Dia menjelaskan, jika semua skenario Menteri BUMN dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati itu berjalan, maka negara akan berbagi kekuasaan dengan swasta, termasuk investor asing, dalam seluruh rantai usaha Pertamina. Mulai dari hulu, pengolahan, distribusi dan pemasaran, hingga pasar keuangan. Dalam hal ini, pihaknya berpandangan bahwa kedaulatan energi nasional dipertaruhkan.
Kuasa Hukum FSPPB Janses Sihaloho dari Firma Hukum Sihaloho & Co, mengatakan privatisasi Subholding Pertamina sangat berdampak bagi masyarakat luas. Penentuan harga BBM dan LPG misalnya, tidak lagi akan mempertimbangkan daya beli masyarakat luas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena status kepemilikannya sudah berubah, kebijakan tidak lagi murni ditentukan negara. Pasti akan dipengaruhi kepentingan pemegang saham lainnya, termasuk investor asing," jelasnya.
Menurut Janses, proses privatisasi Subholding Pertamina yang diawali dengan keputusan Menteri BUMN dan Keputusan Direktur Utama Pertamina tentang Struktur Organisasi Dasar PT Pertamina, ditengarai kuat memanfaatkan celah hukum pada pasal 77 UU BUMN.
Pasal tersebut, lanjut dia, secara tegas melarang induk perusahaan BUMN (Perusahaan Persero) tertentu, termasuk Pertamina, untuk diprivatisasi. Namun, terhadap anak perusahaan persero BUMN, pasal itu memiliki makna ambigu dan multi tafsir sehingga membuka peluang untuk diprivatisasi.
Atas dasar itu, FSPPB mengajukan uji materil terhadap Pasal 77 UU BUMN ke mahkamah Konstitusi pada Rabu ini. FSPPB mengimbau, sekalipun Pasal 77 UU BUMN memiliki celah hukum, seharusnya para pengambil keputusan tidak memanfaatkannya untuk swastanisasi BUMN yang mengusai hajat hidup orang banyak.
"Sudah seharusnya kita semua, apalagi pejabat negara, ikut menjaga kedaulatan energi nasional demi anak cucu. Bukan justru memanfaatkan celah-celah hukum demi kepentingan tertentu," tambahnya.
Simak Video "Video: Prabowo Jadi Dewan Kehormatan PSSI, Erick Bahas Isu Intervensi Pemerintah"
[Gambas:Video 20detik]