Luhut Beri Sinyal Ekspor Benih Lobster Dilanjut, Pengamat: Bahaya!

Luhut Beri Sinyal Ekspor Benih Lobster Dilanjut, Pengamat: Bahaya!

Soraya Novika - detikFinance
Senin, 30 Nov 2020 13:50 WIB
Petugas Bea dan Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta gagalkan penyelundupan benih lobster. Jutaan benih lobster itu akan diselundupkan ke Vietnam.
Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal akan kembali membuka keran ekspor benih lobster yang kini dihentikan sementara. Ad interim Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) itu mengaku tak ada yang salah dengan kebijakan tersebut.

"Tadi kita evaluasi sebentar mengenai lobster, jadi kalau dari aturan yang ada, yang dibuat Permen, yang sudah dibuat itu tidak ada yang salah. Jadi sudah kita cek tadi, tadi saya tanya pak Sekjen, semua itu dinikmati oleh rakyat mengenai program ini. Tidak ada yang salah," ujar Luhut di gedung Mina Bahari I, Jumat (27/11).

Pernyataan Luhut itu dianggap berbahaya oleh Pengamat Sektor Kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim. Alasannya karena dianggap mengabaikan fakta-fakta yang janggal yang jelas sudah terungkap oleh KPK dan pihak terkait lainnya.

"Pernyataan pak Luhut itu berbahaya dan mengabaikan fakta-fakta janggal sudah terungkap baik oleh KPK, KPPU, maupun yang belum terungkap dalam artian belum ada tersangkanya berkenaan dengan proses penyusunan Peraturan Menteri No.12 Tahun 2020 itu sendiri," ujar Abdul kepada detikcom, Senin (30/11/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Abdul setidaknya ada empat kejanggalan terkait proses penyusunan Permen 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Pertama, terkait dengan stok lobster di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Menurut Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), stok di 11 WPP itu statusnya sudah kuning dan merah. Artinya pemanfaatannya sudah sangat terbatas yang seharusnya sudah tidak bisa lagi dikeluarkan izin ekspor dari seluruh wilayah tersebut.

ADVERTISEMENT

Sayangnya, beberapa eksportir di daerah tersebut seperti perusahaan milik Fahri Hamzah, PT Nusa Tenggara Budidaya justru tetap mendapat izin ekspor benih lobster tersebut.

"Sebagai contoh di WPPNRI 714 tempat perusahaan pak Fahri yang justru mendapatkan izin di sana, ada juga Royal Samudera, itu kemudian jadi pertanyaan publik kok bisa, stoknya merah tapi malah diberikan izinnya," tuturnya.

Kedua, berkenaan dengan prasyarat yang dibebankan kepada perusahaan sebelum mendapatkan izin ekspor.

"Kita tau bahwa di pasal 5 atau pasal 6 di Permen 12/2020 disebutkan bahwa eksportir harus membuktikan bahwa mereka sudah panen berkelanjutan berkenaan usaha pembesaran lobster. Pertanyaannya, izin itu baru diberikan setelah dua bulan pasca Permen 12/2020 itu diterbitkan oleh KKP, tapi kemudian bersamaan dengan itu mereka juga bisa melakukan ekspor benur lobster ke beberapa negara Vietnam, Taiwan dan Hong Kong," ucapnya.

Hal itu tidak wajar, sebab proses pembesaran benih lobster katanya butuh waktu minimal 6 bulan. Sedangkan perusahaan yang diberi izin ekspor benih lobster sudah mengantongi verifikasi izinnya 2 bulan setelah disahkannya beleid itu.

" Pembesaran benih lobster membutuhkan waktu minimal 6 bulan untuk sekali panen bergantung jenisnya dan bobot yang diinginkan tapi normalnya untuk ukuran 150-250 gram sehingga untuk dikatakan panen berkelanjutan maka minimal terjadi setidaknya dua kali panen atau butuh waktu minimal satu tahun lebih untuk bisa masuk atau qualified dalam rangka mendapatkan izin ekspor benih lobsternya," sambungnya.

Ketiga, berkenaan dengan nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibayarkan dari kegiatan ekspor tersebut. PNBP ekspor benih lobster saat ini masih dibahas di KKP dan Kementerian Keuangan, namun kegiatan ekspornya sudah berjalan begitu saja. Hal itu dinilai telah menyebabkan kerugian negara.

"Dalam konteks itu kemudian boleh diartikan bahwa ada potensi kerugian negara akibat dari kegiatan ekspor yang dilakukan oleh sejumlah eksportir di tengah proses revisi Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015 tentang PNBP pada KKP," paparnya.

Keempat, terkait praktik monopoli. Meskipun kebijakan ini direvisi dengan tambahan aturan yang meminimalisir praktik itu terjadi, sambung Abdul, monopolinya tetap bakal terjadi.

"Meskipun kita tahu bahwa tanpa di monopoli pun sekalipun dibuka Permen tetap akan terjadi, karena tadi dari hulunya sudah bermasalah, hasil Komnas Kajiskan diabaikan, kemudian prasyarat yang dibebankan juga dianggap sepele dan hanya bisa ditembus kalau sudah ada dokumen yang sudah diterbitkan oleh KKP dalam hal ini oleh Staf Khusus Menteri yang juga menjadi tersangka baru-baru ini," timpalnya.

(eds/eds)

Hide Ads