Apa yang Berubah Usai Inggris Pisah dengan Uni Eropa?

Apa yang Berubah Usai Inggris Pisah dengan Uni Eropa?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Minggu, 02 Feb 2020 10:07 WIB
KTT Uni Eropa, Penentuan Brexit Hingga Konflik Suriah
Ilustrasi Brexit (Foto: DW (News))
Jakarta -

Sejak 1 Februari 2020 kemarin, Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa (UE) setelah lebih dari tiga tahun referendum yang membuat negara itu terpecah belah.

Dengan resminya Brexit (Britain Exit) ini pun mengakhiri pertikaian politik yang telah bergulir selama bertahun-tahun, bahkan kadang hingga melumpuhkan kota Westminster. Peristiwa ini mengakhiri dualisme kepemimpinan antara United Kingdom (UK) dengan UE.

Dilansir dari CNN, Sabtu (1/2/2020), UK adalah negara pertama yang menarik diri dari UE dalam sejarah. Hal ini juga menutup bagian selama 47 tahun menjadi anggota negara UE.

Dalam Pesta Brexit di Parliament Square, kota Westminster, Perdana Menteri Britania Raya Boris Johnson menyerukan pesan kemerdekaan 1 jam sebelum kerajaan tersebut resmi ke luar dari anggota UE. Johnson mengatakan keputusan bulat Brexit ini sebagai lembar baru dalam pidato kenegaraannya.

Johnson berjanji setelah negara ini resmi meninggalkan UE, maka akan lahir perubahan secara nasional, dan itu nyata. Ia bahkan menjanjikan seluruh warga negaranya keadilan di antara empat kerajaan itu.

Lalu, apa yang berubah dengan cerainya Inggris dari UE ini?


1. Brexit, Lembaran Baru Bagi Inggris

Meski telah keluar dari UE, Britania Raya masih harus menunggu 11 bulan ke depan untuk transisi hingga akhirnya UK sepenuhnya bebas dari blok UE. Masih ada negosiasi perdagangan yang berkepanjangan dengan UE.

"Saat inilah di mana fajar menyingsing dan tirai tersibak untuk babak baru dalam drama nasional terbesar kita," kata Perdama Menteri Inggirs Boris Johnson.

Ia menuturkan, kekuatan baru atau kedaulatan yang direbut kembali ini adalah perubahan besar bagi mereka.

"Baik itu dengan mengendalikan imigrasi, atau menciptakan pelabuhan yang bebas, atau membebaskan industri perikanan kami, juga melakukan transaksi perdagangan bebas. Atau hanya membuat Undang-undang (UU) dan aturan kami untuk kepentingan rakyat negara ini," paparnya.

"Dan tentu saja saya pikir itu adalah hal yang benar dan sehat serta demokratis untuk dilakukan. Ini semua adalah kekuatan dan langkah yang terpuji. UE telah berkembang lebih dari 50 tahun ke arah yang tidak lagi sesuai dengan negara ini. Dan itu adalah yang dibenarkan oleh orang-orang yang menyuarakan ini," sambung dia.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Parlemen UE dari Inggris, Nigel Farage yang merupakan salah satu orang yang menyuarakan Brexit ini mengatakan mandat ini adalah aksi demokrasi terbesar yang pernah dilakukan negaranya.

Bahkan, ia dengan tegas menyatakan bahwa Britania Raya tak perlu lagi memenuhi perintah dari UE.

Farage mengatakan bahwa meskipun dia anti-UE, dia tidak menentang negara-negara Eropa. Bahkan ia berbagi visi untuk benua yang disebutnya sebagai negara-negara bebas, berdaulat, demokratis.


2. Apa yang Berubah dari Inggris yang Cerai dari UE?

Di masa transisi hingga 11 bulan ke depan, UK masih harus menaati kebijakan dan pengadilan UE. Dalam masa transisi ini, UK harus mencari kesepakatan terbaik dengan UE. Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam menilai, masa transisi ini justru akan menimbulkan ketidakpastian terhadap perekonomian dunia.

"Kesepakatan lebih lanjut dari Brexit itu belum dipastikan. Ya seperti apa posisi dari UK itu setelah Brexit. Bagaimana posisinya, bagaimana hubungannya dengan perekonomian Eropa. Kesepakatan-kesepakatan itu belum final. Yang sudah disepakati itu Inggris ke luar dari Eropa. Tapi bagaimana keluarnya itu belum disepakati. Mekanisme seperti apa. Itu lah yang menimbulkan ketidakpastian," kata Piter kepada detikcom, Sabtu (1/2/2020).

Selain itu, menurutnya lalu lintas perdagangan, tenaga kerja, pelajar, dan sebagainya akan terganggu. Pasalnya, di bawah aturan UE, warga UK bebas bepergian ke Benua Eropa itu tanpa harus memiliki visa. Begitu juga dengan bebasnya pergerakan modal, barang, dab jasa.

"Berarti kan akan banyak sekali ketentuan-ketentuan yang harus dilalui setiap terjadi aktivitas perdagangan, atau lalu lintas tenaga kerja, antara Inggris-eropa. Karena ini belum ada kejelasan, berarti itu ada ketidakpastian," jelas Piter.

Atas ketidakpastian ini, menurut Piter akan mengarah kepada sentimen negatif atas perekonomian dunia. Ia bahkan mengungkapkan, banyak perusahaan internasional yang memindahkan markasnya dari Inggris ke Eropa.

"Yang pasti memunculkan sentimen negatif. Karena global pasti dia akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi UK maupun Eropa. Ada keyakinan itu. Misalnya sekarang di Inggris, banyak perusahaan-perusahaan internasional yang sudah mengalihkan basis produksi atau kantornya dari Inggris ke Eropa. Berarti kan bagi inggris itu dampaknya negatif," imbuh dia.


3. Masih Ada Kisruh Internal, Ekonomi Inggris Terancam?

Resminya Brexit masih diiringi dengan peristiwa geopolitik yang datang dari Pemimpin Partai Nasional Skotlandia, Nicola Sturgeon.

Pada Sabtu (1/2/2020) pukul 6:01 GMT, Sturgeon menuliskan sebuah cuitan di akun Twitternya @NicolaSturgeon bahwa ia bersumpah akan membawa Skotlandia kembali ke UE sebagai negara yang independen.

Menanggapi pernyataan keras Sturgeon, Perdana Menteri United Kingdom (UK) Boris Johnson menolak untuk memberikan Skotlandia hak kemerdekaannya sendiri. Pengamat ekonomi dari Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam memprediksi ada goncangan tersendiri di internal UK.

"Bahkan di UK sendiri ada ketidakpastian dengan ketegangan geopolitik juga. Karena misalnya Skotlandia kan sudah mengatakan dia lebih memilih untuk bergabung dengan Eropa. Nah seperti apa nanti? Bisa jadi ada goncangan sendiri di UK. Nah kalau menurut saya inilah yang paling besar dampaknya terhadap perekonomian global," kata Piter kepada detikcom, Sabtu (1/2/2020).

Piter mengatakan, arahnya perekonomian Inggris ini masih 'kasar', atau ditebak-tebak. Apakah nantinya UK akan memiliki kesepakatan terbaik dengan UE, sehingga baik Inggris dan kerajaan lainnya 'bahagia' menerimanya, atau pun sebaliknya.

"Bukan berarti UK pertumbuhan ekonominya turun, bukan. Karena itu juga belum dipastikan. Apakah itu nanti pertumbuhan ekonomi Inggris akan jatuh setelah Brexit juga belum dipastikan. Karena sekali lagi ini masih menebak-nebak arahnya ke mana," imbuh Piter.

Namun, ia berpendapat ada peluang bagi UK menemukan kesepakatan positif dengan UE. Meski akan menjalani kesepakatan utamanya perdagangan secara parsial, menurut Piter peluang UK untuk maju itu ada. Jika hukum alam, atau sikap saling membutuhkan antara UK dengan UE dikedepankan, tentunya dua pihak akan mengantongi kesepakatan yang untung meski tak lagi dalam satu 'rumah'.

"Kalau saya meyakini kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan antara Eropa dan Inggris itu pasti akan terjadi. karena itu hukum alam akan mengarahkan ke sana," tandas Piter.



Simak Video "Video: BI Sebut Daya Tahan Ekonomi RI Lebih Tinggi Dibanding AS-China"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads