-
Pengusaha menolak tudingan kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh industri sawit yang membuka lahan dengan cara membakar. Pengusaha mengatakan industri tidak melakukan itu.
Mereka menyatakan ada satu aturan yang masih memperbolehkan membuka lahan dengan pembakaran hutan. Bisa jadi aturan ini yang membuat kebakaran kerap terjadi.
Pengusaha pun minta agar aturan tersebut direvisi. Apa sih aturannya? Simak jawabannya hanya di
Menurut Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, tidak benar lahan yang terbakar untuk pembukaan kebun kelapa sawit.
"Kalau untuk menyebabkan deforestasi dan merusak lahan hutan saya rasa itu tidak benar. Karena yang terbakar ini lahan semak belukar, notabene ini sudah tidak ada tanaman hutannya, kalau dilihat di televisi itu semuanya adalah lahan semak belukar bukan hutan alam murni," ucap Eddy kepada detikcom, Jumat (20/9/2019).
Eddy menegaskan untuk pengusaha sawit sendiri tidak mungkin kembali lagi membuka lahan hutan untuk kebun, apalagi dibakar. Pasalnya, sudah ada aturan yang membatasi izin membuka kebun sawit.
"Rasanya tidak mungkin itu dibakar, kemudian korporasi urus izinnya. Aturannya kan udah nggak bisa, orang tidak boleh kok malah buat kebun baru, korporasi nggak gitu lah. Bisa dicabut izinnya dan dendanya besar," lanjutnya.
Eddy menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat adat diperbolehkan membakar lahan.
"Kenapa karhutla berulang? Satu, pembakaran masih diperbolehkan, regulasi masih memperbolehkan masyarakat adat dengan pertimbangan kearifan lokal boleh membakar dua hektar per KK (kartu keluarga), itu ada di UU 32 pasal 69 ayat 2," kata Eddy.
Pasalnya, untuk pembukaan lahan menggunakan metode tanpa pembakaran memang mahal harganya. Khususnya untuk rakyat kecil apalagi masyarakat adat.
"Untuk land clearing tanpa bakar dengan mekanis alat berat itu butuh Rp 6 juta per hektar. Nah masyarakat kalau individu cuma sehektar dua hektar cukup mahal juga, karena untuk mobilisasi. Kan kalau perusahaan itu lebih murah karena modelnya hamparan 50-100 hektar," kata Eddy.
Eddy menyatakan undang-undang ini harus direvisi karena masyarakat akan terus membakar kalau tidak dilarang.
"Ini kalau regulasinya tidak direvisi maka akan terus-terusan begini, karena mereka memang diperbolehkan. Kuncinya ini harus dilarang bakar," kata Eddy.
Mengutip UU no 32 tahun 2009, pada pasal 69 ayat 1 dijelaskan pembakaran lahan dengan cara dibakar dilarang. Namun, pada pasal 69 ayat 2 larangan itu diberi pengecualian untuk masyarakat adat.
"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing," bunyi pasal 69 ayat 2.