Fakta di Balik Swasembada Pangan Era Orde Baru (2)

Fakta di Balik Swasembada Pangan Era Orde Baru (2)

Dana Aditiasari - detikFinance
Jumat, 23 Nov 2018 19:05 WIB
Foto: Ilustrasi : Edi Wahyono
Jakarta - Nostalgia swasembada pangan sontak ramai diperbincangkan di ruang publik setelah Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Titiek Soeharto dalam kampanyenya mengatakan, jika Prabowo menang Pilpres akan dilanjutkan program-program Orde Baru karena dianggap berhasil menciptakan swasembada pangan.

Produksi beras sebanyak 27 juta ton mengantarkan Indonesia meraih predikat swasembada pangan di tahun 1984 di tengah konsumsi nasional yang saat ini hanya 25 juta ton atau terdapat surplus hingga 2 juta ton.

Swasembada pangan di tahun 1984 itu diakui Food and Agriculture Organization (FAO). Apa lagi, kala itu RI masih bisa menyumbang 100.000 ton padi untuk korban kelaparan di sejumlah negara eropa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Titiek mengisahkan, Presiden Soeharto kala itu dianggap berhasil menyusun kebijakan yang pada akhirnya berhasil mengantarkan RI ke swasembada pangan.

"Kita dulu pernah swasembada zamannya Pak Harto dan diberi penghargaan oleh internasional," kata Titiek di hadapan relawan pendukung Prabowo-Sandi, Cilegon, Rabu (14/11/2018) lalu.


Penghargaan FAO yang dimaksud Titiek adalah penghargaan berupa medali emas dua sisi. Satu sisi medali terukir gambar timbul sosok yang punya julukan bapak pembangunan itu.

Sementara ada gambar petani sedang menanam padi beserta tulisan "From Rice Importer to Self Sufficiency" di sisi sebaliknya.

Mengutip paparan Deputi Bulog Bidang Perencanaan dan Kerjasama, Mulyo Sidik dalam bahan paparannya pada FAO RICE CONFERENCE 2004 di Roma, Italia dikatakan, keberhasilan swasembada pangan terutama ditopang dengan sejumlah kebijakan pro petani kala itu.

Pemerintah telah menempatkan sektor pertanian sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi dan ujung tombak mengentaskan kemiskinan dan kekurangan gizi, khususnya di daerah pedesaan.

Selama periode ini Bulog memiliki hak monopoli untuk mengimpor beras dan komoditas pangan pokok lainnya seperti gula, gandum, jagung, dan kedelai.

Pencapaian ini tentu bukan perkara mudah, karena swasembada pangan baru dicapai Soeharto setelah 17 tahun memimpin. Artinya, butuh lebih dari 3 periode bagi Soeharto untuk bisa mencapai swasembada pangan.

Dalam konteks kekinian, sepertinya mustahil bagi siapapun presidennya untuk mencapai swasembada pangan. Karena, sejak Soeharto lengser, tak ada satupun presiden yang pernah berkuasa lebih dari 10 tahun. Itu pun, baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang punya masa kepemimpinan 10 tahun hingga saat ini.


Selain lamanya waktu yang dibutuhkan untuk swasembada, program ini pun tercatat tak langgeng. Dalam rentang 32 tahun kepemimpinan presiden yang wafat 27 Januari 2008 tersebut, hanya sekali saja RI mencapai predikat swasembada pangan.

Memasuki pertengahan tahun 1990-an, RI kembali impor beras dan jumlahnya terus membengkak. Mengutip data BPS, RI mengimpor hingga 3 juta ton beras di tahun 1995. Di akhir periode kepemimpinan Soeharto, impor beras RI mencapai puncaknya yakni sebanyak 6 juta ton di tahun 1998. (dna/fdl)

Hide Ads