Aroma Suap hingga Rugi Rp 420 M/Tahun di Balik Pesawat Bombardier Garuda

Aroma Suap hingga Rugi Rp 420 M/Tahun di Balik Pesawat Bombardier Garuda

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 11 Feb 2021 06:32 WIB
Foto pesawat Bombardier Garuda Indonesia
Foto: Istimewa via CNBC Indonesia
Jakarta -

Menteri BUMN Erick Thohir meminta PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1000. Garuda diminta untuk mengakhiri kontrak operating lease pada Nordic Aviation Capital (NAC) yang jatuh tempo pada 2027.

Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk efisien yang dilakukan Garuda. Sebab, Garuda merupakan salah satu maskapai yang mengeluarkan biaya tinggi untuk pesawat.

"Jadi efisiensi menjadi kunci, efisiensi di segala lini. Yang tidak kalah pentingnya dari data-data kita lihat bahwa Garuda itu salah satu perusahaan penerbangan yang leasingnya paling tinggi dunia, cost daripada leasingnya 27%," katanya dalam konferensi pers, Rabu (10/2/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya dengan tegas, Pak Irfan (Dirut Garuda) hadir di sini, Pak Irfan dengan manajemen sangat mendukung kita memutuskan untuk mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1000 untuk mengakhiri kontrak kepada Nordic Aviation Capital (NAC) yang jatuh temponya 2027," paparnya.

Erick juga meminta untuk melakukan negosiasi early payment settlement contract financial lease atau pembayaran lebih cepat pada 6 pesawat jenis yang sama dari Export Development Canada (EDC) yang jatuh tempo 2024.

ADVERTISEMENT

Erick menambahkan, keputusan untuk mengembalikan pesawat itu juga menimbang tata kelola perusahaan yang baik.

"Di mana juga melihat dari keputusan KPK Indonesia dan penyelidikan Serious Fraud Office Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan tahun 2011," terangnya.


Garuda Rugi Rp 420 M/Tahun

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, Garuda mengalami kerugian US$ 30 juta per tahun atau setara Rp 420 miliar (kurs Rp 14.000). Garuda telah memanfaatkan pesawat tersebut kurang lebih 7 tahun.

"Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama 7 tahun kita mengoperasikan ini di setiap tahun itu secara rata-rata kita mengalami kerugian penggunaan pesawat CRJ ini lebih dari US$ 30 juta per tahun. Sementara sewa pesawatnya sendiri di angka US$ 27 juta dolar," kata Irfan.

"Jadi kita sudah mengeluarkan setiap tahun sewa pesawat US$ 27 juta dolar untuk 12 pesawat tersebut, tetapi kita mengalami kerugian lebih dari US$ 30 juta," katanya.

Dia mengatakan, dengan kontrak yang diakhiri pada 1 Februari 2021 maka ada anggaran yang bisa dihemat sampai US$ 222 juta hingga akhir masa kontrak yakni di 2027.

"Apabila kita terminasi pada 1 Februari kemarin sampai dengan akhir masa kontraknya kita akan saving lebih dari US$ 222 juta. Ini upaya kita menghilangkan atau minimal mengurangi kerugian daripada pesawat ini di Garuda," ujarnya.


Garuda Dicuekin

Erick Thohir menyebut, Garuda telah melakukan negosiasi berkali-kali untuk mengakhiri kontrak tersebut. Namun, Garuda tidak mendapat respons alias dicuekin. Oleh karena itu, Garuda mengambil sikap dengan mengakhiri kontrak secara sepihak.

"Negosiasi kita lakukan tetapi tentu negosiasi yang dicuekin, atau hanya bertepuk sebelah tangan, ya kita juga bisa tepuk tangan sendiri. Kita ambil posisi," katanya.

Erick menjelaskan, pengembalian pesawat tersebut sebagai bentuk efisiensi Garuda. Apalagi, Garuda mengalami pukulan yang berat karena pandemi COVID-19. Hal itu ditambah dengan adanya kasus hukum menjerat pabrikan pesawat tersebut.

"Tentu kesalahannya tadi sudah disampaikan juga ada proses kasus hukumnya, di mana KPK sudah terjun tapi juga di luar negeri kasus ini terus dieksplorasi. Jadi landasan hukum kuat di sini," katanya.

Sementara, Irfan Setiaputra mengatakan, pesawat tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan pasar Garuda. Dia mengatakan, Garuda terus mengalami kerugian karena mengoperasikan pesawat ini.

"Kita dari tahun ke tahun mengalami kerugian dengan menggunakan pesawat ini ditambah pandemi ini memaksa kami tidak punya pilihan lain secara profesional untuk menghentikan kontrak ini," katanya.

Dia menuturkan, pihaknya telah melakukan negosiasi berkali-kali untuk mengakhiri kontrak. Tapi, Garuda tidak mendapatkan respons yang baik.

"Oleh sebab itu kami sampaikan mulai 1 Februari kemarin kami memutuskan untuk secara sepihak menghentikan kontrak dengan CRJ dan mengembalikan 12 CRJ ini ke NAC," katanya.

"Kami tentunya manajemen menyadari penghentian secara sepihak ini akan menciptakan konsekuensi-konsekuensi terpisah. Namun demikian secara profesional kami menyatakan ke Pak Menteri (Erick Thohir) juga pihak-pihak lain bahwa kami siap menangani konsekuensi tersebut secara profesional," katanya.

Sebagai tambahan, status pesawat tersebut saat ini berada di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Status pesawat dikandangkan atau grounded dan tidak digunakan sejak 1 Februari 2021.


Hide Ads