Garuda Revisi Laporan Keuangan dari Untung Jadi 'Buntung'

Garuda Revisi Laporan Keuangan dari Untung Jadi 'Buntung'

Danang Sugianto - detikFinance
Sabtu, 27 Jul 2019 08:00 WIB
1.

Garuda Revisi Laporan Keuangan dari Untung Jadi 'Buntung'

Garuda Revisi Laporan Keuangan dari Untung Jadi Buntung
Foto: Ilustrasi Garuda Indonesia (Shinta/detikTravel)
Jakarta - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) telah merevisi laporan keuangannya. Laporan keuangan perusahaan di 2018 yang tadinya untung direvisi menjadi rugi.

Setelah direvisi, Garuda Indonesia mencatatkan net loss atau rugi bersih US$ 175,028 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun (kurs Rp 14.000). Ini berbeda dari data laporan keuangan yang dirilis sebelumnya mencatatkan laba sebesar US$ 5,018 juta.

Sengkarut penyajian laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berawal dari perjanjian kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi. Kerjasama itu sebenarnya pengakuan pendapatan yang belum memenuhi kriteria pengakuan sesuai standar akuntansi keuangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain menyajikan ulang laporan keuangan tersebut, Garuda Indonesia juga membatalkan perjanjian kerjasama dengan Mahata terkait penyediaan layanan akses internet di pesawat.

Garuda Indonesia pun telah membayarkan denda yang dijatuhkan atas kisruh tersebut. Manajemen juga menegaskan bahwa perusahaan tidak akan bangkrut setelah diketahui keuangannya masih berdarah-darah.
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah merilis Laporan Keuangan tahun 2018 yang sudah direvisi menyusul hasil putusan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Garuda juga menindaklanjuti putusan Bursa Efek Indonesia (BEI) agar laporan keuangan kuartal I-2019 Perseroan juga disajikan ulang.

Dalam kaitan penyajian ulang Laporan Keuangan 2018, Garuda Indonesia mencatatkan net loss atau rugi bersih sebesar US$ 175,028 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun (kurs Rp 14.000). Laporan ini berbeda dari sajian sebelumnya, di mana dicatatkan laba sebesar US$ 5,018 juta.

Dalam laporan keuangan Garuda 2018 yang disajikan kembali, pendapatan usaha tercatat sebesar US$ 4,37 miliar, tidak mengalami perubahan dari laporan pendapatan sebelumnya. Sementara itu, pendapatan usaha lainnya (pendapatan lain-lain) terkoreksi menjadi US$ 38,8 juta dari sebelumnya US$ 278,8 juta.

Sementara itu, pada laporan restatement Garuda Indonesia pada periode kuartal I-2019 tercatat mengalami sejumlah penyesuaian pada indikator aset menjadi sebesar US$ 4,328 juta dari sebelumnya US$ 4,532 juta. Adapun perubahan total indikator aset tersebut diakibatkan oleh penyesuaian pada pencatatan piutang lain-Lain menjadi sebesar US$ 19,7 juta dari sebelumnya sebesar US$ 283,8 juta. Aset pajak tangguhan juga mengalami penyesuaian menjadi US$ 105,5 juta dari sebelumnya US$ 45,3 juta.

Lebih lanjut, liabilitas perseroan pada penyajian kembali laporan keuangan kuartal I-2019 juga mengalami penyesuaian menjadi US$ 3,537 juta dari sebelumnya US$ 3,561 juta.

"Sementara itu, terkait putusan BPK terkait kerjasama Mahata Aero Teknologi, maka Citilink Indonesia selaku pihak yang berkontrak juga telah mengirimkan surat kepada pihak Mahata Aero Teknologi terkait pembatalan kerja sama tersebut," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal dalam keterangan resmi, Jumat (26/7/2019).

Dalam penyajian restatement laporan keuangan ini, Garuda Indonesia menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan (Member of BDO International), mengacu kepada aturan dan referensi regulator yang tetap memberikan ruang bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan untuk menyelesaikan proses audit restatement yang dimaksud.

Penyampaian restatement LKT 2018 dan LK kuratal I-2019 serta penyelenggaraan public expose merupakan bentuk kepatuhan Garuda Indonesia terhadap putusan dari regulator. Garuda Indonesia juga telah memenuhi sanksi administratif berupa sejumlah denda sebelum batas waktu yang dipersyaratkan oleh OJK dan BEI, pelaporan terhadap pemenuhan sanksi denda telah disampaikan melalui surat kepada OJK dan BEI tertanggal 11 Juli 2019.

Dengan pelaksanaan penyajian ulang dan public expose hari ini, maka Garuda Indonesia telah memenuhi semua sanksi dan persyaratan yang diminta oleh regulator.

Kisruh ini bermula ketika perusahaan diduga mempercantik laporan keuangannya di 2018. Laporan keuangan Garuda Indonesia disebut janggal lantaran tiba-tiba meningkat drastis.

Menurut laporan keuangan GIAA 2018, perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Padahal di kuartal III-2018 Garuda Indonesia masih mengalami kerugian sebesar US$ 114,08 juta atau atau Rp 1,66 triliun jika dikalikan kurs saat itu sekitar Rp 14.600.

Kemudian ada dua komisaris yang tidak setuju dengan penyampaian laporan keuangan GIAA tersebut. Kedua komisaris itu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.

Kedua komisaris itu merasa keberatan dengan pengakuan pendapatan atas transaksi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia. Pengakuan itu dianggap tidak sesuai dengan kaidah pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) nomor 23.

Sebab manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang di antaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sri Wijaya Air.

Menurut laporan keuangan perusahaan, pada tanggal 31 Oktober 2018, Grup Garuda Indonesia dan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) mengadakan perjanjian kerja sama yang telah diamandemen, terakhir dengan amandemen II tanggal 26 Desember 2018, mengenai penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten.

Mahata menyetujui membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dalam penerbangan untuk 50 pesawat A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737-800 NG dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar US$ 131.940.000 dan biaya kompensasi atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 18 pesawat A330, 70 pesawat Boeing 737-800 NG, 1 pesawat Boeing 737-800 MAX dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar USD 80.000.000 kepada Grup setelah ditandatangani perjanjian kerja sama.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan denda berupa uang yang diberikan kepada PT Garuda Indonesia (Persero) akibat 'percantik' laporan keuangan telah dilunasi.

Hal itu diungkapkan Deputi Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Jumat (26/7/2019).

"Pihak Garuda sudah bayar," kata dia.

OJK memberikan sanksi denda kepada Garuda sebesar Rp 100 juta untuk perusahaan, denda Rp 100 juta kepada seluruh jajaran direksi, dan denda Rp 100 juta ditanggung bersama oleh jajaran direksi dan komisaris yang menandatangani laporan keuangan tahun 2018.

Menurut Fakhri, seluruh denda sudah dilunasi.

"Sudah (dibayar seluruhnya)," ujar dia.

Saat ini, pihak OJK menunggu laporan keuangan versi terbaru dari pihak Garuda Indonesia.

"Selanjutnya OJK menunggu penyampaian laporan keuangan Garuda ke OJK," ungkap dia.

Manajemen Garuda Indonesia memastikan kondisi perusahaan masih dalam keadaan baik meskipun di 2018 masih mengalami kerugian. Pihaknya menepis adanya isu bakal bangkrut.

"Berita yang sebelumnya terdengar menakutkan Garuda akan bangkrut, saya sampaikan tidak ada," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal dalam publik ekspose di Kantor Pusat Garuda, Tangerang, Jumat (26/7/2019).

Dia juga menjelaskan, sampai hari ini pihaknya tidak pernah telat membayar pinjaman kepada kreditur.

"Semua financial governance terpenuhi dan semua pembayaran kepada kreditur selalu tepat waktu," jelasnya.

Hingga saat ini, bank yang menjadi kreditur ke perusahaan tidak ada yang menyetop fasilitasnya. Artinya keuangan Garuda dinilai masih aman walaupun masih rugi.

Dia juga mengatakan, investor Garuda Indonesia sudah diberi penjelasan mengenai kondisi keuangan perusahaan.

"Investor pun saya sudah bicara, beberapa investor asing. Saya sudah jelaskan," tambahnya.

Hide Ads