01 triliun merupakan korporasi. Selanjutnya, sekitar 1,19% atau Rp 10,21 triliun dipegang asuransi.

Sekitar 0,22% atau Rp 1,91 triliun merupakan sekuritas, 0,20% atau Rp 1,75 triliun dimiliki yayasan, dan 0,05% atau Rp 0,47 triliun dipegang perorangan.

Suminto mengatakan utang jatuh tempo yang bakal dibayar pemerintah pada 2018 ini sekitar Rp 400 triliun atau sebesar 10,4% dari total utang pemerintah yang mencapai Rp 4.034,8 triliun per Februari tahun ini.

"Utang kita yang jatuh tempo untuk 2018 itu sekitar 10%, berarti sekitar Rp 400 triliun dari total utang," kata Suminto di DPP Taruna Merah Putih, Jakarta.

Suminto menyebutkan besar utang jatuh tempo yang harus dibayarkan pemerintah tersebut masih terbilang rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti Turki yang sebesar 12,8%, Afrika Selatan sebesar 15%, Ceko sebesar 20%, Inggris sebesar 23,5%, dan Brasil sebesar 24%.

Suminto mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak mengkhawatirkan mengenai jumlah utang pemerintah. Sebab, pengelolaannya pun sudah sesuai koridor yang ada dalam UU Keuangan Negara.

Hide Ads