PSBB Ketat di DKI Bikin Ekonomi Tersendat

PSBB Ketat di DKI Bikin Ekonomi Tersendat

Trio Hamdani - detikFinance
Selasa, 20 Okt 2020 06:15 WIB
Pandemi Corona membuat sejumlah negara masuk jurang resesi. Indonesia termasuk yang diprediksi menyusul negara-negara tetangga seperti, Singapura Malaysia hingga Thailand.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 14 September lalu melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara ketat yang kemudian diperpanjang hingga 11 Oktober.

Rupanya hal tersebut dinilai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuat pemulihan ekonomi tertahan. Dia menjelaskan sebenarnya aktivitas perekonomian sudah mengalami pemulihan yang cukup solid pada periode Juli-Agustus hingga minggu kedua September.

"Kemudian kita lihat trennya agak melemah lagi sesudah adanya PSBB (ketat)," kata dia dalam Capital Market Summit & Expo 2020 yang diselenggarakan secara virtual, Senin (19/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan walaupun PSBB ketat hanya berlangsung selama beberapa pekan tapi cukup membuat pemulihan ekonomi tertahan.

Dari data yang dia miliki, mobilitas masyarakat terutama aktivitas di tempat tertentu sudah ada tren perbaikan antara Juli hingga Agustus, dan itu bertahan di awal bulan September. Lalu begitu PSBB diperketat, aktivitas masyarakat langsung drop.

ADVERTISEMENT

"Meskipun sekali lagi saya sampaikan di bulan September karena dua minggu terakhir dilakukan adanya kenaikan jumlah COVID, terutama di daerah DKI yang kemudian menyebabkan kita melakukan pengetatan kembali, memberikan dampak yang terlihat dari sisi mobilitas aktivitasnya menjadi melemah kembali," jelasnya.

Dia berharap momentum pemulihan ekonomi ke depannya bisa terus dijaga meskipun sempat terdampak PSBB ketat waktu itu.

PSBB juga mempengaruhi seretnya penerimaan pajak. Klik halaman selanjutnya.

PSBB memberikan tekanan pada ekonomi. Implikasi dari kebijakan tersebut dapat terlihat dari penerimaan pajak negara yang mengalami kontraksi. Dia menjelaskan penerimaan pajak dari berbagai sektor mengalami tekanan.

"Penerimaan pajak realisasi kita mencapai Rp 798,1 triliun atau 63,5% dari target kita. Penerimaan pajak kita dari sisi migas, tadi harga migas masih di bawah 40 dan itu jauh rendah dari harga awal minyak di atas 60. Maka kelihatan bahwa penerimaan migas mengalami kontraksi karena lifting juga masih di bawah target," katanya.

PPh migas tercatat mengalami kontraksi hingga 45% dibandingkan tahun lalu. Sementara pajak non migas kontraksi 16,9%, dan PPN terkontraksi 13,6%. Pajak PBB juga mengalami kontraksi 9,6%.

Sementara dari sisi pabean dan cukai mengalami pertumbuhan positif sebesar 3,8%. Kepabeanan dan cukai telah mengumpulkan Rp 141,8 triliun atau 68,9% dari target Perpres Rp 205,7 triliun.

Dari jenis pajaknya, PPh 21 selama 3 bulan terakhir tercatat mengalami perbaikan karena kontraksinya makin kecil. PPh orang pribadi bahkan tumbuh positif pada September.

Sementara PPN dalam negeri mengalami tekanan bulan September karena adanya penurunan aktivitas perdagangan dan produksi seiring dengan PSBB di Jakarta yang sempat ditetapkan kembali.

"Dari penerimaan pajak tren hijau itu ada perbaikan setelah Juli terdalam kontraksinya. Tren sesuai harapan menuju perbaikan ekonomi namun tetap waspada setiap ada PSBB kelihatan sekali pajak langsung tekanan," ungkapnya.


Hide Ads