Beberapa hal dianggap menjadi penyebab, salah satunya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1010/MENKES/PER/XI/2008. Permenkes itu mewajibkan perusahaan farmasi asing berproduksi atau menunjuk perusahaan lain yang telah terdaftar menjadi produsen di dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan obat.
"Kalau menurut saya dari data kita bisa lihat kalau ada investasi yang menurun. Tapi apakah memang kemudian Permenkes 1010 itu jadi kambing hitam?" kata Direktur Pengembangan Potensi Daerah, Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM) Iwan Suryana, di Gedung BKPM, Jakarta, Selasa (2/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah regulasi ini harus dilihat punya implikasi langsung terhadap cost produksi atau tidak. Kalau tidak, kita tidak bisa serta merta menyalahkan itu," tambahnya.
Iwan melanjutkan, biaya produksi sendiri dihitung mulai dari proses pendatangan bahan baku obat, produksi hingga pengiriman produk ke pelabuhan untuk diekspor. Investor biasanya membandingkan hal itu dengan negara lain di dekatnya.
Menurut Iwan cost produksi terkait logistik di Indonesia masih terbilang mahal. Belum efektifnya integrasi antara pelabuhan dengan pusat industri dianggap menjadi masalahnya.
"Di Thailand ada kawasan industri khusus. Dari pabrik ke pelabuhan itu enggak ada macetnya. Biayanya sedikit," ujarnya.
Meskipun, secara pribadi Iwan menilai Permenkes itu juga harus dikaji. Sebab ada aturan perusahaan farmasi asing yang menjual obat di Indonesia setelah 5 tahun harus mendirikan pabrik di Indonesia.
"Dengan situasi ini semua perwakilan yang sudah importasi selama 5 tahun ketika kena 5 tahun harus investasi, lalu perusahaan pusat enggak menyetujui ini kan jadi masalah. Belum lagi jika dia selama 5 tahun sudah punya pabrik misalnya di Thailand. Masa dia harus punya 2 pabrik. Tapi harus dikaji ulang bulan langsung diubah," tegasnya.
(das/fdl)