Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan saat ini para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 telah menyepakati arsitektur perpajakan Internasional. Salah satu kesepakatannya, Indonesia bisa menambah penerimaan dari pemajakan 100 perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu menjelaskan sebelumnya negara pasar hanya dapat memajaki perusahaan multinasional yang memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga kecil kemungkinan untuk memajaki. Nah dengan adanya kesepakatan baru ini hak pemajakan tidak lagi terkendala BUT.
"Syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar (minimum €20 miliar) dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi (minimum 10% sebelum pajak). Berdasarkan batasan tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia," katanya dalam keterangan tertulis dikutip detikcom, Jumat (16/7/2021).
Febrio mengatakan kesepakatan yang ditempuh dalam pertemuan G20 tersebut mencakup 2 pilar untuk memberikan hak pemajakan lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi BEPS akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut.
BEPS atau Base Erosion Profit Shifting adalah tantangan pemajakan yang dialami oleh negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional. Hal itu dilakukan dengan merancang perencanaan pajak secara agresif sehingga menimbulkan hilangnya potensi pajak bagi banyak negara.
"Kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$ 100 miliar sampai US$ 240 miliar, atau setara dengan 4-10% PDB global," jelasnya.
Negara G20 Sepakat Hilangkan Persaingan Tarif Pajak
Kesepakatan pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional, minimum omset konsolidasi sebesar €750 juta, membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili.
Melalui pilar 2 ini, negara G20 menyepakati untuk menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan 'Race to the Bottom', sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.
"Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%," jelas Febrio.
Di samping potensi manfaat, pilar 2 ini mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif pajak penghasilan pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua.
Artinya, pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan misalnya menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental.
"Pemerintah cukup optimis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha", kata Febrio melanjutkan.
Persetujuan atas kedua pilar di atas telah disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS. Detail teknisnya akan dilaporkan dan difinalisasi pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada Oktober 2021 mendatang. Kedua pilar tersebut rencananya akan ditandatangani di 2022 dan diberlakukan secara efektif 2023.
(aid/zlf)