Libur Tambah 4 Hari, Pengusaha Protes

Libur Tambah 4 Hari, Pengusaha Protes

Anisa Indraini - detikFinance
Selasa, 10 Mar 2020 07:30 WIB
Memasuki libur panjang sejumlah terminal bus antar kota, termasuk Kampung Rambutan ini mulai dibanjiri oleh para penumpang yang akan pulang ke kampung halaman lebih awal.
Ilustrasi Foto: Rengga Sancaya/detikcom

Kamar Dagang Indonesia (Kadin) mengaku tak dilibatkan terkait penambahan empat hari libur atau cuti bersama untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai swasta. Hal itu dianggap dapat mengganggu rencana bisnis yang sudah dibangun oleh berbagai pelaku usaha di sektor lain selain sektor pariwisata.

"Sepengetahuan saya kami tidak diajak bicara. Kami memahami bahwa penambahan cuti bersama ini dilakukan dengan motif mendorong kegiatan ekonomi konsumtif dan menggerakkan pariwisata. Itu tujuan yang baik. Namun, perlu diperhatikan juga penambahan cuti ini sifatnya tiba-tiba sehingga mengganggu planning, kinerja dan target perusahaan di berbagai sektor lain selain pariwisata karena periode kerja normal menjadi lebih singkat," ujar Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani kepada detikcom, Senin (9/3/2020).

Shinta berpendapat, keputusan itu bakal mengganggu produktivitas bisnis yang seharus berjalan normal.

"Di sebagian besar sektor non pariwisata, akan ada produktivitas yang dikorbankan sementara beban biaya tenaga kerja terus berjalan sebagai fixed cost bagi perusahaan," paparnya.

Apabila sebuah perusahaan ingin tetap beroperasi di saat cuti bersama itu, maka ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) ikut angkat suara terkait penambahan empat hari libur atau cuti bersama untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai swasta. Aprindo mengakui rencana itu memang berpotensi meningkatkan konsumsi masyarakat.

"Bahwa memang dari sisi kami peritel, karena kami bukan produksi, bukan sisi hulu tapi dari hilir, kalau liburan itu akan memberikan dampak untuk orang berbelanja," ujar Ketua Umum Aprindo Roy Mande kepada detikcom, Senin (9/3/2020).

Roy mengungkapkan setiap hari libur selalu ada peningkatan konsumsi masyarakat di sektor ritel. Terutama untuk libur menjelang lebaran, peningkatan konsumsi masyarakat bisa mencapai 30% dari konsumsi normalnya. Sehingga, penambahan libur sebenarnya tak banyak berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, meski memang sedikit berpotensi.

"Sebenarnya tergantung juga, liburnya kapan, kalau liburnya di awal atau akhir bulan itu posisinya meningkat dibanding tengah-tengah bulan, karena biasanya di saat-saat itu masyarakat menerima income, jadi tidak hanya karena tambahan libur. Nah kalau menjelang lebaran itu bisa meningkat sampai 30%, bahkan dari hari atau minggu sebelumnya itu sudah meningkat," paparnya.

Meski sedikit diuntungkan, akan tetapi tetap ada beban biaya yang harus dikeluarkan karena tambahan libur tersebut. Salah satunya terkait biaya lembur bagi tenaga kerja yang tetap berjaga selama libur.


"Sebenarnya kalau kita dipanggil untuk berdiskusi kita ingin menanyakan terkait upah lembur tenaga kerja, soalnya begini, kalau menambah begitu kan, artinya kita menambah jam kerja, yang mestinya libur jadi tidak libur yang bertugas di toko, itu bagaimana relevansinya dengan peraturan ini, artinya bisa saja ada tambahan peraturan yang menuliskan bahwa masa kerja progresif adalah pada H-1 saja H+1 kan gitu, jadi kita kan jelas, sehingga dengan adanya tambahan liburan tidak menambah biaya produksi atau biaya lembur, jadi sebenarnya di satu sisi memberatkan untuk kami karena peningkatan biaya produktifitas ini," paparnya.

Untuk itu, Roy mengimbau kepada pemerintah agar ke depannya dapat lebih melibatkan para pelaku usaha dan pelaku ritel terkait kebijakan serupa agar tak merugikan salah satu pihak.



Simak Video "Video: Kepadatan Arus Balik Libur Panjang di Tol Cipularang Malam Ini"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads