China tak mau kalah dengan AS yang sempat meminta perusahaannya untuk hengkang dari negeri tirai bambu tersebut dan memberlakukan tarif balasan untuk barang impor asal AS.
Lalu apa yang terjadi? Berikut berita selengkapnya:
Produk AS yang akan dikenakan tarif tambahan oleh China adalah produk pertanian seperti kedelai, minyak mentah dan pesawat kecil. Tak tanggung-tanggung China juga akan mengenakan tarif untuk mobil dan suku cadang dari AS.
Mengutip Reuters, serangan ini diberikan karena AS kembali mengenakan tarif masuk tambahan senilai US$ 300 miliar untuk barang asal China untuk barang elektronik yang akan berlaku dua tahap pada 1 September dan 15 Desember 2019.
"Keputusan China untuk menerapkan tarif tambahan ini karena dipaksa oleh unilateralisme dan proteksionisme AS," tulis keterangan resmi Kementerian Perdagangan China. Sama dengan AS, tambahan tarif tersebut juga akan berlaku pada 1 September dan 15 Desember tahun ini.
Pihak White House dan kantor dagang AS belum menanggapi terkait serangan balik China soal tarif bea masuk ini.
Sebelumnya kedua belah pihak sudah bertemu dan berdiskusi terkait ketegangan dagang ini pada awal Agustus. Namun kedua negara sepertinya tak siap berkompromi untuk mengambil keputusan damai.
Ketegangan yang makin berlarut-larut ini telah memicu gejolak perekonomian global. Kemudian mengganggu kepercayaan investor dan mendorong bank sentral di seluruh dunia untuk melonggarkan kebijakan dalam beberapa bulan terakhir.
Saham di Amerika Serikat (AS) berjatuhan saat ada pemberitaan terkait serangan balik China terkait tarif ini.
Dalam sebuah wawancara di CNBC, Presiden Federal Reserve Bank Cleveland Loretta Mester mengungkapkan tarif yang diberikan China ini hanya sebagai lanjutan dari ketidakpastian kebijakan dagang yang makin membebani investasi dan sentimen bisnis AS.
Mengutip Reuters, Presiden AS Donald Trump menanggapi kebijakan China itu dengan meminta perusahaan asal AS angkat kaki dan memindahkan operasional mereka dari China.
"Perusahaan-perusahaan besar Amerika kami dengan ini diperintahkan untuk segera mulai mencari alternatif ke China, termasuk membawa pulang perusahaan Anda dan membuat produk Anda di AS. Kami tidak membutuhkan China dan, sejujurnya, akan jauh lebih baik tanpa mereka," ujar Trump, dikutip dari Reuters, Sabtu (24/8/2019)
Trump mengecam balasan yang dilakukan oleh China dengan menambah 5% tarif tambahan untuk U$ 550 miliar barang dari China. Respons ini diumumkan Trump beberapa jam setelah China memberikan tarif sebagai balasan untuk AS sebesar US$ 75 miliar.
Perang dagang kedua negara besar ini disebut makin menciptakan kekhawatiran pada pasar yang akan mempengaruhi perekonomian global. Hal ini tercermin dari harga saham AS yang terus mengalami penurunan di Nasdaq Composite. IXIC turun 3% dan S&P 500 .SPX turun 2,6%. Imbal hasil di AS juga mengalami penurunan karena investor mencari tempat untuk safe haven.
Pengumuman yang dilakukan Trump berpotensi menciptakan gonjang ganjing pada pasar keuangan AS. Pasalnya pengumuman tersebut dilakukan setelah pasar tutup.
Dalam cuitannya Trump menilai langkah balasan China disebut tidak mendukung sistem perdagangan yang adil dan seimbang. Hal tersebut justru menjadu beban yang berat untuk wajib pajak asal AS.
"Sebagai Presiden saya tak bisa membiarkan ini terjadi lagi!" tulis Trump.
Dia mengungkapkan, AS akan memberlakukan bea impor China yang bernilai US$ 250 miliar naik 30% dari sebelumnya 25% yang akan dimulai pada 1 Oktober 2019 atau saat peringatan berdirinya Republik Rakyat China.
Namun, Trump juga mengumumkan kembali kenaikan tarif untuk barang senilai US$ 300 miliar menjadi 15% dari sebelumnya 10%. Tarif ini akan berlaku pada 1 September 2019 hingga 15 September 2019.
Kantor perwakilan dagang AS mengonfirmasi tanggal pemberlakuan tarif tersebut. Pihaknya akan segera mengumumkan ke publik terkait pemberlakuan ada 1 Oktober 2019.
Sementara itu sejumlah asosiasi pengusaha mengaku tak suka dengan kenaikan tarif baru tersebut. Menurut mereka hal tersebut bisa mengganggu iklim bisnis.
"Tak mungkin bisnis bisa berjalan dengan iklim yang seperti ini. Pendekatan lain tak berhasil jika ini terjadi maka tak ada lagi pajak dari bisnis dan konsumen di AS. Kapan ini akan berakhir?," kata wakil presiden asosiasi eceran nasional, David French.
Trump akan bertemu dengan pimpinan negara G7 di Prancis. Ketegangan dagang dengan China akan menjadi salah satu pembahasan dalam pertemuan ini.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan masalah yang harus diwaspadai dari perang dagang ini adalah pengalihan barang impor dari China ke Indonesia.
"Maklum pasar Indonesia 260 juta penduduk yang tingkat konsumsinya cukup dominan. Barang barang dari China yang banjir karena trade war akan perlebar defisit perdagangan sekaligus CAD," jelas Bhima di Jakarta, Sabtu (24/8/2019).
Sementara menurut Direktur riset CORE Indonesia Piter Abdullah eskalasi perang dagang akan mempersulit Indonesia mendorong ekspor. Di sisi lain ada potensi Indonesia menjadi sasaran penetrasi barang-barang impor negara lain yang memanfaatkan keterbukaan perekonomian tanah air. Terhambatnya ekspor dan peningkatan impor mengakibatkan neraca perdagangan akan terus berpotensi defisit.
Ekonom CSIS Fajar Hirawan menilai kondisi global dikhawatirkan menuju ke arah resesi ekonomi. Khususnya terjadi karena adanya beberapa peristiwa ekonomi global seperti perang dagang, kemudian kebijakan ekonomi yang populis di beberapa negara seperti AS.
Dia mengungkapkan, Indonesia juga harus mewaspadai kondisi tersebut. Apalagi jika negara yang mengalami resesi adalah mitra ekonomi strategis Indonesia, seperti AS dan China.
"Meskipun kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih terbilang cukup aman, namun salah langkah sedikit saja dalam merespons gejala resesi ekonomi ini dengan mengambil kebijakan yang populis, seperti pemotongan atau diskon pajak atau insentif fiskal lainnya, maka akan berbahaya dampaknya bagi perekonomian Indonesia," kata Fajar di Jakarta, Sabtu (24/8/2019).
Fajar mengatakan saat ini upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pembangunan inklusif, mempercepat sinkronisasi antara pusat dan daerah terkait dengan Online Single Submission (OSS), serta terus membangun industri berbasis bahan baku lokal dan berorientasi ekspor dibarengi dengan partisipasi aktif Indonesia dalam rantai nilai global (global value chain).
"Dan pembangunan jaringan produksi dunia (global production network), harus terus menjadi prioritas kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia ke depan," jelas dia.
Menurut Fajar, tidak boleh ada celah sedikit pun bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan ekonomi populis yang justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia.
Bhima menambahkan ada juga dampak positif untuk Indonesia, yakni terbukanya peluang ekspor. Hal ini karena barang AS yang bea masuknya ditambahkan oleh China US$ 75 miliar seperti komponen otomotif, produk pertanian seperti kedelai, etanol dan daging sapi.
"Indonesia punya banyak manufaktur di komponen otomotif, dan bisa mengisi kekosongan minyak nabati China yang sebelumnya di-supply AS," imbuh dia.
Selain itu produksi sawit dalam bentuk CPO Indonesia tahun 2018 saja mencapai 43 juta ton, dan sekarang over supply.
"Saran saya segera kirim tim promosi dan negosiasi dagang untuk ajak pengusaha China serap lebih banyak produk Indonesia," tutur Bhima