Bansos Dinilai Tak Mempan Dongkrak Ekonomi RI di Kuartal II

Bansos Dinilai Tak Mempan Dongkrak Ekonomi RI di Kuartal II

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 04 Agu 2020 12:52 WIB
Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Pemerintah menyalurkan paket bansos masing-masing sebesar Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan sebagai upaya untuk mencegah warga tidak mudik dan meningkatkan daya beli selama pandemi COVID-19 kepada warga yang membutuhkan di wilayah Jabodetabek. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
Bansos/Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Jakarta -

Pemberian bantuan sosial (bansos) berupa uang tunai hingga sembako dinilai tidak berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, bansos juga tidak berdaya menahan penurunan daya beli atau tingkat konsumsi rumah tangga masyarakat di kuartal II-2020.

Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual menilai bansos yang diterima masyarakat sangat terbatas atau belum mencakup seluruh kebutuhan dari masyarakat.

"Bansos terbatas kebutuhan pokok, mungkin ke depan bisa dipikirkan cash transfer, di India dikirim ke account masing-masing, di Amerika ada cheque. Kalau bansos itu ada keterbatasan," kata David saat dihubungi detikcom, Jakarta, Selasa (4/8/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial pada program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 203,90 triliun. Anggaran ini terbagi ke beberapa program yang bertujuan menjaga daya beli masyarakat seperti PKH, Kartu Sembako, Bansos Sembako di Jabodetabek, Bansos tunai di non Jabodetabek, Kartu Pra Kerja, Diskon Listrik, hingga BLT dana desa.

Menurut David seluruh program tersebut perlu diubah skemanya. Di tengah pandemi seperti ini, yang dibutuhkan masyarakat lebih kepada uang tunai guna memenuhi kebutuhan pokok dan lainnya.

ADVERTISEMENT

"Bisa saja ada kebutuhan sekolah anak, kalau cash transfer lebih efektif dan bisa contoh negara lain," ujarnya.

Sementara Vice President Economist PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede mengatakan penerapan PSBB dan masyarakat kelas menengah ke atas yang masih menahan belanja membuat tingkat konsumsi rumah tangga tidak berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi di kuartal II.

Padahal, tingkat konsumsi atau daya beli masyarakat memiliki kontribusi sekitar 56% terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) atau ekonomi nasional.

"Bagi konsumen masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah terkena dampak yang signifikan dari kebijakan PSBB di berbagai daerah, yakni penurunan pendapatan karena sebagian masyarakat berpenghasilan menengah bekerja di sektor non formal tidak dapat mencari nafkah," jelasnya.

"Sebagian yang bekerja di sektor formal pun mengalami PHK atau dirumahkan oleh perusahaan sehingga pada akhirnya mendorong penurunan pengeluaran," tambahnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Dia juga menilai, pelonggaran PSBB yang dilakukan pemerintah belum bisa mendongkrak tingkat konsumsi atau daya beli masyarakat. Sebab, perilaku konsumen atau masyarakat tetap menunda belanja.

Kendati demikian, Josua berharap bisa mempercepat proses penyerapan anggaran PEN yang dialokasikan sekitar Rp 695,2 triliun demi menyelamatkan ekonomi nasional dari zona negatif.

"Pemerintah perlu mempercepat realisasi penyaluran jaring pengaman sosial yang berupa bantuan tunai dan bansos lainnya, supaya daya beli masyarakat dapat meningkat sehingga mendukung pemulihan ekonomi nasional," ungkapnya.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2020 pada esok hari (5/8). Banyak yang memprediksi ekonomi nasional akan minus, salah satunya Kementerian Keuangan yang memasang angka di level -4,3% dari rentang -3% sampai 5,1% di kuartal II tahun ini.



Simak Video "Video: Penyebab 3 Juta Keluarga Belum Terima Bansos"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads