Saat ini, dampak Corona utamanya sudah menyentuh para petani swadaya yang tak tergabung dalam organisasi kelapa sawit. Sehingga, para petani swadaya ini harus berjuang sendiri dalam menjual hasil panennya. Pada akhirnya, kelompok tersebut hanya bergantung pada hasil penjualan sawit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
"Petani swadaya hanya mengandalkan sawit sebagai sumber kehidupan. Ini terancam kekurangan nutrisi. Mereka hanya berpikir bahwa kalau tidak jual sawit, tidak punya uang, dan saya tidak bisa makan, saya tidak bisa beli beras. Nah ini yang paling rentan di kelapa sawit," ungkap Rukaiyah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, ketika harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit turun saja, ada petani yang hanya memakan mi instan untuk sarapan, makan siang, hingga makan malam. Apalagi jika hasil panen yang terancam tak terserap.
"Saya pernah melihat petani sawit itu punya lahan 2 hektare (Ha), ketika harga turun itu hanya makan Indomie, itu saja dibagi 3, pagi, siang, sore, malam. Sarapan pagi ya Indomie. Jadi itu betul-betul mengkhawatirkan kalau ini terjadi," imbuh dia.
Menurutnya, petani swadaya memang merupakan korban Corona terdepan dibandingkan petani lainnya. Pasalnya, penyerapan hasil panen petani swadaya ini bukan jadi prioritas pabrik.
Sementara itu, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Yusro Fadil menuturkan, buruh sawitlah yang lebih rentan akan kelaparan. Pasalnya, buruh ini tak memiliki lahan seperti para petani.
"Bahkan istilahnya mereka ini lebih baik mati karena Corona, daripada mati karena kelaparan.Karena kondisi hari ini ada beberapa daerah itu sangat berpotensi sekali mereka tidak makan. Kalau petani sawit masih aman, tapi buruh sawit ini yang akan terganggu," urai Yusro.