Pengamat Ekonomi Fuad Bawazier mengatakan dengan klaim tersebut maka pemerintah mengakui bahwa beberapa tahun ke belakang tidak berhasil mencapai target.
"Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan bangga mengatakan bahwa untuk pertama kalinya pendapatan negara melampaui targetnya. Berarti juga mengakui selama ini gagal mencapai target," kata Fuad dalam keterangannya, Sabtu (5/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fuad menambahkan, jika dilihat lebih teliti tembusnya penerimaan negara 102,5% disebabkan oleh faktor eksternal, bukan dari hasil kerja pemerintah. Fuad bahkan menyebut bahwa penerimaan dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan dan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan masih kurang Rp 96,7 triliun atau sekitar 6%.
"Penerimaan perpajakan (dari Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai) masih shortfall Rp 96,7 triliun atau 6% di bawah target APBN," kata Fuad.
Dia menambahkan target penerimaan pajak sebesar Rp 1.424 triliun hanya mampu terealisasi Rp 1.315,9 triliun. Artinya, masih ada kekurangan sekitar 108,1 triliun (7,6%). Kekurangan yang terbilang kecil tersebut ditutup oleh PPh Migas yang surplus 69,6% atau Rp 26,6 triliun dari target Rp 38,1 triliun karena kenaikan harga minyak dunia.
"PPh Migas menyumbang surplus 69,6% atau surplus Rp 26,6 T (dari target Rp 38,1 triliun) karena kenaikan harga minyak dunia, bukan karena kenaikan produksi Migas yang justru di bawah target," ujar Fuad.
Eks Menteri Keuangan yang kini menjadi Anggota Tim Ekonomi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, menyoroti porsi penerimaan pajak yang terbesar yaitu PPh non migas dan PPN yang belum berhasil mencapai target. Dari target Rp 1.358,8 triliun, katanya, yang terealisasi Rp 1.225 triliun.
"Sehingga di luar PPh migas, penerimaan Ditjen Pajak dari target Rp 1.385,9 triliun hanya terealisasi Rp 1251,2 triliun atau shortfall 9,7%," kata Fuad.
Faktor eksternal lain yang berhasil menutupi kekurangan penerimaan negara, katanya,adalah kenaikan harga minyak dan komoditas. Dana hibah juga melampaui target dari yang ditetapkan Rp 12,7 triliun atau 1.061% dari target.
"Patut disyukuri tapi tidak perlu membusungkan dada, karena itu bukan hasil kerja pemerintah," tutur Fuad.
Rasio pajak 2018 yang disebutkan 11,5% terhadap PDB Rp 14.745,9 triliun seharusnya membukukan penerimaan Rp 1.695 triliun. Sedangkan kenyataannya sebesar Rp 1.521,4 triliun atau 10,3% dari PDB.
"Jadi perlu penjelasan pemerintah, misalnya karena penerimaan perpajakan dalam realisasi APBN 2018 itu belum memasukkan PBB perkotaan dan pedesaan yang di kelola Pemerintah Daerah? Benarkah demikian? Semua ini tentu perlu penjelasan agar angka tax ratio tidak debatable," tutup Fuad. (ara/fdl)