Sekolah Tatap Muka Mulai Januari, Pedagang Seragam Teriak Pembeli Masih Sepi

Sekolah Tatap Muka Mulai Januari, Pedagang Seragam Teriak Pembeli Masih Sepi

Vadhia Lidyana - detikFinance
Minggu, 22 Nov 2020 09:07 WIB
Penjualan seragam sekolah ikut terdampak pandemi Corona. Bahkan, omzet para pedagang berkurang hingga 70 persen.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengizinkan kembali kegiatan belajar-mengajar tatap muka, atau kembali ke sekolah yang dimulai pada Januari 2021. Sayangnya, kebijakan itu belum berdampak kepada para pedagang seragam di Pasar Palmerah, Jakarta Barat. Para pedagang mengaku masih sepi pembeli.

Hal itu pertama diungkapkan oleh Ayin (53), salah satu pedagang seragam sekolah di lantai dasar Pasar Palmerah.

"Belum ada efeknya. Masih jarang yang beli seragam, yang beli hanya satu-satu. Ini saja saya buka dari jam 8, sudah hampir 2 jam belum ada pembeli," ungkap Ayin ketika ditemui detikcom di Pasar Palmerah, Jakarta, Sabtu (21/11/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ayin menuturkan, pandemi Corona menyebabkan omzet tokonya tergerus hingga 90%. Ia pun tak yakin di bulan Januari pembeli seragam mulai ramai apabila penyebaran COVID-19 belum bisa diselesaikan.

"Ya kalau sekolah mulai Januari, harapannya akhir tahun ini sudah ramai lagi. Tapi kalau Januari masih ada Corona, mungkin masih sepi juga," ujar Ayin.

ADVERTISEMENT

Selain Ayin, Adi (33) yang juga berdagang seragam di Pasar Palmerah merasakan hal yang sama.

"Belum banyak lagi pembeli. Masih biasa saja, orang-orang belum mulai belanja seragam. Kalau pun ada itu biasanya dia mengandalkan uang Kartu Jakarta Pintar (KJP) cair," terang Adi ketika ditemui detikcom.

Tak hanya pedagang seragam, pedagang peralatan sekolah lainnya seperti kaos kaki dan gesper atau ikat pinggang yang bernama Zamzul Anwar (26) juga mengaku sepi pembeli. Meski sudah diumumkan sekolah tatap muka dimulai 2021, namun pembeli di lapaknya masih sepi.

"Belum ada pembeli sama sekali, masih sepi. Yang ada pembeli ya beli gesper tapi bukan buat sekolah. Dan anak-anak itu kan belum ada yang ke luar juga. Sudah gitu sekarang di pasar dari jam 4 sore sampai malam sudah nggak ada pembeli. Jadi ya pedagang mengandalkan pagi saja, pas orang-orang sambil belanja sayur," tutur Zamzul.

1. Omzet Pedagang Anjlok 90%

Meski sudah ada kabar baik bahwa sekolah tatap muka dimulai Januari 2021, namun oara pedagang seragam sudah merana lebih dari 9 bulan.

Aktivitas belajar dari rumah yang dimulai sejak Maret lalu membuat para pedagang seragam kehilangan pelanggannya.

Sedihnya lagi, di pembukaan tahun ajaran 2020/2021 pada pertengahan tahun ini diiringi harus dilalui para pedagang, tanpa merasakan manisnya dagangan yang laku keras yang biasa terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Kembali ke Ayin, ia mengatakan, kondisi ini menyebabkan omzet tokonya anjlok hingga 90%. Aktivitas belajar dari rumah menyebabkan tak ada masyarakat yang membeli seragam.

"Omzet turun lebih dari 90%. Sudah rugilah sekarang, nggak ada pemasukan, tapi tetap bayar listrik, iuran biaya pengelolaan pasar (BPP) lewat CMS, ya pengaruh banyaklah ini. Ruginya sudah susah diomongin. Yang paling terdampak ya pedagang seragam sekolah dibandingkan yang lain. Karena orang kalau punya duit ya beli makan dululah, baju nanti-nanti saja," ungkap Ayin.

Tak jauh berbeda, Adi juga mengaku omzetnya anjlok hingga 80% selama bulan Maret-Juni.

"Saat parah-parahnya Corona kita mencari penglaris saja susah. Maret-Juni kita dapat penglaris sepotong-sepotong saja alhamdulillah. Kalau awal Corona omzet turun 70-80%," imbuh Adi kepada detikcom.

Selain Adi, Naya (32) yang juga pedagang seragam di Pasar Palmerah mengatakan, dampak pandemi menyebabkan omzetnya turun lebih dari 50%. Meski begitu, ia cukup tertolong karena di tokonya juga menjual pakaian wanita dewasa, dan pakaian kerja.

"Saya jual baju biasa juga, fokus ke seragam juga. Kalau yang beli seragam ya 1-2 ada," jelas Naya kepada detikcom.

Tak terlewat, Zamzul juga merasakan penurunan omzet yang sangat besar.

"Sampai sekarang omzet masih jatuh 80%. Padahal kalau memasuki tahun ajaran baru sebelum Corona, saya bisa dapat Rp 750.000-1.000.000 per hari itu dari kaos kaki anak sekolah, dan peralatan lain seperti gesper," tutur Zamzul.

2. Jualan Tak Laku, Tagihan Listrik dan Sewa Pasar Menunggu

Walaupun sudah merana karena jualan tak laku, para pedagang masih harus menanggung Biaya Pengelolaan Pasar (BPP) dan listrik secara penuh, atau tak ada keringanan. Hal inilah yang membuat para pedagang 'berteriak'.

"Kok sudah kayak gini kondisi kami, tapi kami tetap bayar full. Toko saya ini 4 petak, 1 petaknya dikenakan biaya sewa lewat CMS itu Rp 300.000/bulan. Jadi saya harus bayar Rp 1 juta lebih, belum listriknya ini full. Ini saja toko depan saya, dari April-Juni toko tutup,tapi listrik tetap full bayar," jelas Adi.

Adi menegaskan, dirinya tak minta digratiskan oleh pengelola pasar dalam hal ini PD. Pasar Jaya, maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Hanya saja, ia meminta setidaknya diberikan keringanan.

"Ini nggak ada sama sekali bantuan. Kalau kita namanya keadaan seperti ini minta pengertiannya saja, kayak pembayaran melalui CMS, listrik, ya minta keringanan saja," tegas Adi.

Adi mengatakan, pihak pengelola pasar memang sudah menawarkan keringanan iuran BPP. Namun, untuk memperoleh keringanan itu harus mengajukan proposal, dan menurutnya prosedurnya sangat rumit.

Sama dengan Adi, Ayin meminta agar pemerintah bisa memberikan urunan tangan membantu para pedagang seragam yang tengah merugi.

"Ya kalau bisa saya minta bantuan dana untuk pedagang pasar, untuk jadi modal lagi. Karena kita bayar sewa, listrik setiap bulan, padahal tidak ada pemasukan," tutur Ayin.

Begitu juga dengan Zamzul yang berharap pemerintah bisa memberikan bantuan dan keringanan bagi para pedagang pasar yang kesulitan.

"Ya kita sih cuma ingin pengertiannya dari pemerintah. Kita sudah begini, sepi, pemasukan juga jauh. Saya sejak PSBB pertama biasanya dapat komisi per bulan, sekarang nggak ada sama sekali, hanya cukup buat makan saja," tutup Zamzul.


Hide Ads