Dunia Usaha 'Berdarah-darah' Karena Corona, Ini Buktinya

Dunia Usaha 'Berdarah-darah' Karena Corona, Ini Buktinya

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 14 Jul 2020 08:01 WIB
Produk tekstil impor dari China makin deras masuk ke Indonesia. Para pengusaha industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jabar pun mengeluh karena terancam bangkrut.
Ilustrasi/Foto: Rico Bagus
Jakarta -

Pandemi virus Corona COVID-19 menekan dunia usaha. Hal ini sejalan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan demi menekan penyebaran virus Corona.

Kebijakan ini turut mengganggu dunia usaha. Bank Indonesia (BI) merilis data terkait produksi dan industri.

Dari laporan Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) BI menyebut ini tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) sebesar -35,77% pada kuartal II-2020. Bank sentral juga mencatat angka ini terkontraksi lebih dalam dibandingkan kuartal II-2020 -5,56%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penurunan kegiatan dunia usaha terjadi pada seluruh sektor ekonomi dengan penurunan terdalam pada sektor pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa," tulis laporan BI, Senin (13/7/2020).

Menurut BI hal ini disebabkan oleh penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat pandemi COVID-19. Akibat penurunan kegiatan dunia usaha ini, kapasitas produksi terpakai dan penggunaan tenaga kerja pada kuartal II-2020 tercatat lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.

ADVERTISEMENT

Kemudian untuk kondisi likuiditas dan rentabilitas dunia usaha juga menunjukkan penurunan pada kuartal II-2020, dengan akses kredit perbankan yang lebih sulit.

Selain itu pada kuartal II-2020, responden memprakirakan kegiatan dunia usaha akan meningkat didukung oleh perbaikan seluruh sektor, dengan SBT sebesar 0,52%.

"Berdasarkan sektor ekonomi, peningkatan kegiatan dunia usaha diprakirakan terutama pada sektor pertambangan dan penggalian dan sektor jasa," jelas dia.

Kemudian peningkatan pada sektor pertambangan dan penggalian seiring dengan cuaca yang mendukung dan permintaan yang diperkirakan mulai meningkat.
Sementara itu, peningkatan pada sektor jasa terutama pada subsektor administrasi pemerintahan didorong oleh berbagai program pemerintah pusat dan daerah dalam penanggulangan COVID-19.

Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan bahwa pengusaha pabrik sepatu masih enggan membuka operasional pabrik. Hal ini membuat kinerja sektor industri alas kaki turun.

Alasan Eddy karena kekhawatiran penyebaran virus Corona. Salah satunya karena protokol kesehatan yang rumit, Eddy mengatakan kebanyakan pabrik memilih untuk tutup.

"Sekarang ini kita kebanyakan tak bisa bekerja karena pabrik kita ini prosedural protokol kesehatan ini rumit sekali. Jadi mau tidak mau kebanyakan pabrik saat PSBB yang lebih baik tutup daripada diperiksa ini itu, dan kita juga takut, karena COVID aja sih masalahnya," kata Eddy kepada detikcom, Senin (13/7/2020).

Dia menjelaskan banyak pabrik yang mesti mengatur ulang pekerja dan alatnya untuk mengikuti protokol kesehatan. Mungkin pengaturan ulang ini bisa dilakukan pabrik besar, tapi menurutnya pengaturan ini membebani pabrik yang kecil. Oleh karena itu banyak pabrik kecil yang terpaksa tutup karena tidak bisa melakukan pengaturan ulang.

"Jadi gini, pabrik sepatu itu urutannya kan banyak harus ada disinfektan, hand sanitizer, kerja harus 1 meter. Nah pabrik kita ini disusun mesin jahitnya aja nggak 1 meter, maka harus diatur pekerjanya selang-seling. Kemudian kita harus rapid test lah harus dites ini itu lah," ungkap Eddy.

"Untuk industri menengah ke bawah itu jadi nggak mampu ngikutin. Belum lagi Pemda periksa ini periksa itu," katanya.


Hide Ads