Sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Demak mampu menopang kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 20%. Tak heran wilayah yang dikenal sebagai Kota Wali ini memiliki banyak sentra komoditi unggulan yang salah satunya adalah rajungan.
Berpusat di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, produksi rajungan di desa pesisir tersebut ternyata cukup besar. Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) tiap tahunnya wilayah Demak mampu memproduksi hingga ratusan ton.
"Rajungan itu memang unggulan dari Kabupaten Demak dengan produksi sebesar 356,2 ton setiap tahunnya. Dan rajungan merupakan hasil terbesar di Indonesia bahkan sudah ekspor hingga Amerika Serikat dan Korea Selatan," ujar Kepala DKP Mohamad Fatkhurakhman beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fatkhur pun menuturkan alur distribusinya. Untuk hasil tangkapan rajungan di wilayah Demak sendiri dikirim ke Jepara hingga ke Rembang Juwana Pati yang merupakan kota di pesisir utara pulau Jawa yang terletak di jalur pantura yang menghubungkan Kota Pati dan Kota Rembang.
"Dari Rembang Juwana Pati kemudian di ekspor ke Amerika Serikat dan Korea Selatan," ungkapnya.
Adapun di masa pandemi COVID-19 ini, pihaknya mengklaim bahwa sektor kelautan dan perikanan termasuk rajungan tidak terdampak. Produksi rajungan stagnan di angka 340-350 ton per tahunnya.
![]() |
Namun demikian, salah satu Pengepul Rajungan di Desa Betahwalang Zainudin berpandangan beda, ia mengaku produksi rajungannya tidak sama di banding lima tahun lalu. Saat itu, ia bisa mengepul hingga rata-rata 3-4 ton per hari, namun kini ditempatnya tidak lebih dari 1 ton.
"Sekarang nggak bisa 3-4 ton per hari, paling 7 kwintal sampai 9 kwintal. Soalnya rajungan mulai menurun, alat tangkapnya udah ganti udang, jadi aga menurun, dulu kan 100 persen rajungan," ungkapnya.
Zainudin menuturkan biasanya ia mengambil rajungan dari para nelayan langsung di Betahwalang. Aktivitasnya dimulai pada ba'da ashar, setelah para nelayan pulang melaut, hingga malam hari untuk proses pemilahan.
"Untuk pembeliannya saya sistemnya komisi, dari nelayan pembelian berapa terus komisinya Rp 3 ribu. Sementara ini, saya belinya Rp 82 ribu/kg dari nelayan, saya kirim lagi jadi 86, yang Rp 3 ribu itu komisi (keuntungan), yang Rp 3 ribu transport sama es," ungkapnya.
![]() |
Dia pun mengaku rajungan masih tetap jadi primadona di kalangan masyarakat, karena pasarnya masih terbuka luas dan permintaannya masih banyak. Namun, ia tidak bisa merinci berapa omzet yang didapat dari hasil bakul rajungan tersebut.
"Untuk omzetnya itu tinggal kalikan saja, pembelian berapa terus komisinya Rp 3 ribu (ini keuntungan yang didapat dari per kg nya). Jadi Rp 3 ribu tinggal kalikan per hari ini misal 5 kwintal," ungkapnya.
Diketahui, dalam menjalankan usaha tersebut Zainudin membutuhkan modal yang tidak sedikit, yakni hingga ratusan juta. Sebab, pembelian hasil tangkapan laut harus dibayarkan secara tunai setiap harinya kepada nelayan.
"Kalau di sini yang diutamakan modal, modalnya bisa sampai Rp 300 juta. Karena beli dari nelayan harus cash, kalau nggak bayar (langsung) nanti nelayannya pindah lagi," ungkapnya.
"Karena itu saya bersyukur bisa dapat pinjaman dari BRI, jadi usaha saya bisa bertahan dan terus jalan," jelasnya.
Sebagai informasi, detikcom bersama BRI mengadakan program Jelajah UMKM ke beberapa wilayah di Indonesia yang mengulas berbagai aspek kehidupan warga dan membaca potensi di daerah. Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, ikuti terus beritanya di detik.com/tag/jelajahumkmbri
(akn/ara)