Perbaikan selanjutnya terkait pada ketentuan Pasal 18, Tim Ahli menyarankan sebaiknya perlu ditambahkan satu ayat yang mengatur koordinasi kebijakan antar kementerian, antara lain terkait instalasi jalur listrik, pipa air, pipa gas pada jalan yang terintegrasi, terpadu supaya tidak terjadi bongkar pasang badan atau bahu jalan.
"Nah ini kita sering saksikan sendiri tidak adanya koordinasi dan integrasi sering mengganggu pengguna jalan karena berulang-ulang dilakukan bongkar pasang jalan," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, terkait perencanaan pembangunan desa, kata Tim Ahli merupakan tugas dan fungsi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sehingga dipandang perlu diatur dalam pasal 21A RUU ini mengenai keterlibatan Menteri tersebut dalam perencanaan dan pembangunan jalan desa. "Itu belum diatur dalam RUU ini," sambungnya.
Tim Ahli juga menyinggung Pasal 35D RUU itu yang perlu diperjelas terkait hal-hal yang diatur dalam peraturan pemerintah yang tidak hanya pembangunan jalan sebagaimana tertulis dalam pasal 37D RUU ini, tetapi juga terkait penyusunan program dan anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 31-34.
Baca juga: Balada Minol Dilarang-Cukai Dinaikkan |
"Kemudian mengenai perencanaan teknis diatur dalam Pasal 35, pelaksanaan konstruksi diatur dalam Pasal 35A, kemudian mengenai pengoperasian jalan dalam Pasal 35B dan pemeliharaan jalan dalam Pasal 35C," katanya.
Hal lainnya masih seputar substansi dalam pasal 53A RUU ini, kata Tim Ahli sudah diatur dalam pasal 103 UU No.11 tahun 2020 tentang Peserta Kerja yang Baru Saja Disahkan. Sehingga ketentuan pasal 39 tentang penambahan pasal 53A dalam RUU ini dipandang tidak perlu lagi dimasukkan.
Lalu, di antara pasal 53 dan pasal 54 dalam UU No.38 tahun 2004 tentang Jalan disisipkan satu pasal yakni pasal 53A, yang mana ayat 4 dalam pasal itu sudah diatur dalam Pasal 103 UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sehingga RUU ini dianggap tidak perlu dibunyikan lagi.
Kemudian Tim Ahli juga meminta pengusul perlu mempertegas rumusan norma pada Pasal 57C Ayat 3 yaitu frasa dapat meminta pembinaan teknis diganti dengan frasa harus berkoordinasi dan meminta pembinaan teknis sehingga norma Pasal 57C ayat 3 berbunyi penyelenggaraan ayat khusus yang mengizinkan penggunaan jalan khusus untuk lalu lintas umum harus berkoordinasi dan meminta pembinaan teknis kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya, perlu ditambahkan norma baru Pasal 67 B mengenai keharusan pemerintah pusat melaporkan pelaksanaan UU ini kepada DPR sebagai pelaksanaan dari tugas dan fungsi DPR khususnya badan legislasi sebagaimana diatur dalam UU MD3.
Kemudian, RUU ini dianggap memuat terlalu banyak materi pasal. Padahal dalam UU No.38 tahun 2004 itu sendiri seluruhnya hanya ada 67 pasal. Sedangkan materi dalam RUU ini, poinnya saja sudah mencapai 43
"Nah itu saja sudah melebihi dari 50% belum lagi setiap poin itu berisi 3 pasal, ada penambahan pasal, misalnya pasal 10A, 10B, nah itu kan jelas secara kuantitatif sudah melebihi 60% sehingga sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 mengamanatkan bahwa apabila materi peraturan perundang-perundangan berubah, lebih dari 50% maka sebaiknya tidak lagi dalam bentuk perubahan tapi dengan penggantian karena strukturnya pun banyak yang berubah terlihat dari materi perubahan ini banyak penambahan A,B,C pasal-pasalnya," paparnya.
Namun, secara garis besar menurut Tim Ahli, RUU ini sudah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Namun, berdasarkan kajian tersebut di atas tadi maka masih diperlukan penyempurnaan khususnya asas kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pasal 5 UU 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan juncto Pasal 66 peraturan DPR No. tahun 2020 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," tuturnya.
(fdl/fdl)