Para perusahaan yang keuangannya terganggu itu berasal dari berbagai sektor. Mulai dari transportasi, konsumer, asuransi, kawasan industri, transportasi hingga perusahaan pembiayaan.
Berikut daftar perusahaan yang tak sanggup membayar kewajibannya sejak 2018 hingga saat ini. Klik selanjutnya untuk halaman berikutnya.
Kabar PT Express Transindo Utama tak mampu membayar utangnya saat muncul siaran pers dari Pefindo. Saat itu eating obligasi I 2014 yang diterbitkan perusahaan turub dari BB- menjadi D.
Rating itu diberikan ketika terjadi default pembayaran. Hal itu lantaran adanya gagal bayar kupon yang harusnya pada 26 Maret 2018 kemarin.
Pada saat yang sama Pefindo juga menurunkan peringkat korporasi TAXI dari BB- menjadi SD atau selective default. Obligor yang mendapatkan rating SD artinya telah gagal untuk membayar satu atau lebih dari kewajiban keuangannya ketika jatuh tempo, tetapi akan terus melakukan pembayaran tepat waktu pada kewajiban lainnya.
Pada 2014, Express Tansindo Utama telah menerbitkan obligasi dengan nilai Rp 1 triliun. Obligasi dengan kupon 12,25% per tahun ini jatuh tempo pada 24 Juni 2018.
Corporate Secretary TAXI Megawati Affan telah mengumumkan bahwa 4 April 2018 perseroan telah mengirimkan dana bunga obligasi ke 15 dan denda keterlambatan selama 11 hari ke rekening PT Kustodian Sentral Efek Indonesia.
2. PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk
Perusahaan produsen makanan kemasan Taro ini pada 12 Juli 2018 telah menerima surat dari Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat tertanggal 10 Juli 2018 perihal Panggilan Sidang Menghadap dalam perkara dengan Nomor 92/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst.
Surat tersebut perihal Panggilan Sidang Menghadap dalam perkara dengan Nomor 92/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst.
Perusahaan berkode saham AISA sudah telat melakukan pembayaran bunga ke-21 atas obligasi dan sukuk ijarah TPS Food I Tahun 2013. Ini merupakan kedua kalinya perusahaan telat membayar utang bunga.
Pembayaran bunga obligasi dan sukuk ijarah TPS Food I Tahun 2013 ke-21 jatuh pada 5 juli 2018. Perusahaan diketahui belum membayarkan hingga saat ini.
Perusahaan menegaskan bahwa perusahaan sedang mengupayakan proses restrukturisasi obligasi dan sukuk tersebut. Manajemen berjanji akan memberikan informasi kelanjutan proses tersebut.
TPS Food menerbitkan obligasi dan dan sukuk ijarah (sukuk) TPS Food I dengan nilai masing-masing Rp 600 miliar dan Rp 300 miliar pada 1 April 2013.
Tiga Pilar Sejahtera Food akhirnya bebas dari kepailitian. Proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di pengadilan telah berakhir damai.
3. Sariwangi
PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (SAEA) telah dinyatakan pailit setelah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian oleh PT Bank ICBC Indonesia. Anak usaha Sariwangi Group PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung juga ikut dijatuhkan pailit.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan kedua perusahaan itu pailit karena dianggap telah melanggar perjanjian perdamaian soal utang piutang dengan PT Bank ICBC Indonesia.
Setelah tagihan kredit utang bermasalah Bank ICBC Indonesia sepakat dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Total utang Sariwangi kepada Bank ICBC Indonesia saat itu mencapai US$ 20.505.166 atau sekitar Rp 309,6 miliar.
Namun sejak perjanjian itu pihak Sariwangi tidak memenuhi perjanjian dengan membayar cicilan utang. Hingga akhirnya PT Bank ICBC Indonesia mengajukan pembatalan perjanjian perdamaian
Berbarengan dengan Sariwangi, Bank ICBC Indonesia juga meminta pembatalan perjanjian perdamaian kepada PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung. Total utang perusahaan ini mencapai $2.017.595 dan Rp. 4.907.082.191.
4. SNP Finance
PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap kewajibannya sebesar Β± Rp 4,07 triliun, yang terdiri dari kredit perbankan sebesar Β± Rp 2,22 triliun dan MTN sebesar Β± Rp 1,85 triliun.
Peringkat efek SNP Finance periode Desember 2015-2017 idA-/stable, kemudian Maret 2018 rating SNP Finance naik menjadi idA/stable. Lalu Pefindo menurunkan rating sebanyak 2 kali, yakni bulan Mei 2018 diturunkan menjadi idCCC/credit watch negative dan pada bulan yang sama menurunkan lagi ke peringkat idSD/selective default.
Saat ini, SNP Finance dalam status dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh OJK sejak bulan Mei 2018. Hal ini dilakukan karena perusahaan pembiayaan tersebut belum menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang MTN sampai batas waktu sanksi peringatan ketiga, sesuai pasal 53 POJK nomor 29/2014.
Lanjut ke halaman berikutnya
5. Asuransi Jiwasraya
PT Asuransi Jiwasraya terbelit masalah keuangan. Perusahaan bahkan tak mampu membayar premi hingga Rp 802 miliar.
Tunggakan premi itu berasal dari produk saving plan yang dikeluarkan perusahaan pada 2013. Sayangnya ada permasalahan dari penempatan dana produk tersebut di portofolio investasi.
Saat ini perusahaan tengah melakukan berbagai upaya untuk membayar kewajibannya itu. Mulai dari penerbitan surat utang jangka menengah hingga pembentukan anak usaha baru.
6. Jababeka
Manajemen PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) menjelaskan terkait adanya potensi gagal bayar utang notes senilai US$ 300 juta. Gagal bayar itu lantaran adanya acting in concert.
Melansir keterbukaan informasi, manajemen menjelaskan salah satu pemegang sahamnya yakni PT Imakotama Investido (Imakotama) dengan porsi 6,387% saham disebut telah bertindak secara bersama-sama dengan beberapa pemegang saham lainnya (acting in concert). Tujuannya untuk mengubah dewan direksi dan komisaris.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) tangal 26 Juni 2019, yang mengangkat Sugiharto selaku Direktur Utama dan Aries Liman selaku Komisaris melalui voting 52,11% suara pemegang saham. Suara tersebut melebihi suara yang dimiliki oleh pemegang saham (Permitted Holders) berdasarkan syarat dan kondisi dari Notes.
Manajemen menjelaskan, perubahan pengendalian dalam KIJA sebagaimana dimaksud dalam syarat dan kondisi dari Notes yang diterbitkan oleh Jababeka International B.V. (JIBV) nak perusahaan KIJA. Aturan itu mengacu pada hukum Amerika Serikat (US Law).
Menurut manajmeen pada saat pemunggutan suara dalam RUPST KIJA tanggal 26 Juni 2019, usul Imakotama dan afiliasinya melebihi suara yang dimiliki oleh Permitted Holders yang ditentukan dalam syarat dan kondisi dari Notes.
Aturan itu menjelaskan bahwa KIJA atau JIBV dalam jangka waktu 30 hari sejak terjadinya perubahan pengendalian berkewajiban untuk memberikan penawaran pembelian kepada para pemegang Notes dengan harga pembelian sebesar 101% dari nilai pokok Notes sebesar US$ 300 juta ditambah kewajiban bunga.
7. Duniatex
Produsen tekstil Indonesia PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) yang tergabung dalam Grup Duniatex dikabarkan berpotensi gagal bayar utang obligasi.
Dikutip detikFinance dari CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019), kabar tersebut bermula dari rilis lembaga pemeringkat global, Standard & Poors (S&P;) yang memangkas habis peringkat utang jangka panjang DMDT. Di dalamnya termasuk surat utang unsecured notes yang diterbitkan perusahaan dari BB- menjadi CCC-, atau diturunkan enam notch.
Fitch Rating juga telah lebih dulu menurunkan peringkat DMDT dari BB- ke B-.
Peringkat 'CCC' diberikan ketika penerbit obligasi rentan terhadap resiko wanprestasi, dan besar kemungkinan kesulitan untuk memenuhi pembayaran komitmen keuangan atau membayar biaya kupon obligasi.
Sebagai informasi, DMDT merupakan perusahaan di bawah naungan Grup Duniatex milik Keluarga Sumitro.
Dalam rilis S&P; tanggal 16 Juli, disebutkan bahwa dipangkasnya peringkat DMDT karena perusahaan menghadapi tantangan likuiditas yang besar, yang juga sedang dialami Grup Duniatex.
Hal ini terlihat dari terlewatnya pembayaran kewajiban atas kredit sindikasi senilai US$ 260 juta sekitar dua minggu lalu oleh PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST).
S&P; menegaskan bahwa kondisi kesulitan keuangan yang membayangi Grup Duniatex dan DSST akan berdampak negatif pada operasional DMDT. Pasalnya, DDST merupakan anak usaha yang bergerak di bidang pemintalan dan merupakan pemasok utama untuk DMDT.
S&P; juga memberi prospek negatif pada DMDT. Itu karena perusahaan berpotensi menghadapi kesulitan untuk memenuhi kewajiban utang kredit sindikasi. Nilainya US$ 5 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019.
Selain itu, dalam laporannya, tertulis bahwa perang dagang merupakan salah satu faktor penyebab kesulitan yang dialami oleh industri tekstil Indonesia, meskipun memang data kinerja industri tekstil kuartal II-2019 belum rilis.
Di lain pihak, analis dari CreditSights menyampaikan, terlewatnya pembayaran kewajiban DDST seharusnya tidak akan berdampak pada kemampuan membayar DMDT. Terlebih DMDT masih memiliki dana yang cukup pada interest reserve account untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga sekitar US$ 13 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019.
Selain itu, dalam laporannya, analis masih mempertanyakan, apakah terlewatnya pembayaran kewajiban utang DDST benar karena kesulitan keuangan, atau mereka tidak mau membayar, seperti diwartakan dalam IFR.