Sederet Masalah yang Bikin RI Ketagihan Impor Beras

Sederet Masalah yang Bikin RI Ketagihan Impor Beras

Soraya Novika - detikFinance
Senin, 29 Mar 2021 16:19 WIB
Pemerintah berencana impor beras 1 juta ton. Dirut Perum Bulog Budi Waseso pun buka-bukaan soal kondisi ratusan ribu ton beras impor yang belum terpakai.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Mantan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengungkapkan awal mula RI ketagihan mengimpor beras. Padahal, sejak lama, sejak masa Orde Baru, pemerintah sudah merencanakan terciptanya swasembada beras dan berbagai komoditas pangan lainnya. Akan tetapi sampai saat ini rencana itu tak kunjung juga terlaksana.

Apa penyebabnya?

Faktor utamanya adalah soal masalah ketersediaan lahan dan air. Menurut Sutarto, sebenarnya lahan sawah di Indonesia itu terbatas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lahan ini sebenarnya kita ini terbatas, kalau mengandalkan yang ada itu, tanpa perluasan apalagi kepemilikan lahan sempit, petaninya tidak mampu mengakses modal dan sebagainya. Air ini sangat penting nah di lain pihak tidak semua daerah wilayah itu diairi dari bendungan diairinya dari mana air hujan, makanya begitu El Nino pasti produksi terganggu itu sudah apapun yang terjadi kalau El Nino pasti terganggu, La Nina malah bagus," ungkap Sutarto dalam Program Blak-blakan detikcom, Minggu (28/3/2021).

Permasalahan lainnya karena tersandung oleh sumber daya manusia yang juga terbatas.

ADVERTISEMENT

"Petani kita di samping sudah tua-tua juga dia terbatas lahannya tadi sehingga apa teknologi susah masuk ke sana mereka nunggu bantuan karena lahannya sempit pertanian bukan menjadi andalan ekonomi dia jadi disambi jadi ada istilahnya boleh di cek nanti itu tukang batu tukang kayu pasti dia petani sebenarnya. Jadi dia hanya nanam lalu ditinggal bagaimana produktivitas mau meningkat," katanya.

Masalah lainnya adalah soal kurangnya penerapan teknologi di sektor pertanian.

"Kemudian yang ketiga teknologi. Teknologi ini sudah tidak bisa diterapkan secara optimal padahal banyak tersedia, wong benih aja ada, varietas itu berapa banyak. Orang mengatakan kedelai tropika ada kan gitu kan, ada, saya dulu waktu di Aceh, di Aceh itu ada kedelai yang tidak kalah dengan produksi dengan kedelai GM, ada varietas kipas, varietas kipas itu tingginya saja 1 meter kira-kira. Batangnya itu segede jempol," paparnya.

Namun, karena kurangnya penerapan teknologi pengembangan pangan jadi ditinggalkan membuat lahan pengolahan pangan juga lama-lama semakin menyusut.

Ada juga karena masalah logistik. Logistik terganjal karena banyaknya rantai pasok di lapangan, bahkan di tingkat sawahnya saja ada preman yang mengutip pungli.

"Mengenai logistik pangan kita per sistem perdagangan pangan kita ini belum adil belum adil gitu loh, jadi masih banyak rantai rantai pasok di situ, meskipun rantai pasok ini menjadi salah satu sumber pendapatan dari masyarakat kan. Kan tidak bisa disalahkan juga kan tidak ada pekerjaan yang lain ya jadilah tengkulak, jadilah pengepul, itu kan yang menambah mata rantai gitu. Belum preman-preman di sawah, preman di sawah itu waktu masa panen itu truk yang masuk ke situ mau keluar itu mesti harus bayar ada itu yang kayak gitu. Belum kemungkinan di jalan," ucapnya.

Masalah lainnya Indonesia punya banyak lahan kosong nganggur yang tidak dimanfaatkan dengan baik.

"Sebenarnya masalah lahan ini menjadi paling utama ya kan banyak lahan yang tidak produktif kosong nganggur terutama di luar Jawa. Di Jawa pun masih banyak rupanya. Saya kemarin ke Banten pun ternyata masih banyak yang kosong jadi artinya tidak diberdayakan dengan baik. Ini yang mestinya perlu kita perbaiki," katanya.

Terakhir, masih ada oknum-oknum yang membisikkan bahwa impor lebih gampang ketimbang memperbaiki kualitas pangan dalam negeri.

"Kadang juga banyak yang berpendapat begini lho kalau memang susah memproduksi dan impor gampang kenapa kita tidak impor. Kita nanam yang lain saja, yang lebih gampang seperti ini kan berkembang kan," ujarnya.

Pembisik yang dia maksud adalah para importir itu sendiri, yang juga paling sering mengkampanyekan hal-hal keliru tentang komoditas yang diimpornya.

"Mohon maaf ya saya tidak membenci importir, importir kan pasti akan mengkampanyekan hal-hal yang diimpor itu lebih baik, contohnya kedelai. Kedelai ini kan didengung-dengungkan kedelai adalah tanaman subtropis yo kenapa kalau subtropis kalau di tropis juga bisa. Apa tanaman kita semua dulu asalnya dari kita, tidak, banyak tanaman-tanaman yang ada di kita ini yang asalnya dari sub tropis demikian juga yang tropis bisa masuk ke subtropis. Kan kira-kira begitu kan," imbuhnya.

"Habis itu kedelai apa kalau kedelai dalam negeri tidak cocok untuk tempe cocoknya hanya untuk tahu. Nah ini kan kampanye-kampanye yang menyesatkan," tambahnya.

Padahal, kurang mutunya produksi komoditas pangan dalam negeri tidak bisa dijadikan alasan untuk mengimpor. Justru, seharusnya jadi bahan koreksi untuk memperbaiki yang salah di lapangan.

"Kalau dalam negeri kualitasnya belum baik, kualitasnya itu persoalannya apa, misalnya pengering, ya pengeringnya harus diselesaikan. Kan mestinya seperti itu. Jadi komitmen-komitmen melaksanakan politik pertanian ini harusnya mulai dari yang di atas sampai yang terbawah ini harus satu bahasa," tegasnya.


Hide Ads