Pandemi COVID-19 masih terasa dampaknya ke berbagai sektor, termasuk ritel. Terpukulnya sektor ritel terasa sejak awal pandemi COVID-19 tahun lalu.
Chief Executive Officer (CEO) PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart), Anggara Hans Prawira buka-bukaan soal dampak pandemi COVID-19 terhadap ritel terutama fast moving consumer goods (FMCG) seperti Alfamart.
Menurut Anggara, dampak pandemi terhadap industri ritel sangat berat sekali. Paling terasa saat bulan-bulan Ramadhan, yang biasanya jadi masa panen, selama pandemi malah berubah jadi kebalikannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita lihat perjalanan 2020, kita mengawali tahun 2020 dengan optimis, quarter pertama bagus sekali apalagi di bulan Maret pada saat itu untuk bisnis ritel mengalami panic buying, luar biasa animo masyarakat untuk berbelanja, tapi kemudian, pada masa-masa bulan Ramadhan itu sangat berat, padahal itu biasanya jadi masa panennya ritel, tapi di 2020 sangat berat," ujar Anggara dalam acara CIMB Niaga Forum Indonesia Bangkit secara virtual, Selasa (6/4/2021).
Bulan-bulan selanjutnya pun tak berubah, daya beli masyarakat sepanjang 2020 yang lemah berimbas pada industri ini. Namun, perlahan daya beli masyarakat membaik.
"Kita lihat dari Juli sampai Desember kita lihat daya beli termasuk juga industri ritel relatively lemah tetapi terus membaik sampai katakanlah 2020 akhir Desember," sambungnya.
Hal itu membuat industri ini mengalami kontraksi untuk pertama kalinya sejak 20 tahun terakhir. Industri ini, kata bos Alfamart, tak pernah sekalipun tercatat minus, namun di tahun 2020 untuk pertama kalinya tercatat minus cukup dalam.
"Kalau kita lihat data total market FMCG di Indonesia tahun 2020 itu kita mengalami kontraksi kurang lebih sekitar 5,9% sepanjang yang saya catat selama 20 tahun terakhir industri FMCG tidak pernah mengalami kontraksi, yang paling jelek itu tahun 2018, kita tumbuh sekitar 1%," ungkapnya.
Hal ini terjadi karena adanya penurunan drastis pada daya beli masyarakat menengah ke bawah.
"Kalau kita lihat memang kondisi pandemi mengapa terjadi penurunan industri, saya kira jelas ada penurunan daya beli, konsumen terutama di segmen middle low, tapi juga kita lihat adanya pembatasan-pembatasan sosial, dan ini memang harus kita lakukan demi mencegah penularan virus lebih lanjut," kata bos Alfamart.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Simak juga 'Melihat Kawasan Ubud yang Terpukul Dampak Pandemi':
Tak cuma daya beli yang turun, rata-rata segmen menengah ke bawah juga beralih ke produk yang lebih terjangkau.
"Kalau kita melihat middle, middle low segmen memang impact terhadap daya beli terlihat sekali, kita lihat mulai terjadi penurunan spending pasti frekuensi turun itu semua segmen turun frekuensinya tapi belanjanya lebih banyak tapi tidak pada segmen menengah bawah bahkan terjadi juga switching brand kepada brand-brand yang lebih affordable," ujarnya.
Sedangkan daya beli segmen menengah ke atas tidak mengalami penurunan sama sekali, juga tidak melakukan alih produk bahkan cenderung meningkat.
"Segmen middle up saya kira in term of spending tidak mengalami penurunan bahkan dalam banyak kasus naik, dan mereka tidak switching brand, tetap konsisten pada brand yang ada bahkan membeli dalam jumlah yang besar," tuturnya.
Meski begitu, Anggara optimistis tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya, walaupun sempat terimbas kebijakan PPKM ketat di awal tahun yang mengharuskan toko-toko ritel dan lainnya tutup jam 7 malam.
"Kita memasuki tahun 2021 dengan optimisme terutama ketika program vaksinasi dimulai, kita memandang ini sebagai kunci pemulihan ekonomi," katanya.
"Saya kira per Maret situasi menjadi lebih baik ya, kita sangat optimis bahwa tahun 2021 harusnya bisa lebih baik dari 2020 keyakinan masyarakat kembali terlihat untuk berbelanja untuk spending kebutuhan sehari-hari," tambahnya.
(ara/ara)