5 Risiko Negatif Garmen Impor Kena Bea Masuk

5 Risiko Negatif Garmen Impor Kena Bea Masuk

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Jumat, 11 Jun 2021 20:00 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Rencana pemerintah menerapkan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard untuk produk garmen impor mendapat perhatian dari pengusaha. Pengusaha meminta agar kebijakan tersebut dilakukan tepat sasaran.

Ketua Umum Asosiasi Peritel Merek Global Indonesia (Apregindo) Handaka Santosa menjelaskan, wacana kebijakan itu diterapkan untuk melindungi usaha mikro kecil menengah (UMKM). Namun, dia mengatakan, germen bermerek bukanlah pesaing dari UMKM.

"Jadi kalau Anda sekarang ke Tanah Abang itu garmen-garmen dari China banyak sekali. Tetapi, garmen yang bermerek itu bukan merupakan pesaing garmen lokal itu yang harus dibedakan," katanya kepada detikcom, Jumat (11/6/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada sejumlah dampak jika garmen impor bermerek juga dikenakan BMTP tersebut. Berikut dampaknya:

1. Harga Germen Bermerek Tambah Mahal

Dia menjelaskan, bea masuk garmen impor saat ini 25%. Dengan pengenaan BMTP akan membuatnya semakin mahal.

ADVERTISEMENT

"Pengenaan BMTP akan jadi beban tambahan antara 25%- 70%, sehingga akan menyebabkan harga di Indonesia akan jauh lebih mahal," katanya.

2. Bikin Orang RI Belanja ke Luar Negeri

Dia bilang, garmen bermerek global merupakan pelengkap produk lokal. Persaingan antar negara didukung kelengkapan produk untuk menarik turis baik mancanegara maupun domestik.

"Apabila tidak tersedia lengkap, apalagi harga berbeda besar dengan harga Singapura, Bangkok, maka orang Indonesia akan shopping keluar negeri," katanya.

Ma tahu risiko lain kalau produk garmen bermerek kena bea masuk? Bersambung ke halaman selanjutnya.

3. Marak Jastip, Penerimaan Negara Seret

Dengan barang semakin mahal, konsumen bakal berbelanja dengan memanfaatkan jasa titip alias jastip. Menurutnya, negara akan kehilangan banyak pendapatan dari pemanfaatan jastip tersebut.

"Banyak konsumen akan belanja lewat jastip yang tidak bayar bea masuk, PPN impor, PPN jual ke konsumen dan lain-lain," katanya

4. Boros Devisa

Menurutnya, jika keadaan normal maka orang akan gemar berbelanja di luar negeri. Hal ini akan berdampak pada devisa karena biasanya masyarakat tidak hanya sekadar belanja.

"Bila keadaan sudah normal, masyarakat akan kembali shopping keluar negeri dan ini akan memboroskan devisa negara karena selain (mumpung shopping), juga ada biaya hotel, makan restaurant dan lain-lain.

5. Banyak Toko Mal Tutup

Dia menjelaskan, kenaikan harga akan membuat penjualan turun. Mal-mal pun bisa sepi karena orang enggan berbelanja. Padahal, ada penerimaan negara dari penjualan garmen bermerek tersebut.

"Saya bayangin, pertama dikenakan safeguard atau BMTP, kemduian barang ini makin mahal kemudian penjualan turun, kemudian disetop nggak impor, kemudian mal-mal itu pada kosong gimana. Padahal mal itu kalau kita nyewa, Anda tahu kan bayar PPN per m2, PPN itu ke pemerintah 10%," ujarnya.

Selain PPN, ada juga penerimaan negara yang berasal dari PPh Final, pajak dari karyawan, hingga pajak perusahaan.

"Kedua selain bayar PPN kita harus motong PPh Final 10% juga. Jadi kalau kita nyewa ruang 1.000 m2 buat buka merek A, itu rental yang kita bayar per bulan 1.000 m2 itu 10% bayar PPN ke pemerintah, 10% kita harus motong dari developer dari mal kita yang peritel bayar ke pemerintah. Bayangin pemerintah udah dapat 20%. Belum nanti PPh 21 karyawan, belum lagi perusahannya ada PPh badan," paparnya.

Kembali, jika itu diterapkan akan memberikan efek domino. Menurutnya, orang bisa enggan pergi ke mal untuk belanja. Kemudian toko-toko di mal bisa tutup.

"Kemudian kedua efek domino, orang ninggalin mal, tokonya ditutup. Kaya sekarang Anda lihat Giordano, ada di Plaza Senayan, Plaza Indonesia, Senayan City itu kan mendatangkan income semua untuk pemerintah. Kalau kemudian harga naik, penjualan kecil mungkin dia tutup dua, tinggal satu aja dipertahankan di Plaza Indonesia. Senayan City sama Plaza Senayan tutup," ujarnya.


Hide Ads