Strategi Perdagangan RI Dinilai Belum Jelas, Harusnya Bagaimana?

Strategi Perdagangan RI Dinilai Belum Jelas, Harusnya Bagaimana?

Soraya Novika - detikFinance
Rabu, 12 Agu 2020 14:38 WIB
Neraca perdagangan pada Oktober 2017 tercatat surplus US$ 900 juta, dengan raihan ekspor US$ 15,09 miliar dan impor US$ 14,19 miliar.
Ilustrasi/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Indonesia dinilai belum memiliki strategi perdagangan internasional yang jelas. Fokus orientasinya belum jelas antara ekspor atau impor.

Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian, negara-negara maju sudah memiliki strategi perdagangan yang jelas. Meski hasilnya positif (surplus) ataupun negatif (defisit).

"Indonesia belum jelas strategi perdagangan ekspor oriented atau impor oriented," ujar Dzulfian dalam diskusi secara virtual, Rabu (12/8/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mencontohkan, Jerman dan Jepang memilih strategi perdagangan dan pembangunan ekonomi yang berbasis ekspor. Kedua negara tersebut mendorong pelaku usaha untuk membidik pasar-pasar luar negeri.

"Jadi wajar kalau neraca perdagangan kedua negara itu positif," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Sedangkan Inggris, neraca perdagangan negatif (defisit). Sebab, strategi negara Ratu Elizabeth menargetkan impor dengan kualitas tinggi namun harga rendah.

"Inggris bisa tetap menjadi negara besar. karena Inggris menargetkan impor-impor barang yang berkualitas dengan harga yang murah, sehingga yang diuntungkan konsumen atau penduduknya." tambahnya.

Sedangkan Indonesia, tidak jelas arahnya keduanya sama-sama tidak diarahkan secara matang.

"Nah pertanyaan, Indonesia mau memilih yang yang mana, ekspor oriented atau impor oriented?" imbuhnya.

Untuk itu, Dzulfian berharap pemerintah bisa segera tegas menentukan strategi perdagangannya.

Selain itu, menurut Dzulfian, sudah saatnya Indonesia menggenjot perdagangan internasional berbasis nilai, setelah sekian lama perdagangan RI didominasi oleh komoditas barang mentah yang nilai tambahnya rendah.

"Salah satunya adalah dengan meningkatkan kerja sama dengan negara lain, khususnya menarik investor yang mau berinvestasi dalam rantai nilai ini," tuturnya.

Dzul mencontohkan, untuk produk kelapa sawit, selama ini Indonesia hanya menjadi basis perkebunan saja untuk diambil bijinya dan kemudian diolah menjadi minyak mentah sawit, yang artinya hanya ada satu nilai tambah di sana. Padahal, rantai nilai produk sawit masih panjang, di mana produk tersebut memiliki turunan-turunan produk lainnya yang nilai tambahnya lebih tinggi.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Untuk itu, penting mencari investor yang berkenan memproduksi produk minyak sawit mentah menjadi berbagai produk yang memiliki nilai tambah di Indonesia.

"Kalau tidak, Indonesia akan terjebak dalam komoditas rendah, nilai tambah rendah, dan kita tidak akan bisa naik kelas menjadi negara maju seperti negara lain," katanya.

Di era rantai pasok global, para investor di negara-negara maju dapat membangun kantor dan pusat pengembangannya di negara asal mereka, namun proses produksi dilakukan di negara lain.

"Itulah kenapa Apple meletakkan kantor pusat, pusat penelitian, yang memang nilai tambahnya tinggi itu ada di Silicon Valley, di negaranya. Tapi, untuk yang nilai tambahnya rendah, seperti proses produksinya ada di China, bahkan Vietnam," tambahnya.

Hal tersebut, katanya merupakan peluang bagi Indonesia untuk menarik investor asing meletakkan proses produksinya di tanah air.



Simak Video "Video: Pedagang di Chinatown San Francisco Kena Dampak Tarif 145%"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads