Dengan memotong rantai distribusi, masyarakat diharapkan bisa menerima gula langsung dari produsen dengan harga sesuai acuan. Namun, jika rantai distribusi selama ini sudah tercipta sangat panjang, maka penindakan ke para pedagang yang menjual gula dengan harga tinggi itu kurang efektif untuk menurunkan harga.
"Ada banyak yg di lapangan beli dari D-1, D-2 itu belinya sudah mahal. Jangan sampai pedagang-pedagang di tengah ini sudah belinya mahal harus jual murah. Kalau kena penalti dengan hukum, kan kasihan, kan mereka mau untung juga. Masa belinya dari distributor sudah Rp 14.000-15.000/kg, disuruh jual Rp 12.500/kg?" urainya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengungkapkan, stok gula di pasar-pasar tradisional memang terus ada, namun dijual dengan harga tinggi. Menurut Yadi, hal ini yang membuat stok gula di ritel-ritel modern selalu kosong, karena tak bisa menjual di atas harga acuan.
"Ini black market yang muncul. Artinya tetap di pasar-pasar tradisional yang ada, tetapi di pasar-pasar modern itu malah jarang. Nah saran dari kami sebetulnya segera saja dipercepat penggelontoran dari sumbernya," tutur Yadi.
Yadi menegaskan pemerintah harus tetap cermat dalam mengawasi penyaluran gula sampai ke konsumen. Ia berpendapat, jika langkah itu sudah dilakukan maka pemerintah dapat mengetahui secara detail penyebab kenaikan harga gula, serta solusi apa yang harus diberikan.
"Kita jangan mencari kesalahan, mari kita selesaikan. Kalau nggak ya nggak akan selesai-selesai masalah gula ini," kata Yadi.
Simak Video "Kenaikan Harga Gula Jadi Rp 17.500/Kg Diperpanjang"
[Gambas:Video 20detik]
(eds/eds)