Menengok Kembali Janji Jokowi Bikin Pertumbuhan Ekonomi RI 7%

Menengok Kembali Janji Jokowi Bikin Pertumbuhan Ekonomi RI 7%

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Kamis, 07 Feb 2019 08:04 WIB
Menengok Kembali Janji Jokowi Bikin Pertumbuhan Ekonomi RI 7%
Foto: dikhy sasra
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2014 berjanji akan membuat ekonomi Indonesia tumbuh hingga 7%. Namun, hingga akhir jabatannya kini pertumbuhan ekonomi Indonesia belum pernah sampai angka yang dijanjikan.

Janji tersebut merupakan salah satu dari 9 program nyata Jokowi. Selain itu, dalam janjinya apabila pertumbuhan ekonomi berhasil menyentuh 7%, Jokowi ingin memberikan uang Rp 1 juta/bulan untuk keluarga miskin.

Kenyataannya hingga kini, pertumbuhan ekonomi masih di bawah 7%. Bagaimana kisah selengkapnya? Simak rangkuman informasi detikFinance, klik halaman berikutnya.
Dikutip dari data BPS yang dirilis Rabu (6/2/2019), tahun 2018 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,17%, selain itu angka ini pun tidak sejalan dengan target yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABNP) 2018 sebesar 5,4%.

Bila dirangkum, memang sejak pemerintahan dipegang oleh Jokowi target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% belum tercapai. Namun, bila dirangkum pertumbuhan ekonomi sejak 2015 sendiri mengalami kenaikan.

Berikut data pertumbuhan ekonomi era Presiden Joko Widodo:
2015: 4,88%
2016: 5,03%
2017: 5,07%
2018: 5,17%

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menilai pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 sebesar 5,17% bagus. Sebab, tak semua negara mampu mencapai angka pertumbuhan tersebut.

Robert mengatakan saat ini rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia berada di angka 3%. Sehingga, pertumbuhan sebesar 5,17% tergolong cukup bagus.

"Bagus kan. Nggak banyak negara yang pertumbuhannya di atas 5%. Jadi good. Ini masih di atas rata-rata, dunia kan cuma 3% (pertumbuhannya)," kata dia di BKPM, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

Lebih lanjut, walaupun pertumbuhan tercatat melambat hal itu tak membuat kecewa. Sebab, hal itu juga terjadi pada keseluruhan global.

"Ya nggak banget (kecewa). Itu kan namanya target dihitung berdasarkan symptom yang faktanya memang ada perubahan," tutup dia.

Sebagai informasi, BPS merilis angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17%. Angka ini meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,4%.

Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN sekaligus anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dradjad Wibowo menjelaskan menjanjikan pertumbuhan 7% per tahun merupakan target yang terlalu muluk. Sehingga wajar jika janji tersebut ditagih, baik oleh pesaing politik maupun oleh pelaku usaha.

"Saya tidak tahu siapa yang memberi masukkan, jelas terlalu muluk (pertumbuhan ekonomi). Target 6% sebenarnya lebih realistis, jika bauran kebijakannya benar," kata Dradjad.

Kemudian, landainya pertumbuhan ekonomi ini terjadi saat proyek infrastruktur digenjot besar-besaran. Dia membandingkan dengan Amerika Serikat (AS) saat terjadi The Great Depression.

Menurut dia AS keluar dari GD melalui pembangunan infrastruktur besar-besaran khususnya moda kereta api. Dia menjelaskan belanja infrastruktur menjadi sebuah stimulus, efek multiplier PDB dan penyediaan lapangan kerjanya besar.

"Di Indonesia selama periode pak Jokowi, belanja infrastruktur malah gagal jadi stimulus Keynesian. Efek multiplier PDB dan lapangan kerja relatif kurang terasa. Berarti ada yang salah dengan belanja infrastruktur pemerintah," ujar Drajad.

Dia menambahkan, pemerintahan Presiden Jokowi disebut sering menyalahkan faktor eksternal ketika ekonomi tidak sesuai dari harapan dan target. Namun ketika faktor eksternalnya menolong perekonomian, dia diabaikan dan kinerja ekonomi diklaim sebagai prestasi sendiri.


Dradjad mengkritik lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang stagnan.

"Hal ini tidak bisa dikompensasi oleh belanja pemerintah, khususnya infrastruktur. Kemudian defisit neraca perdagangan adalah yang terbesar dalam sejarah," kata Drajad.

Dia menyampaikan belanja atau pengeluaran pemerintah melalui proyek infrastruktur gagal menjadi stimulus. Selain itu pemerintah sering kali membuat faktor eksternal menjadi kambing hitam saat ekonomi tidak sesuai dengan harapan.

"Tapi ketika faktor eksternal menolong perekonomian, dia diabaikan dan kinerja ekonomi diklaim sebagai prestasi sendiri," jelas dia.

Drajad menjelaskan angka pertumbuhan ekonomi 2018 sebelumnya ditargetkan 5,4% melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Angka tersebut asli dari pemerintah dalam Nota Keuangan tanggal 16 Agustus 2017.

Menurut dia pertumbuhan 2018 itu ternyata dekat dengan angka proyeksi INDEF yakni 5,1% pada 29 November 2017.

"DPR tidak mengubahnya ketika menyetujui RAPBN menjadi APBN 2018. Artinya, proyeksi pemerintah kalah akurat," jelas dia.

Hide Ads