'Dizalimi BUMN', Pengusaha Lokal Bisa Gulung Tikar

'Dizalimi BUMN', Pengusaha Lokal Bisa Gulung Tikar

Tim detikcom - detikFinance
Kamis, 08 Apr 2021 11:07 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI yang membidang BUMN, Mufti Anam
Foto: Istimewa
Jakarta -

Pembahasan tentang BUMN dan anak-anak usahanya "menzalimi" para pengusaha atau vendor lokal kembali mengemuka. Apalagi, setelah ada gugatan pailit terhadap PT Waskita Beton Precast Tbk oleh salah satu pemasok/vendornya.

Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi BUMN, Mufti Anam, mengatakan, persoalan BUMN yang selalu telat bayar terjadi sudah lama. Sebagai mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tingkat provinsi, Mufti mendapat banyak laporan tentang betapa sulitnya pengusaha lokal mencairkan tagihannya di BUMN. Prosesnya bisa sangat lama, ada yang sampai enam bulan, bahkan setahun.

Bahkan, Mufti menyebut, untuk beberapa case, ada yang pembayarannya lebih dari setahun. Walhasil, tidak sedikit pengusaha daerah yang gulung tikar karena BUMN telat bayar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebab, vendor lokal kan itu biasanya dapat pinjaman dari bank untuk kerja di BUMN. Karena BUMN bayar telat, cashflow vendornya enggak berputar dengan baik, lalu pinjam lagi dan seterusnya. Akhirnya antara keuntungan dari bisnis di BUMN dan biaya bunganya tidak nyambung, tekor. Bahasa Jawa Timur-nya, keuntungannya enggak 'nyucuk'. Itu yang bikin gulung tikar," ujarnya, Kamis (8/4/2021).

"Bahkan ada lho BUMN besar, yang sebenarnya dia secara finansial enggak ada masalah, untungnya triliunan, tetap saja bayarnya enam bulan, padahal tagihannya hanya Rp100-200 juta, yang nilai itu sangat berarti bagi pengusaha lokal. Saya enggak habis pikir. BUMN seharusnnya jadi agen transformasi pembangunan ekonomi, ini malah jadi agen pembunuh ekonomi lokal," tegas Mufti.

ADVERTISEMENT

Mufti menambahkan, ada potensi celah permainan dalam pencairan tagihan di BUMN. "Saya dapat beberapa laporan, kalau vendornya itu kenal sama pimpinan BUMN, bayarnya enggak akan sampai telat, pasti didahulukan. Sedangkan vendor yang enggak punya koneksi, ya mohon maaf, antri dulu ya," ujarnya.

Konsekuensi lanjutan dari seringnya BUMN telat bayar adalah pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi, atau bahkan ada meningkatkann harga. "Kan sebagai pebisnis, teman-teman harus kalkulasi, nih bayarnya 6-8 bulan, kalau ambil untung 5 persen, kurang feasible. Pilihannya adalah kurangi spesifikasi, atau meningkatkan harga," jelas politisi muda dari PDI Perjuangan itu.

Menurut Mufti, ada beberapa hal yang harus menjadi bahan pembenahan di internal BUMN agar tidak menzalimi vendor lokal. Pertama, dibikin prosedur operasional standard (SOP) yang jelas terkait mekanisme pencairan tagihan atau invoice. Standar yang jelas juga akan menutup celah potensi hal-hal yang berlawanan dengan etika bisnis BUMN, misalnya potensi gratifikasi untuk memperlancar tagihan.

"Alurnya harus jelas, kapan penagihan, kapan cairnya. Tolong kasihani pengusaha lokal, terutama yang skalanya masih kecil-menengah," ujarnya.

Kedua, BUMN harus memiliki perencanaan program yang disesuaikan dengan kondisi finansial. Menurut Mufti, ada beberapa kasus, BUMN ngotot bikin bangunan atau program yang tidak urgen.

"Saya bicara contoh yang di luar proyek penugasan pemerintah ya. Ada BUMN yang misalnya dia tidak urgen untuk renovasi kantor, tetap saja renovasi karena sudah masuk rencana kerja perusahaan. Padahal duit mereka sedang terbatas. BUMN yang begini banyak banget. Akhirnya yang jadi korban vendor lokal," pungkasnya.




(dna/dna)

Hide Ads