Turun Kelas, RI Makin Sulit Keluar dari Jebakan Ini

Turun Kelas, RI Makin Sulit Keluar dari Jebakan Ini

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Selasa, 13 Jul 2021 15:58 WIB
Bank Dunia memprediksi laju pertumbuhan ekonomi RI tumbuh 4,4% di tahun 2021. Hal itu didasarkan pada peluncuran vaksin yang efektif pada kuartal pertama 2021.
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Bank Dunia telah mengumumkan Indonesia turun kelas menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah. Padahal setahun lalu, Indonesia baru saja mengalami kenaikan kelas menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas.

Jalan Indonesia untuk menjadi negara maju dinilai akan makin terjal, dan bisa-bisa terperangkap dalam jebakan negara berpenghasilan menengah. Kenapa bisa begitu?

Menurut peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus, Indonesia bisa terjebak dalam jebakan negara berpenghasilan menengah karena melemahnya sektor industri. Menurutnya telah terjadi inkonsistensi dalam transformasi ekonomi di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, dia menyebut Indonesia saat ini mengalami deindustrialisasi yang terlalu dini. Hal itu tercermin dari terus turunnya kontribusi manufaktur terhadap total PDB Indonesia. Dalam data yang dia paparkan di tahun 2000 kontribusi manufaktur berada di angka 27,75%, namun di kuartal II 2020 justru turun sangat jauh ke angka 19,87%.

"Sekarang ada deindustrialisasi dini, ini terjadi terlalu dini," ungkap Ahmad Heri dalam diskusi virtual, Selasa (13/7/2021).

ADVERTISEMENT

Menurutnya memang wajar deindustrialisasi itu terjadi di suatu negara, apalagi yang memang ekonominya sudah bertransformasi dan bertumpu ke sektor jasa dan keuangan. Namun di Indonesia, deindustrialisasi justru terjadi saat sektor industri belum optimal mengerek perekonomian.

Dia menilai sektor industri harus bisa menopang perekonomian baru bisa transformasi dan bertumpu ke sektor lain. Pasalnya, sektor industri belum seperti itu di Indonesia, nilai tambah belum optimal, belum lagi serapan tenaga kerjanya juga rendah.

"Memang banyak negara mengalami deindustrilasiasi namun memang sudah waktunya karena mereka mulai beranjak ke sektor jasa dan keuangan. Sedangkan kita di saat nilai tambah industri belum optimal, struktur ekonominya belum kuat. Apalagi industri serapan tenaga kerjanya belum maksimal," papar Ahmad Heri.

Sejauh ini pun meskipun pertumbuhan tidak konsisten namun sektor industri tetap jadi penopang terbesar perkonomian di Indonesia. Hanya saja, yang jadi masalah serapan tenaga kerjanya rendah.

Saat ini, sektor industri memiliki kontribusi 19,7% terhadap PDB Indonesia, namun serapan tenaga kerjanya hanya 14,09% dari seluruh tenaga kerja. Sedangkan, sektor pertanian yang cuma 12,72% kontribusinya serapan tenaga kerjanya 29,46%.

Di sisi lain dia menjelaskan sebetulnya sektor jasa tumbuh tinggi bila digabungkan, namun serapan tenaga kerjanya juga rendah. "Misalnya, sektor informasi dan komunikasi ini kuenya gede tapi penyerapannya sedikit," katanya.

Dengan begitu, artinya lebih banyak orang yang bekerja dan memperebutkan keuntungan pada sektor ekonomi yang lebih kecil kontribusinya dibandingkan sektor yang kontribusinya besar. Otomatis pendapatan per kapita menjadi sulit meningkat.

"Artinya kue ekonomi sedikit diperebutkan banyak orang, makanya sulit kita dongkrak pendapatan per kapita karena nggak terserap di sektor yang banyak kontribusinya," ungkap Ahmad Heri.




(hal/das)

Hide Ads