Jakarta -
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang pemerintah pusat periode Juli 2018 tercatat Rp 4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51% secara year on year (yoy).
Komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 323,79 triliun yang tumbuh 6,8% atau dengan persentase sebesar 7,61% dari keseluruhan pinjaman. Kemudian pinjaman multilateral tercatat Rp 411,19 triliun tumbuh 10,77% atau sebanyak 9,67% dari total pinjaman.
Selanjutnya pinjaman komersial sebesar Rp 43,32 triliun minus 0,87% atau sebesar 1,02% dari total pinjaman. Lalu ada pinjaman suppliers sebesar Rp 1,04 triliun atau tumbuh 56,32% dengan persentase 0,03%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polemik soal utang pemerintah belakangan menjadi perdebatan. Ketua MPR Zulkifli Hasan mengawali kritik ke pemerintah terkait cicilan utang. Dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2018 lalu, ia mengatakan cicilan utang Rp 400 triliun tak wajar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun merespons bahwa pernyataan Zulkifli bersifat politis dan menyesatkan.
Perdebatan soal utang juga datang dari Rizal Ramli, eks Menko Kemaritiman. Calon Presiden Prabowo Subianto juga pernah menyentil soal utang.
Berikut rangkuman
detikFinance, Senin (27/8/2018).
Ketua MPR Zulkifli Hasan menyoroti soal utang pemerintah dan kemampuan pemerintah dalam mencicil utang tersebut.
Hal tersebut dikatakan Zulkifli Hasan pada Sidang Tahunan MPR di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2018).
"Masalah pengelolaan utang, mencegah krisis secara dini ini harus diselesaikan. agar ketahanan ekonomi kuat," kata Zulkifli.
Dia mengatakan, negara harus menjaga stabilitas ekonomi dan menjaga krisis sejak dini. Karena, kata Zulkifli, ini penting untuk menjaga ketahanan nasional.
Zulkifli juga menyoroti besaran utang pemerintah yang diketahui jumlahnya mencapai Rp 4.200 triliun. Dia mengatakan, kemampuan mencicil utang yang dilakukan pemerintah sudah di luar batas kewajaran.
"Rp 400 triliun di 2018 itu setara 7 kali dana desa, 6 kali anggaran kesehatan. Itu sudah di luar batas kewajaran dan batas negara untuk membayar," kata Zulkifli.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap kritikan Pimpinan MPR Zulkifli Hasan soal pembayaran pokok utang pemerintah menyesatkan.
Ketua MPR dalam pidato sidang tahunan MPR 16 Agustus 2018 menyampaikan bahwa besar pembayaran pokok utang pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp 400 triliun, yang 7 kali lebih besar dari dana desa dan 6 kali lebih besar dari anggaran kesehatan adalah tidak wajar.
"Pernyataan tersebut selain bermuatan politis juga menyesatkan," kata dia seperti dikutip dari laman Facebooknya.
Mengenai besaran cicilan utang yang tujuh kali dana desa, Sri Mulyani menjelaskan bahwa tuduhan tersebut kurang tepat.
Besaran dana desa untuk tahun 2019, menurut data Kementerian Keuangan adalah Rp 85 triliun. Artinya, besaran cicilan utang adalah 4,6 kali dari besaran dana desa di 2019.
Lagi-lagi, berbeda dengan tudingan Zulkifli yang menyebut besaran cicilan utang 2019 adalah 7 kali besaran alokasi dana desa.
"Pada tahun 2018 rasio menurun 39,3% menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali. Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR," jelas Sri Mulyani.
Sebelum mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, Prabowo Subianto melontarkan kritik atas utang Indonesia. Ia menyebut utang Indonesia mencapai Rp 9.000 triliun.
Prabowo menampilkan slide tentang utang RI. Di bawah slide itu, tampak sumber data yang dipakai Prabowo adalah 'Statistik Uang Sektor Publik, Kementerian Keuangan, 2018, Asumsi Kurs Rp 14.000 per US$ 1; Per Tutup Tahun 2017'.
"Utang-utang kita sudah sangat membahayakan. Selain utang pemerintah, ada utang lembaga-lembaga keuangan milik pemerintah dan utang-utang BUMN. Kalau dijumlahkan sungguh sangat besar," ucap Prabowo di Jl Widya Chandra IV, Jakarta, Senin (25/6/2018). Pernyataan 'berbahaya' itu disampaikan Prabowo dengan mengutip data lembaga Moody's yang jadi sumber rujukan berita Bloomberg.
Slide itu menampilkan data utang pemerintah, BUMN, dan lembaga keuangan publik. Total utang tiga sektor itu dihitung Prabowo hampir Rp 9.000 triliun.
"Utang pemerintah memang Rp 4.060 triliun, tapi ada utang BUMN ditambah Rp 600 triliun. Ditambah lagi utang lembaga keuangan publik, Rp 3.850 triliun. Kalau kita jumlahkan ya hampir Rp 9.000 triliun," ucap dia.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menjelaskan soal utang yang dilontarkan Prabowo.
Frans menjelaskan kondisi utang berdasarkan Data Statistik Utang Sektor Publik (SUSPI) Desember 2017 yang terdiri dari tiga kelompok, antara lain utang pemerintah pusat Rp 4.060 triliun, utang BUMN non lembaga keuangan Rp 630 triliun, BUMN lembaga keuangan (termasuk Bank BUMN) sebesar Rp 3.850 triliun.
"Jumlah total utang adalah sebesar Rp 8.540 triliun, sangat jauh dari Rp 9.000 triliun yang disampaikan Pak Prabowo. Pak Prabowo menggunakan kurs Rp 14.000 per USD, sementara posisi 2017 data BI (SUSPI) menggunakan kurs Rp 13.492 per USD," tulis Frans.
Untuk utang BUMN lembaga keuangan yang terdiri dari Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN sebesar Rp 3.850 T itu sebagian besar sekitar 80% atau hampir Rp 3.000 triliun adalah dana pihak ketiga (DPK).
"Yaitu dana masyarakat, perusahaan yang menempatkan dana di perbankan yang selain untuk tujuan menabung, dana tersebut justru menjadi instrumen pendanaan investasi produktif perekonomian," kata Frans.
Ia menjelaskan, utang BUMN non lembaga keuangan merupakan utang BUMN dalam melaksanakan kegiatan usaha BUMN, termasuk membangun infrastruktur seperti pembangkit dan transmisi listrik, jalan tol, pelabuhan laut dan udara dan kegiatan produktif BUMN lainnya. Besaran utang tersebut dipisahkan dari utang pemerintah dan tidak menjadi bagian darinya.
Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) bidang ekonomi Ahmad Erani Yustika menjelaskan bahwa utang pemerintah sekitar Rp 4.000 triliun dan dikelola dengan baik.
"Saya jelaskan, akibat pengelolaan utang yang bagus itu kan, ini perlu saya sampaikan, fix rating bulan Desember menaikkan rating kita menjadi BBB. Kemudian Moody's pada April 2018 menjadi BAA2. Kemudian SP pada Mei menjadi BBB minus. Itu semua menunjukkan pengelolaan ekonomi kita makin bagus," jelas Erani.
Ia juga mengataka agar Prabowo membaca data secara utuh, sehingga utang tak menjadi polemik. Erani menjelaskan soal utang Rp 3.850 triliun milik lembaga keuangan negara yang disebut Prabowo. Dia membenarkan angka tersebut utang, namun utang tersebut bersifat operasi korporasi.
"Itu Rp 3.800 triliun itu dana publik, orang yang menabung itu. Betul itu utang. Tapi dalam akuntansi, karena itu jasa perbankan, utang tadi diberikan ke orang yang membutuhkan uang, disebut kredit. Itu yang mendapatkan bunga. Seperti BNI, BRI, Mandiri, BTN, itu kan setiap tahun dapat laba yang gede. Jadi kuncinya itu operasi koorporasi. Namanya bank mengumpulkan uang dari masyarakat," urai Erani.
Halaman Selanjutnya
Halaman