Ekonom INDEF Bhima Yuhdistira Adhinegara menjelaskan warning yang diberikan IMF kepada negara lain termasuk Indonesia ada benarnya. Untuk di Indonesia fluktuasi nilai tukar rupiah akibat gejolak ekonomi dunia membuat risiko pinjaman dalam bentuk valuta asing meningkat.
Kemudian bunga acuan yang naik juga berimbas pada mahalnya bunga surat utang yang harus dibayar.
Lonjakan utang juga menciptakan fenomena crowding out effect atau perebutan likuiditas dipasar keuangan. Uang yang seharusnya masuk ke sektor swasta, lebih tertarik masuk ke Pemerintah.
"Dengan kondisi ini sebaiknya Pemerintah melakukan beberapa penyesuaian yaitu mengurangi ketergantungan pada penerbitan SBN valas, dan memperdalam pasar keuangan domestik dengan terbitkan lebih banyak obligasi ritel denominasi rupiah," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Selasa (22/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari data APBN Kita total utang pemerintah per akhir November 2018 terdiri dari pinjaman yang sebesar Rp 784,38 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 3.611,59 triliun.
Pinjaman luar negeri terdiri dari bilateral Rp 314,37 triliun, multilateral Rp 419,87 triliun, komersial Rp 43,54 triliun, dan suppliers nihil.
Sedangkan sisanya terdiri dari SBN Rp 3.611,59 triliun. Di mana terdiri dari denominasi rupiah sebesar Rp 2.612,68 triliun dan denominasi valas sebesar Rp 998,90 triliun.