Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah membeberkan dampak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terutama di Jakarta yang kembali diperketat dan resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19. Para peritel bisa merugi hingga Rp 200 triliun.
"Kalau angka, kami itu setahun sekitar Rp 400 triliun. Kalau pun hanya 50% ya omzetnya turun Rp 200 triliun, ya kerugiannya di situ. Tapi kan biayanya nggak bisa utuh," kata Budi dalam webinar yang bertema Dalam Keterpurukan Penyewa dan Pusat Perbelanjaan Menghadapi Resesi Ekonomi, Senin (28/9/2020).
Menurut Budi, ketika masa transisi PSBB di periode Juni-Agustus 2020, peritel mulai mengais omzetnya karena mal sudah boleh buka meski dibatasi pengunjungnya 50%. Namun, ketika PSBB Jakarta diperketat kembali, para pengusaha kembali pesimistis.
"Di bulan Juni-Agustus kita mulai pengembalian omzet, pencicilan terhadap semua pemasok juga kami menyetor, kami harapkan ke depan bisa jadi lebih baik. Tapi pada bulan 9 di Jakarta yang merupakan 50% kekuatan ekonomi ritel di pusat belanja, harus menghadapi adanya PSBB jilid ketiga, dan itu restoran-restoran tidak bisa dine in. Itu juga berpengaruh sangat besar ke tenant lain, karena tidaklah mungkin orang ke mal tetapi terus tidak ada yang ke kafe. Mereka akhirnya mengurungkan ke malnya," papar Budi.
Pengusaha Mal Masih Ditagih Pajak
Meski sudah menanggung kerugian besar, namun para pengusaha mal masih harus menanggung pajak yang besar. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengaku masih harus memenuhi kewajiban berbagai pajak, terutama yang ditetapkan pemerintah daerah (Pemda) seperti di DKI Jakarta, padahal operasional mal dibatasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang kami minta ada tiga jenis dari pemerintah pusat yaitu pembebasan PPh dan PPN, kedua dari Pemda itu pembebasan PBB, pajak reklame dan parkir. Ini kenapa kami minta karena meskipun pusat perbelanjaan tutup dan tidak operasional secara penuh, tapi tetap bayar pajak reklame dan PBB," kata Alphonzus.
Kembali ke Budi, ia mengatakan kewajiban-kewajiban pajak itu bisa memakan biaya operasional hingga 25%.
"Kalau untuk porsinya, secara persentase costing dari sewa maupun biaya lainnya bisa mencapai, selain gaji yang terbesar dan operasional, itu bisa di 20-25% dari costing kami," terang Budi.
Menambahkan kembali, Alphonzus mengatakan para pengusaha sangat memerlukan stimulus pajak tersebut, misalnya dalam bentuk pembebasan pajak.
"Meskipun pusat perbelanjaan tutup dan tidak operasional secara penuh, tapi tetep bayar pajak reklame dan PBB. Kalau dibebaskan maka tentu ini akan langsung manfaat kepada pusat belanja untuk bisa atur cash flow supaya tidak defisit, kalau tidak defisit bisa bantu meminimalkan PHK, bantu penyewa," jelas Alphonzus.
Simak Video "Video: Walkot Bekasi Pastikan Banjir di Mega Mall Bukan Karena Tanggul Jebol"
[Gambas:Video 20detik]