Beda Cara Hitung Kemiskinan Versi BPS, SBY, dan Prabowo

Beda Cara Hitung Kemiskinan Versi BPS, SBY, dan Prabowo

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 31 Jul 2018 16:30 WIB
Beda Cara Hitung Kemiskinan Versi BPS, SBY, dan Prabowo
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Kemiskinan di sebuah negara merupakan masalah yang sangat krusial. Tinggi atau rendahnya angka kemiskinan akan menentukan kemampuan negara untuk membuat rakyat sejahtera.

Belakangan ini terjadi polemik soal kemiskinan di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan angkat kemiskinan single digit alias turun menjadi 9,82% atau 25,95 juta pada Maret 2018.


Jumlah tersebut turun 633 ribu orang dibandingkan posisi September 2017 yaitu 10,12% atau 26,58 juta, dengan komposisi orang miskin di perkotaan 10,27 juta dan orang miskin di pedesaan 16,31 juta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu beberapa pihak punya penilaian berbeda soal tingkat kemiskinan di Indonesia. Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan masih ada 100 juta rakyat miskin di Indonesia.


Sementara Ketua Umum Partai Gerindra mengatakan kemiskinan di Indonesia naik 50%.

"Mata uang kita tambah, tambah rusak, tambah lemah. Apa yang terjadi adalah dalam 5 tahun terakhir kita tambah miskin, kurang-lebih 50% tambah miskin," tuding Prabowo akhir pekan lalu.

Nah, bagaimana sebenarnya hitung-hitungan kemiskinan versi BPS, SBY, dan Prabowo? Baca informasinya di sini
Mengutip Berita Resmi Statistik (BRS) yang diterbitkan BPS untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach).

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukut dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

Kemudian BPS juga menghitung garis kemiskinan yang caranya terdiri dari dua komponen yakni menghitung garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Selanjutnya untuk GKM adalah nilai pengeluaran masyarakat berdasarkan kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori perkapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi antara lain padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah buahan, minyak dan lemak.

Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut ada 100 juta orang miskin di Indonesia. Dari keterangan resmi Kubu SBY menyebutkan bahwa jumlah 100 juta didasarkan pada 40% orang dengan kelompok berpendapatan rendah.

Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 263 juta, maka ada sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang berpendapatan rendah.
Wakil ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Demokrat Marwan Cik Asan Dasar penggunaan 40% disebutkannya juga sesuai dengan acuan Bank Dunia yang membagi kelompok penduduk di setiap negara menjadi tiga bagian, yaitu kelompok berpendapatan rendah sebanyak 40%, penduduk berpendapatan menengah 40%, dan penduduk berpendapatan tinggi sebanyak 20%.
Menurut dia teori ini digunakan oleh Bank Dunia untuk mengukur tingkat kesenjangan dan ketimpangan ekonomi di suatu negara.
"Maka dengan demikian data yang disampaikan oleh Bapak SBY adalah benar adanya atau sesuai dengan fakta," tambahnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2018 jumlah orang miskin tercatat 25,95 juta. Jumlah tersebut didapatkan berdasarkan patokan garis kemiskinan Rp 401.220 per kapita yang naik dari Rp 387.160 per kapita pada September 2017.
"Artinya jika masyarakat di Indonesia punya pendapatan di atas dari batas yang ada per Maret 2018, maka tidak tergolong sebagai orang miskin. Sebaliknya, jika pendapatannya di bawah batas maka masuk ke dalam golongan orang miskin," tuturnya.
Ia menambahkan, jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan, yaitu pendapatan sebesar US$ 2 per hari per orang atau dengan kurs Rp 13.000 maka diperoleh angka Rp 26.000 per hari atau Rp 780.000 per kapita per bulan, maka penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi. Penduduk miskin diperkirakan mencapai 47% atau 120 juta jiwa dari total populasi.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut Indonesia tambah miskin dalam waktu 5 tahun terakhir dan Ini terjadi karena mata uang rupiah rusak dan terus melemah.

"Mata uang kita tambah, tambah rusak, tambah lemah. Apa yang terjadi adalah dalam 5 tahun terakhir kita tambah miskin, kurang-lebih 50% tambah miskin," tuding Prabowo akhir pekan lalu.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan dalam 5 tahun kemiskinan di Indonesia berkurang 2,17 juta orang atau turun 1,4%. Menurut dia klaim kemiskinan naik 50% tidak benar.

"Sejauh ini data kemiskinan yang diakui adalah data BPS, kecuali pak Prabowo melakukan survei sendiri atau sumber lain mungkin bisa dijelaskan ke publik agar informasi nya utuh," terang Bhima.

"Mungkin Pak Prabowo hanya mengingatkan bahwa ikhtiar penurunan kemiskinan masih jauh dari kata selesai," sambung Bhima

Tapi terlepas klaim yang kurang update, ada beberapa catatan terkait tingkat kemiskinan. Bhima menjelaskan pengukuran jumlah penduduk miskin oleh BPS hanya dihitung berdasarkan pengeluaran per penduduk saja tidak memasukkan penghitungan berdasarkan aset atau pendapatan.

Bisa saja kan orang itu berutang untk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga masuk ke atas garis kemiskinan. Padahal pendapatannya dibawah Rp 400 ribu per bulan. Itu kemiskinan yang disebut semu.

"Artinya ini kritik juga bagi BPS agar membuat survey kemiskinan dengan metode yang lebih komprehensif," kata Bhima.

Hide Ads