Terungkap! Ini Alasan RI Masih Impor Bawang Putih hingga Daging Sapi

Terungkap! Ini Alasan RI Masih Impor Bawang Putih hingga Daging Sapi

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 22 Des 2020 18:48 WIB
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo melakukan rapat kerja (raker) dengan Komisi IV DPR-RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Mentan Ungkap Alasan RI Masih Impor Pangan/Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta -

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo bicara soal impor pangan yang masih dilakukan Indonesia dalam beberapa komoditas. Ia menyebutkan, ada tiga komoditas pangan pokok yang impornya masih cukup besar.

"Memang masih ada yang tersubstitusi dengan impor, antara lain bawang putih, itu kita masih impor, daging sapi, gula pasir. Dan tiga komoditas ini juga aman (stoknya) dengan substitusi impor tadi," kata Syahrul dalam dialog Ketahanan Pangan di Era Pandemi COVID-19 yang disiarkan melalui Youtube Kompas TV, Selasa (22/12/2020).

Ada beberapa alasan mengapa Indonesia masih melakukan impor komoditas pangan pokok tersebut. Khususnya untuk bawang putih, disebabkan kondisi iklim Indonesia yang sulit untuk melakukan produksi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bawang putih itu jenis komoditas di negara subtropis. Oleh karena itu memang kita masih harus kejar lebih kuat," tutur Syahrul.

Selain itu, menurutnya perjanjian perdagangan bilateral juga menyebabkan masih ada kegiatan impor pangan pokok. Ia mencontohkan, misalnya dengan India yang ada semacam 'barter', khususnya pada komoditas daging kerbau dengan kelapa sawit.

ADVERTISEMENT

"Ini perjanjian-perjanjian bilateral, yang mau atau tidak Indonesia masuk ke perdagangan global. Dalam kesepakatan itu, kita bisa melakukan ekspor, tapi impor juga. Dan itu dibahasnya cukup panjang dalam Ratas (rapat terbatas). Contohnya kita harus bisa menerima daging dari India, tapi India juga penerima sawit kita yang terbesar. Ini proses-proses perdagangan yang normatif," tegas Syahrul.

Namun, Syahrul menegaskan untuk komoditas pangan dasar seperti beras tak bisa disebut sebagai komoditas impor, karena produksi dalam negeri sangatlah besar dan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

"Pangan dasar terutama beras, saya kira kita tidak bisa melihat bahwa kita lebih banyak impor," ucapnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Syahrul menyampaikan, pada periode Januari-Juni 2020 atau musim tanam (MT) I, Indonesia memiliki stok awal sebanyak 5,9 juta ton beras. Kemudian, pada MT I itu tercatat produksi beras sebanyak 17 juta ton, dengan angka konsumsi 15,58 juta ton, sehingga ada stok akhir pada Juni lalu sebesar 7,4 juta ton.

Di MT II-2020 yakni periode Juli-Agustus, ada stok yang terbawa dari sisa MT-I yakni 7,4 juta ton tersebut. Kemudian, ada produksi 14,2 juta ton, dengan angka konsumsi 15,07 juta ton. Maka, Kementan memprediksi masih ada stok hingga akhir Desember sekitar 6-7 juta ton beras.

Syahrul mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, sehingga ekspornya akan lebih besar ketimbang impor.

"Yang kita jaga ke depan bagaimana lebih besar ekspor kita daripada impor. Saya janji itu, dengan kerja sama yang ada. Kita terus tingkatkan. Indonesia bagus kok," tutupnya.


Hide Ads