Venezuela, Negara Kaya Minyak yang Ekonominya Babak Belur

Venezuela, Negara Kaya Minyak yang Ekonominya Babak Belur

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Jumat, 24 Agu 2018 07:57 WIB
Venezuela, Negara Kaya Minyak yang Ekonominya Babak Belur
Foto: Reuters
Jakarta - Krisis ekonomi tengah melanda Venezuela. Negara kaya minyak di Amerika Selatan ini didera inflasi parah atau dikenal hiperinflasi.

Nilai uangnya menjadi tidak berharga. Untuk membeli makanan saja harus merogoh kocek miliaran bolivar.

Nasib Venezuela memang ironis. Padahal, negara ini merupakan negara kaya minyak alias surga minyak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, apa penyebab Venezuela terpuruk? Apa langkah yang ditempuh untuk bangkit? Berikut ulasannya:

Dilansir dari BBC, Kamis (23/8/2018), Venezuela merupakan negara yang kaya minyak. Cadangan minyak di Venezuela bahkan terbesar di dunia, Namun, emas hitam ini justru menjadi akar persoalan krisis ekonomi di Venezuela.

Pemerintah Venezuela mengandalkan minyak untuk pemasukan negaranya. 95% pemasukan ekspor berasal dari minyak. Saat harga minyak tinggi, Venezuela ketiban rezeki dari penjualan minyak.

Hugo Chaves, Presiden yang berkuasa dari 1999 hingga 2013 menggunakan pendapatan negara dari minyak untuk program mengurangi kemiskinan. Program tersebut salah satunya Misi Perumahan di mana 2 juta rumah dibangun.

Sayang, Venezuela justru apes saat harga minyak anjlok di 2014. Pemerintah Venezuela dihadapkan pada kekurangan pembiayaan dan harus memotong program-program populernya.

Jatuhnya minyak bukan satu-satunya pemicu krisis. Pemerintah Venezuela mematok harga kebutuhan pokok seperti tepung, minyak goreng, hingga keperluan mandi untuk meringankan beban orang miskin.

Niat baik pemerintah ini justru menjadi bumerang.

"Ini berarti banyak perusahaan tidak lagi meraup keuntungan saat memproduksi barang-barang ini, sehingga mereka bangkrut," tulis laporan BBC.

Diperparah lagi kelangkaan mata uang asing untuk impor. Di 2003 Chaves memutuskan mengendalikan mata uang asing.

Sejak saat itu, warga Venezuala yang bermaksud menukar bolivar dengan dolar harus mendaftar terlebih dahulu ke badan mata uang yang dikendalikan pemerintah.

"Hanya pihak-pihak yang dipandang memiliki alasan kuat untuk membeli dolar, misalnya untuk mengimpor barang, diizinkan untuk menukar bolivar mereka berdasarkan nilai tukar tetap yang ditentukan pemerintah," tulis BBC.

Alhasil, kebijakan tersebut justru memicu maraknya peredaran dolar AS di pasar gelap.

"Karena banyak warga Venezuela yang tidak dapat membeli dolar dengan bebas, pasar gelap berkembang dan inflasi meningkat," bunyi keterangan BBC lebih lanjut.


Venezuela dihantam krisis ekonomi. Negara surga minyak tersebut juga mengalami inflasi parah atau hiperinflasi.

Dalam laporan BBC seperti dikutip Kamis (23/8/2018), ada beberapa hal yang memicu Venuzuela dihantam hiperinflasi, salah satunya karena pembatasan mata uang asing.

Presiden Hugo Chaves memutuskan untuk mengendalikan pasar mata uang asing pada 2003. Sejak saat itu warga Venezuela yang ingin menukar bolivar dengan dolar harus mendaftar ke badan mata uang yang dijalankan pemerintah.

Penukaran dolar hanya diizinkan dengan alasan tertentu, misalnya untuk mengimpor barang, cuma nilai tukarnya tetap ditentukan pemerintah.

"Karena banyak warga Venezuela yang tidak dapat membeli dolar dengan bebas, pasar gelap berkembang dan inflasi meningkat," tulis laporan BBC.

Selain itu Bank Sentral Venezuela tak menerbitkan data statistik sejak 2015. Menurut ahli ekonomi Johns Hopkins University, Steve Hanke memperkirakan angka inflasi melonjak hampir 18.000% pada April lalu.

Inflasi parah juga dipicu langkah Pemerintah Venezuela mencetak uang tambahan untuk meningkatkan upah minimum. Tujuannya untuk mendapatkan kembali dukungan warga miskin Venezuela.

Di sisi lain pemerintah kesulitan mendapatkan pinjaman karena kondisi Venezuela yang memburuk. Apalagi, setelah terjadi gagal bayar pada obligasi pada sejumlah obligasi.

Kesulitan akan pinjaman itu akhirnya membuat Venezuela kembali mencetak uang. Hal itu membuat nilai mata uang semakin turun dan inflasinya menjadi parah.

"Pemberi pinjaman semakin tidak menginginkan mengambil risiko menanam uang di Venezuela, pemerintah kembali mencetak uang, sehingga semakin menurunkan nilainya dan melonjakkan inflasi," tulis BBC.

Inflasi parah atau hiperinflasi di Venezuela membuat mata uangnya menjadi tidak berharga. Untuk membeli makanan saja, diperlukan uang miliaran.

Dikutip BBC, Kamis (23/8/2018), kondisi hiperinflasi ini dirasakan warga negara Indonesia bernama Tri Astuti. Tri Astuti bertugas sebagai pelaksana fungsi ekonomi kedutaan Indonesia di Caracas, ibu kota Venezuela.

Dia bercerita, pada 14 Agustus lalu makan bersama dengan 20 orang. Untuk membayar makanan tersebut, dia harus merogoh kocek 1,7 miliar bolivar atau setara Rp 7 juta. Parahnya, menu yang disantap sangat biasa, yaitu kentang, kerang, ikan dan ayam.

Menu tersebut pada awal tahun lalu harganya 500 juta bolivar. Uang sebanyak itu untuk membayar makanan dengan jumlah orang yang sama.

Sementara itu dana di rekening bank miliknya hanya 1 miliar bolivar. Singkat cerita, pengelola restoran memberikan nomor rekening supaya Tuti mentransfer kekurangannya.

"Saat kami bayar harganya 1,7 miliar (bolivar) dan di akun kami hanya ada 1 miliar. Jadi sama restorannya dikasih nomor rekening untuk ditransfer," kata dia.

Lebih lanjut, pada Senin lalu pemerintah Venezuela akhirnya mengeluarkan uang kertas baru untuk mengatasi hiperinflasi. Dengan mata uang ini, harga secangkir kopi yang sebelumnya 2,5 juta bolivar bulan lalu kini hanya 25 bolivar, tapi, sejumlah warga mengatakan, penarikan uang hanya dibatasi sampai 10 bolivar.

Venezuela mengalami hiperinflasi sejak nilai mata uangnya jatuh tidak karuan. International Monetary Fund (IMF) bahkan memprediksi inflasi di negara yang pernah dipimpin mendiang Hugo Chaves itu bisa mencapai 1.000.000% di akhir tahun ini.

Seperti dikutip dari Fortune, Kamis (23/8/2017), IMF membandingkan parahnya inflasi Venezuela itu dengan inflasi yang pernah terjadi di Jerman pada 1920-an dan Zimbabwe di 1990-an.

Pekan lalu, terjadi lagi inflasi 32.000% di negeri kaya minyak itu. Untuk melawan inflasi ini, pemerintah Venezuela tidak tinggal diam.

Presiden Venezuela Nicolas Maduro menerbitkan mata uang baru yang disebut 'sovereign bolivar' menggantikan mata uang lama 'strong bolivar'.

Mata uang baru ini memangkas lima angka 0 di belakang mata uang lama. Jadi 1 juta bolivar kini menjadi hanya 10 bolivar.

Mata uang baru ini akan mengacu ke petro, mata uang krypto yang diluncurkan pemerintah Venezuela Februari lalu. Mata uang ini diluncurkan pada Senin 20 Agustus 2018 lalu.


Venezuela bisa dibilang sedang dalam krisis. Nilai tukar mata uangnya anjlok, inflasi juga tinggi sampai disebut hiperinflasi.

Negara yang pernah dipimpin mendiang Hugo Chaves itu sekarang baru punya mata uang baru, yang disebut 'sovereign bolivar' oleh Presiden Venezuela Nicolas Maduro, menggantikan mata uang lama 'strong bolivar'.

Seperti dikutip dari BBC, Kamis (23/8/2017), mata uang baru ini memangkas lima angka 0 di belakang mata uang lama. Jadi 1 juta bolivar kini menjadi hanya 10 bolivar.

Mata uang baru ini akan mengacu ke petro, mata uang krypto yang diluncurkan pemerintah Venezuela Februari lalu.

Mata uang ini diluncurkan pada Senin 20 Agustus 2018 lalu. Imbasnya, sehari setelah mata uang itu diluncurkan banyak toko yang sengaja tutup untuk melakukan penyesuaian.

Warga diperbolehkan menukar uang lama dengan baru ke bank, tapi dibatasi hanya 10 bolivar baru per hari

Masyarakat Venezuela bingung menyikapi kebijakan pemerintahnya dalam mengatasi hiperinflasi. Salah satunya adalah memangkas nilai mata uang bolivar.

Dikutip dari New York Times, Kamis (23/8/2018), kebijakan ekonomi tersebut diluncurkan pada Senin (20/8/2018). Saat kebijakan tersebut diluncurkan, jalanan di Venezuela sepi dan toko-toko tutup, ini karena Presiden Nicolas Maduro menetapkannya sebagai hari libur nasional.

Sehari setelahnya atau Selasa, sebagian besar toko masih tutup. Pemilik toko rupanya masih berhitung harga barang dengan pecahan yang baru.

Kebingungan tak hanya dirasakan pemilik toko. Konsumen pun juga dibuat kebingungan adanya uang baru ini.

Rosa Pena misalnya. Kala itu tengah berkunjung ke toko sepatu yang buka di Caracas, Venezuela. Dia ingin membeli sepatu untuk cucunya.

Namun, dia kebingungan lantaran mesti membandingkan harga antara yang baru dengan yang lama. "Saya bahkan tidak bisa memahami angka-angka ini," katanya.

Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah Venezuela ialah meningkatkan upah minimum hingga 3.000%. Tentu saja, oleh banyak kalangan pengusaha ini akan memberatkan.

Kebijakan ini pun membuat karyawan ketakutan karena terancam kehilangan pekerjaan.

"Kami sedang menunggu pemilik toko untuk memberi tahu kami apa yang akan dia lakukan dengan kami," kata Marietta Guerrero salah satu manajer toko yang buka di Caracas.


Hide Ads