Kalangan buruh masih menolak kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah diteken Presiden Joko Widodo. Bahkan, per hari ini mereka sudah melakukan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi soal Omnibus Law yang disahkan menjadi UU no 11 tahun 2020.
Merespons hal tersebut, pengusaha yang menyambut baik UU ini mempersilakan apabila buruh mau menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Ketua Umun Apindo Hariyadi Sukamdani menilai pengajuan judical review adalah hak demokrasi semua warga negara.
"Ya nggak apa-apa, kami silakan aja, kan ini negara demokrasi nggak masalah lah. Apapun hasilnya ya sesuai aturan yang berlaku saja," ujar Hariyadi kepada detikcom, Selasa (3/11/2020).
Hanya saja, Hariyadi menjelaskan pemerintah membuat UU Omnibus Law Cipta Kerja ini bukan tanpa alasan. Menurutnya ada beberapa aturan lama yang justru berlaku tidak efektif, misalnya saja aturan pesangon dalam UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Menurutnya, pesangon dalam beleid tersebut dinilai terlalu besar, ujungnya soal pemberian pesangon selama ini kembali ke persetujuan bipartit antara pengusaha dan buruh. Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja menurutnya pesangon diatur menjadi lebih pasti.
"Cuma perlu dipahami pemerintah ini membuat rumusan pasal ini karena di UU 13 ini ada yang nggak bisa jalan. Pesangon itu misalnya, ketinggian, ujungnya juga negosiasi. Maka dalam aturan ini dibuat lebih pasti," kata Hariyadi.
Hariyadi juga menjelaskan dalam pembuatan aturan turunan UU Cipta Kerja di kementerian terkait menurutnya kalangan buruh pun diundang. Dia menegaskan prinsip tripartit dijunjung tinggi dalam penggarapan aturan turunan, sehingga aspirasi semua pihak bisa terakomodir.
Hanya saja memang masih ada beberapa kalangan buruh yang enggan mengikuti pembahasan tersebut. Hariyadi tak ambil pusing, menurutnya pihak yang menolak ikut memang sejak awal sudah menentang Omnibus Law Cipta Kerja dan tidak bisa diajak diskusi.
"Ya biasa lah selalu begitu, memang ada yang sedari awal juga udah nggak mau. Susah memang untuk diomongin baik-baik, kita udah ngomong panjang lebar, nggak mau ya udah," kata Hariyadi.
Di sisi lain, Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan apabila buruh mau melakukan penolakan Omnibus Law dia mengimbau agar melakukannya dengan jalur hukum. Dia meminta buruh jangan melakukan demo besar-besaran.
"Ya kalau masih ada penolakan diselesaikan saja melalui aturan hukum berlaku, kalau sudah diajukan ke MK itu lebih elegan daripada demo, demo, dan demo. Nggak ada masalah mau JR, sehingga ada proses sesuai dengan tata cara bernegara," ungkap Sarman.
Pasalnya, Sarman menyatakan demo di mata pengusaha adalah sesuatu yang tidak produktif bagi para pekerja.
"Kalau memang kurang puas jangan demo lah, kan ini kelihatannya di mata pengusaha tidak produktif gitu lho," tegas Sarman.
Sebelumnya, buruh yang tergabung dalam Konferderasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan penolakan dan meminta Undang-undang (UU) Nomor 11 tentang Cipta Kerja dibatalkan dan dicabut. Bahkan, para buruh sudah mengajukan gugatan judical review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangannya.